Fenomena Penceramah Populer: Antara Ilmu dan Hiburan
Fenomena Penceramah Populer: Antara Ilmu dan Hiburan
Kontributor
Sumarta
(Akang Marta)
Kasus yang melibatkan penceramah Miftah telah membuka mata banyak orang
mengenai fenomena yang kini berkembang dalam dunia dakwah. Popularitas seorang
penceramah terkadang lebih didorong oleh faktor hiburan dibandingkan dengan substansi
ceramah itu sendiri. Dalam banyak kasus, penceramah yang cenderung menggunakan
humor, bahkan yang terkesan tidak berkelas, tetap memiliki banyak penggemar.
Hal ini menunjukkan bahwa sebagian masyarakat lebih tertarik pada hiburan dan
gelak tawa yang disajikan daripada memperhatikan esensi dari pesan dakwah yang
disampaikan. Padahal, seharusnya dakwah berfungsi untuk membimbing umat menuju
kebaikan melalui ilmu agama yang mendalam, bukan sekadar untuk mencari
perhatian dengan cara yang mengundang tawa.
Kondisi ini semakin mengkhawatirkan ketika humor digunakan sebagai pengganti
penguasaan ilmu agama yang sesungguhnya. Beberapa pengamat mencatat bahwa
penceramah yang sering melontarkan lelucon tidak relevan atau bahkan
merendahkan, sering kali kurang memberikan pemahaman yang mendalam tentang
ajaran agama. Alih-alih menyampaikan nilai-nilai keagamaan yang mendalam dan
membangun karakter, mereka justru lebih fokus pada aspek hiburan semata.
Fenomena ini tentu saja menimbulkan pertanyaan besar tentang tujuan dakwah itu
sendiri. Jika seorang penceramah lebih dikenal karena humornya yang menghibur
daripada karena wawasan keagamaannya yang mendalam, maka patut dipertanyakan
apakah dakwah tersebut telah mencapai tujuannya dengan baik.
Lebih jauh lagi, trend ini juga menyoroti kenyataan bahwa beberapa
penceramah muda, terutama yang berasal dari latar belakang keluarga kiai, lebih
mengutamakan popularitas daripada kualitas dakwah itu sendiri. Anak-anak kiai
yang seharusnya menjadi contoh dan teladan dalam menyampaikan ilmu agama malah
terlihat lebih sibuk mencari panggung dan perhatian publik. Hal ini tentu
sangat disayangkan, mengingat mereka seharusnya membawa teladan bagi generasi
muda dan memberikan contoh dalam menjaga martabat agama. Namun, yang terjadi justru
sebaliknya; perilaku yang tidak sesuai dengan predikat "Gus" ini
justru semakin memperburuk citra dunia dakwah. Fenomena ini menunjukkan bahwa,
terkadang, gelar atau status sosial yang dimiliki seseorang dalam masyarakat
bisa mengaburkan pandangan kita terhadap kualitas keilmuan dan moralitas.
Tidak hanya itu, perkembangan media sosial juga turut memperburuk situasi
ini. Platform-platform seperti Instagram, YouTube, dan TikTok memberi ruang
bagi para penceramah untuk lebih fokus pada pencitraan dan hiburan, dengan
harapan dapat menarik perhatian lebih banyak pengikut. Dalam upaya meraih
popularitas, beberapa penceramah bahkan lebih memilih untuk menampilkan gaya
ceramah yang menghibur, meskipun itu mengabaikan nilai-nilai agama yang
seharusnya diajarkan. Fenomena ini membuat masyarakat, terutama kaum muda,
lebih tertarik untuk mengikuti penceramah yang bisa membuat mereka tertawa
daripada mereka yang benar-benar dapat memberi pencerahan spiritual. Ini
menciptakan tantangan besar dalam mendefinisikan kembali peran penceramah di
masyarakat, yang seharusnya menjadi sumber ilmu, bukan hanya penghibur semata.
Pada akhirnya, fenomena ini mengajarkan kita untuk lebih kritis dalam
memilih sumber ilmu, terutama dalam konteks dakwah. Tentu saja, humor dalam
ceramah dapat menjadi alat yang efektif untuk menarik perhatian dan membuat
ceramah lebih menyenangkan, tetapi humor tersebut harus tetap berada dalam
koridor yang etis dan tidak merendahkan martabat siapa pun. Penceramah
seharusnya tidak hanya dihargai karena bisa menghibur, tetapi lebih karena
kemampuan mereka dalam menyampaikan pesan agama yang berkualitas. Dakwah
seharusnya menjadi sarana untuk mengedukasi umat, bukan hanya untuk menciptakan
hiburan. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk lebih selektif dalam
mengikuti penceramah, memilih mereka yang mampu memberikan ilmu dan teladan
yang baik, bukan hanya sekadar hiburan semata.