Menjawab Kejenuhan Kader Muda: Antara Format Kaderisasi dan Sinkronisasi Struktural NU

 

Menjawab Kejenuhan Kader Muda: Antara Format Kaderisasi dan Sinkronisasi Struktural NU


Di tengah dinamika organisasi yang semakin kompleks, banyak kader muda Nahdlatul Ulama (NU) mulai mengungkapkan kejenuhan terhadap pola kaderisasi yang dijalankan. Kritik paling umum adalah soal penyampaian materi yang monoton, format yang terlalu kaku, serta minimnya ruang untuk berdialog secara kritis dan terbuka. Fenomena ini tentu menjadi alarm bagi NU, khususnya bagi lembaga-lembaga pengampu kaderisasi, bahwa ada kebutuhan mendesak untuk merevitalisasi pendekatan kaderisasi yang selama ini dijalankan.

Kader muda yang haus akan diskusi substansial dan relevansi praktis merasa kurang terfasilitasi dalam format kaderisasi yang lebih menyerupai kuliah satu arah. Materi yang disampaikan sering kali tidak mampu mengaitkan nilai-nilai ke-NU-an dengan realitas kontemporer yang dihadapi para kader, seperti isu sosial digital, perubahan budaya anak muda, hingga tantangan ekonomi umat. Ketika konteks kehidupan sehari-hari kader tidak disambungkan secara aktual dengan nilai dan materi yang diajarkan, maka kaderisasi hanya akan menjadi rutinitas administratif tanpa transformasi makna.

Lebih dari itu, persoalan struktural dalam tubuh NU juga memperkuat rasa jenuh tersebut. Badan Otonom (Banom) seperti IPNU-IPPNU, GP Ansor, Fatayat, Muslimat, hingga PMII dan Lembaga-Lembaga NU—masing-masing memiliki pola dan tahapan kaderisasi sendiri. Di satu sisi, keberagaman ini menunjukkan dinamika positif dan fleksibilitas struktural NU. Namun di sisi lain, tumpang tindih proses dan kurangnya koordinasi lintas lembaga kerap membuat kader bingung, bahkan merasa “terlalu sering dikader tapi tidak jelas akan ke mana setelahnya.”

Struktur NU yang besar dan mencakup banyak aspek kehidupan umat sebenarnya menyimpan potensi luar biasa untuk menampung dan menyalurkan bakat kader. Ada Syuriah sebagai ulama pengarah, Tanfidziyah sebagai eksekutor kebijakan, Mustasyar sebagai penjaga nilai, serta berbagai lembaga—seperti Pendidikan Ma’arif, Pagar Nusa, JATMAN, Lembaga Dakwah NU (LDNU), dan Jam’iyyatul Qurra wal Huffazh (JQH)—yang semuanya dirancang sebagai ruang aktualisasi kader sesuai minat dan kapasitasnya. Sayangnya, sinergi antara proses kaderisasi dan penempatan kader dalam struktur belum berjalan secara optimal.

Kaderisasi idealnya tidak berhenti pada pembentukan ideologis dan pemahaman dasar, tapi juga harus ditautkan dengan strategi penempatan dan pengembangan kader di bidang-bidang strategis. Tanpa sistem distribusi kader yang rapi dan terencana, kaderisasi hanya akan mencetak alumni yang akhirnya pasif atau terpinggirkan dalam struktur karena tidak tahu harus berkiprah di mana.

Untuk itu, revitalisasi kaderisasi NU perlu dilakukan secara menyeluruh. Tidak hanya pada perbaikan materi dan metode—agar lebih interaktif, kontekstual, dan merangsang pemikiran kritis—tetapi juga pada aspek kelembagaan dan koordinasi antar-Banom. Diperlukan sistem integrasi data kader, pemetaan minat dan potensi, serta mekanisme distribusi kader yang adil dan terbuka. Dengan demikian, kader muda tidak hanya merasa “dikader,” tapi juga diberi ruang untuk tumbuh, bergerak, dan mengambil peran nyata dalam struktur NU yang besar dan luhur.

Content Creator

Akang Marta (Indramayutradisi.com)

 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel