LEGENDA DESA PUNTANG LOSARANG

Nama desa Puntang dari kata asal muntang atau muntang gayot (bahasa sunda).
Sebutan 'muntang' konon muncul sekitar abad 16 M.

Saat itu daerah ini sudah didiami banyak orang dan juga para pedagang tionghoa misalnya Nyi Po Ah, wanita yang cantik dan berahlak baik yang mendiami tanah ditengah-tengah desa sehingga tempat ini dikemudian hari disebut Buyut Puser.

Adat Sedekah Bumi di desa Puntang

Pedatang-pedagang Tionghoa yang lain dan menjadi penduduk di daerah ini adalah Nyi An Chang, tempatnya dekat Buyut Santri.

Rumah-rumah bekas milik pedagang Tionghoa sampai sekarang masih ada yang tersisa seperti dekat balai desa Jangga milik Sun Hok.

Suatu hari datanglah dua orang bersaudara yang berasal dari Jatiwangi yaitu Ki Santri yang jujur dan Ki Sukaraja yang amanah, Ki Sukaraja sangat menyukai kembang Cempaka Putih.

Di Jatiwangi, Ki Sukaraja mendapat amanah membawa pusaka raja berupa keris dari gurunya, konon pusaka raja tidak boleh lepas dari tangannya, apalagi sampai diletakan ditanah. Ki Sukaraja pun patuh dan menjaga amanat gurunya.

Sebagai orang muda Ki Sukaraja dan Ki Santri merantau jauh dari desanya,  mereka pergi ke sungai Cimanuk berlayar ke utara lalu perahunya menyelusuri kali Boros , terus ke kali Cidengirul dan kali Pangkalan.

Waktu menyusuri kali Pangkalan di blok Mandar, mandor Pangkalan menghentikan perahunya karena disangka pasukan musuh yang akan menyetang kompeni Belanda namun karena tidak terdapat tanda-tanda akhirnya dipersilahkan melanjutnya perjalanannya kembali.

Ki Sukaraja meneruskan perjalanan sampai ke Cemara, dan sampailah di muara Jarong, mereka turun dari perahu dan mencari  lokasi yang pantas untuk dijadikan tempat istirahat sampai masuk ke dalam, sampailah Ki Sukaraja ditengah-tengah desa, Ki Sukaraja pun menetap disana, yang kemudian hari bertemu dan jatuh cinta pada Nyi Po Ah yang baik hati itu.

Di tempat yang sama sebenarnya ada sisa-sisa prajurit Mataram yang sedang melawan Belanda,  Ki Sukaraja pun bergabung dengan mereka sekaligus ditunjuk sebagai pemimpin pasukan.

Ketika berperang Ki Sukaraja menyerang kompeni Belanda dengan taktik gerilya di siang hari dan kalau malam hari mereka bersembunyi dengan tidur diatas pohon yang rindang, tidur bergantungan mirip Kalong dengan sarung dikaitkan (muntang gayot) untuk menghilangkan jejak dari kejaran musuh.

Seiring waktu berjalan tempat pasukan Ki Sukaraja ini tidur bergelayut dikenal dengan nama Muntang yang lama kelamaan menjadi desa, karena lebih mudah menyebut Puntang maka nama Muntang berubah menjadi Puntang sampai sekarang.

Suatu hari ketika Ki Sukaraja melakukan muntang karena lelahnya, pusaka raja yang dititipkan padanya lupa diletakkan di atas tanah, pusaka raja pun mendadak hilang lenyap tanpa krana, Ki Sukaraja lupa dengan larangannya dan tidak menyadari kejadian ini.

Selesai muntang dan terbangun Ki Sukaraja sadar pusakanya telah hilang, ia menyangka pasti ada yang mengambil, dan yang mengambilnya adalah pasti saudaranya sendiri yaitu Ki Santri, karena Ki Santri sejak keberangkatan dari tempat asalnya selalu menginginkan pusaka tersebut.

Ki Sukaraja segera mendatangi persembunyian Ki Santri. Ketika sampai di tempat persembunyian Ki Santri, didapati Ki Santri sedang berbicara dengan Nyi Po Ah dari kejauhan, wanita yang sangat disukai Ki Sukaraja.

Diisertai hati cemburu dan marah, Ki Sukaraja menuduh Ki Santri mencuri pusaka raja, namun Ki Santri tetap bersikukuh tidak mencuri pusaka raja dan tidak bermaksud pula merebut wanita terkasihnya. Namun Ki Sukaraja sudah gelap mata dan tega menbunuh saudaranya sendiri Ki Santri.

Sebelum menghembuskan napas terakhirnya Ki Santri berkata pada Ki Sukaraja jika ia berbohong maka dalam pekuburan tidak terjadi apa-apa, tetapi bila ia benar maka dipekuburannya akan muncul cahaya, yang menunjukan bahwa Ki Santri jujur.

Saat malamnya di pekuburan Ki Santri keluarlah cahaya seperti patromak, yang membuktikan bahwa Ki Santri berkata jujur dan tidak salah, kebenaran yang ngeramat, akhirnya pekuburan Ki Santri disebut Buyut Kramat.

Sedang Ki Sukaraja merasa menyesal dan kecewa pada dirinya sendiri karena telah tega membunuh saudaranya yang tidak bersalah dan ia sendiri sadar telah lupa melanggar larangan menjaga pusaka raja, dengan perasaan itu pergilah Ki Sukaraja ke tempat dimana pusaka raja hilang yaitu disamping buyut Tingkem dan meninggal dunia.

Konon sampai sekarang dari desa Sukaraja Jatiwangi suka datang ke Puntang untuk memperingati peristiwa itu sambil membawa kembang kesukaannya kembang Cempaka Putih.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel