Fenomena Rangkap Jabatan: Khidmah atau Kemaruk?
Fenomena
Rangkap Jabatan: Khidmah atau Kemaruk?
Dalam
organisasi besar seperti Nahdlatul Ulama (NU), fenomena rangkap jabatan
bukanlah hal baru. Tidak sedikit tokoh yang menduduki lebih dari satu posisi
strategis, baik di lingkungan internal NU maupun di ranah eksternal seperti
pemerintahan, partai politik, atau lembaga negara. Praktik ini kerap dibingkai
sebagai bentuk khidmah (pengabdian) tanpa batas, dengan alasan bahwa semakin
banyak ruang yang ditempati, semakin besar pula kontribusi yang bisa diberikan.
Namun, benarkah demikian? Atau jangan-jangan yang terjadi justru sebaliknya:
akumulasi posisi demi gengsi dan kekuasaan?
Secara
normatif, khidmah dalam NU adalah nilai luhur yang menjadi fondasi gerakan.
Berkhidmah berarti melayani umat, menjaga tradisi, dan memajukan organisasi
dengan semangat keikhlasan. Namun, ketika khidmah berubah menjadi ambisi untuk
menguasai banyak posisi, maka nilai itu rentan terdistorsi menjadi
kemaruh—sebuah istilah Jawa yang merujuk pada kerakusan terhadap kehormatan dan
kekuasaan. Perbedaan antara khidmah dan kemaruh terletak pada niat dan
dampaknya. Khidmah menciptakan manfaat dan kesinambungan, sementara kemaruh
memunculkan stagnasi dan ketimpangan distribusi peran.
Rangkap
jabatan menjadi persoalan serius ketika mengakibatkan konsentrasi kekuasaan
pada segelintir orang. Hal ini bisa melahirkan oligarki kecil dalam tubuh
organisasi yang menyulitkan regenerasi dan mematikan partisipasi kader lainnya.
Ketika satu orang memegang terlalu banyak jabatan, peluang bagi kader muda
untuk mengambil peran strategis menjadi tertutup. Proses kaderisasi menjadi
pincang karena distribusi tanggung jawab tidak berjalan semestinya. Akhirnya,
muncul kesenjangan antara elite struktural dan kader akar rumput.
Di sisi
lain, pembelaan terhadap rangkap jabatan kerap didasarkan pada alasan kemampuan
dan kepercayaan. Tidak sedikit yang berargumen bahwa orang-orang yang dipilih
untuk rangkap jabatan memang memiliki kapasitas, rekam jejak, dan loyalitas
tinggi. Namun, persoalannya bukan hanya soal siapa yang mampu, tetapi apakah
rangkap jabatan benar-benar efektif dalam konteks manajemen organisasi yang
sehat. Bahkan orang yang paling cakap pun tetap dibatasi oleh waktu dan tenaga.
Tidak semua amanah bisa dijalankan secara optimal jika ditumpuk dalam satu
tangan.
Fenomena
ini juga menimbulkan kecemburuan sosial dalam tubuh organisasi. Kader yang
merasa “ditinggal” atau “tidak dianggap” menjadi apatis dan menarik diri dari
proses. Padahal, dalam tubuh NU yang sangat luas, dibutuhkan banyak tangan dan
kepala untuk mengelola dinamika umat. Menyebar tanggung jawab dan membuka ruang
bagi kader baru bukan hanya soal efisiensi, tapi juga soal keberlanjutan
organisasi.
Sudah
saatnya NU melakukan evaluasi mendalam terhadap praktik rangkap jabatan. Bukan
untuk membatasi khidmah, tapi untuk menjaga nilai luhur khidmah itu sendiri.
Membuka ruang partisipasi yang lebih luas, membatasi dominasi individu, serta
mendorong regenerasi yang sehat adalah langkah penting menuju NU yang lebih
inklusif, profesional, dan berkeadaban. Karena khidmah sejati tidak ditunjukkan
dengan banyaknya jabatan yang dipegang, melainkan dari seberapa besar manfaat
yang dirasakan umat dari jabatan tersebut.
Content Creator
Akang Marta (Indramayutradisi.com)