Proklamasi Takdir di Lemah Wungkuk (Legenda Kisah Syekh Nurdjati)
Proklamasi Takdir di Lemah Wungkuk
Dengan restu Sang Guru dan kakeknya,
Ki Gedeng Tapa, Somadullah bersama istri dan adiknya memulai babak baru. Mereka
berjalan menuju sebuah hamparan hutan lebat di pesisir yang dikenal sebagai Tegal Alang-Alang atau Lemah Wungkuk (Tanah
yang menunduk).
Saat kaki mereka pertama kali
menjejak tanah itu, Somadullah menatap cakrawala dan berucap dengan penuh
keyakinan, "Waqqa’tū! (Aku telah tiba)." Ucapan itu bukanlah
sekadar penanda, melainkan sebuah proklamasi takdir. Sejak saat itu, tanah yang
seakan menunduk di hadapan takdirnya itu dikenal sebagai Lemah Wungkuk.
Keesokan paginya setelah Fajar
menyingsing, Somadullah mulai bekerja. Ia bukan lagi pangeran yang dilayani,
melainkan seorang perintis yang memegang kapak. Hutan lebat yang penuh binatang
buas ia hadapi tanpa gentar.
Setiap langkah, setiap doa, setiap
helai napasnya kini menjadi sejarah yang terukir abadi di atas tanah itu. Ia
tidak hanya membabat hutan, ia sedang menulis geografi iman.
·
Saat seekor binatang buas menerkam,
ia berlindung di balik nama Allah dan berucap, "Fa anjā!"
(Aku telah diselamatkan). Dan tempat di mana ia selamat dari bahaya itu kelak
dikenal sebagai Panjunan.
·
Ketika ia tersesat dan berdoa memohon
jalan, lalu sebuah celah terang terlihat, ia bergumam, "Fa
syāmulā!" (Maka aku mengetahui). Tempat itu menjadi Pasayangan.
·
Ketika ia berhenti sejenak untuk
merancang strategi pembukaan lahan, ia berucap, "Fa kārūna!" (Aku
berpikir). Tempat itu menjadi Pekarungan.
·
Ketika ia menemukan sebuah tempat
yang indah dan hatinya dipenuhi rasa syukur, ia bersenandung, "Fa ‘amira!" (Sungguh perasaanku merasa senang).
Tempat itu dinamai Gunung Sari.
·
Ketika ia berdoa memohon rezeki bagi
pemukiman barunya, "Fa raja’nā! Yā Allāh, berilah kami
rezeki." Tempat itu menjadi Parujakan.
·
Ketika ia merasa lelah dan pikirannya
kosong, ia mengakui kelemahannya, "Anā nisītū!"
(Aku lupa). Tempat itu dinamai Pekalangan.
·
Ketika ia melihat sebuah pertanda
dari kejauhan dan mengerti itu adalah musuh, ia berhenti dan waspada. "Lā udkhilū!" (Aku tidak terus berjalan). Tempat
ia berhenti menjadi Pūla (Pulau), dan tempat di mana musuh
berjaga-jaga dinamai Jaga Satru.
Begitulah Pangeran Walang Sungsang,
Sang Somadullah, memulai misinya dengan kapak di tangan dan zikir di lisan. Ia
mengubah belantara liar menjadi sebuah perkampungan yang diberkahi, di mana
setiap jengkal tanahnya memiliki nama yang lahir dari doa dan kepasrahan kepada
Allah subhanahu wa ta'ala.
Fajar baru menyingsing pada hari Kamis, 8 April 1445 Masehi. Penanggalan Saka menunjuk tahun
1367, dan kalender Islam membuka lembaran pertamanya di tahun 848 Hijriah. Ini bukan sekadar pergantian hari. Ini adalah
hari di mana takdir sebuah peradaban baru digoreskan di atas Tegal Alang-Alang.
Pangeran Walang Sungsang, Sang
Somadullah, kini berdiri bukan sebagai putra mahkota, melainkan sebagai seorang
perintis. Di belakangnya, 52 penduduk setia menatapnya dengan
penuh harap. Kapak di tangannya bukan lagi kapak seorang pangeran yang berlatih
perang, melainkan kapak seorang pembangun yang siap menantang belantara.
Dengan semangat yang membakar, mereka
bekerja. Siang hari, suara kapak Somadullah menggema, menebang pohon,
membersihkan ilalang. Malam hari, saat yang lain terlelap, ia turun ke laut,
menebar jala di bawah cahaya bulan, mencari rezeki dari karunia samudra. Ia
yang bergelar Ki Cakra Bumi, Sang Penjaga Bumi, benar-benar menyatu
dengan tanah dan air yang ia pimpin.
Sementara Sang Pangeran berpeluh di
hutan dan di laut, di pondok sederhana, Nyi Indang Gelis dan Nyimas Ratu Rara
Santang…
Kontributor: Akang Marta
