Fenomena Rangkap Jabatan dalam NU: Antara Dominasi dan Tantangan Regenerasi

 

Fenomena Rangkap Jabatan dalam NU: Antara Dominasi dan Tantangan Regenerasi


Salah satu persoalan yang kerap mengemuka dalam diskusi internal Nahdlatul Ulama (NU) adalah fenomena rangkap jabatan di kalangan kader. Tidak jarang kita menemukan kader yang bersamaan aktif di beberapa Banom (Badan Otonom) seperti IPNU (Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama), GP Ansor, dan lembaga struktural NU lainnya. Kondisi ini sering disebut dengan istilah “lu lagi, lu lagi” yang menggambarkan dominasi figur-figur tertentu secara berulang dalam ruang pengabdian. Fenomena ini bukan hanya soal pengulangan nama dan wajah yang sama, tetapi juga menimbulkan kegelisahan mendalam tentang efektivitas, keadilan, dan keberlanjutan organisasi.

Setiap Banom dan lembaga dalam NU memiliki karakteristik, batas usia, serta peran yang berbeda-beda. IPNU misalnya, fokus pada pelajar dengan rentang usia tertentu, sementara GP Ansor lebih mengarah pada kalangan pemuda dan aktivis. Idealnya, ruang pengabdian di masing-masing Banom tersebut seharusnya menjadi ajang regenerasi kader, membuka peluang bagi generasi baru untuk belajar dan berkontribusi. Namun, kenyataannya, posisi-posisi strategis seringkali dikuasai oleh orang-orang yang sama, yang secara bersamaan memegang banyak jabatan di berbagai Banom atau lembaga.

Kondisi ini menimbulkan masalah ganda. Pertama, dari sisi etika dan aturan organisasi. NU memiliki ketentuan yang jelas mengenai batasan usia dan peran agar terjadi perputaran dan pembagian peluang yang adil. Namun, praktik rangkap jabatan yang terjadi bertentangan dengan aturan tersebut. Hal ini mencerminkan lemahnya pengawasan dan penegakan disiplin dalam organisasi. Kedua, dari sisi efektivitas organisasi. Ketika satu orang harus membagi waktu dan energinya pada banyak posisi, kualitas pengabdian menjadi terancam. Jabatan yang seharusnya menjadi sarana pengembangan kapasitas dan kontribusi bisa menjadi beban yang justru menghambat kinerja.

Lebih dari itu, yang paling merugikan adalah dampaknya pada kaderisasi dan regenerasi. Banyak kader muda potensial merasa tidak mendapat ruang untuk berkiprah dan mengembangkan diri. Mereka terhambat oleh dominasi “orang lama” yang menguasai posisi-posisi kunci, sehingga semangat dan motivasi kader baru menjadi redup. Ini jelas bertentangan dengan prinsip meritokrasi yang mengedepankan kemampuan dan prestasi dalam penempatan posisi, bukan sekadar koneksi atau senioritas yang berlebihan.

Dalam jangka panjang, fenomena rangkap jabatan yang tidak terkendali ini dapat melemahkan NU secara organisasi. Regenerasi yang mandek menyebabkan stagnasi, sekaligus memunculkan risiko organisasi kehilangan relevansi di mata umat dan masyarakat luas. NU yang selama ini dikenal sebagai organisasi dinamis dan mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman akan kesulitan menumbuhkan kader-kader baru yang segar dan inovatif.

Solusi atas persoalan ini tidak cukup hanya dengan pengaturan teknis, melainkan juga butuh perubahan budaya organisasi yang menegaskan nilai-nilai keadilan, profesionalisme, dan pembagian peran yang sehat. Pengurus NU harus tegas menerapkan aturan terkait pembatasan rangkap jabatan dan aktif mendorong keterlibatan kader muda dalam posisi strategis. Selain itu, proses kaderisasi perlu diperkuat agar kader baru benar-benar siap dan mendapat kesempatan untuk mengambil peran.

Dengan demikian, NU dapat terus menjadi organisasi yang kuat, inklusif, dan progresif. Regenerasi yang sehat dan distribusi peran yang adil bukan hanya soal formalitas, melainkan fondasi penting bagi kelangsungan khidmah NU di masa depan. Karena sejatinya, keberhasilan sebuah organisasi besar seperti NU terletak pada kemampuannya mengelola sumber daya manusia secara bijak dan berkeadaban.

Content Creator

Akang Marta (Indramayutradisi.com)

 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel