Sanksi Sosial dan Pelajaran bagi Para Penceramah
Sanksi Sosial dan Pelajaran bagi Para Penceramah
Kontributor
Sumarta
(Akang Marta)

Akang Marta
![]() |
Akang Marta |
Respon tajam dari netizen terhadap tindakan Miftah menjadi indikasi bahwa
masyarakat semakin memiliki harapan tinggi terhadap perilaku para tokoh agama,
terutama dalam menyampaikan dakwah. Sebagai penceramah, Miftah, yang seharusnya
menjadi contoh dan teladan, justru gagal dalam menjaga sikap dan etika dalam
menyampaikan pesan. Candaan yang dianggap tidak pantas dan merendahkan martabat
orang lain tidak hanya memicu kemarahan publik, tetapi juga mencoreng citra
dakwah itu sendiri. Sebagai seorang figur publik, Miftah memegang peranan yang
sangat penting dalam membentuk pandangan dan perilaku jamaahnya. Tindakan yang
tidak sesuai dengan harapan masyarakat ini tentunya berpotensi merusak
kepercayaan jamaah terhadap dakwah yang ia sampaikan. Dalam dunia yang serba
terbuka seperti sekarang, sebuah kesalahan kecil bisa dengan cepat tersebar
luas dan menciptakan dampak yang besar, bukan hanya bagi individu tersebut,
tetapi juga bagi masyarakat yang terlibat.
Dalam hal ini, sanksi sosial yang diterima oleh Miftah berupa kritik tajam
dari netizen sebenarnya bisa dipandang sebagai bentuk pertanggungjawaban moral.
Kritik-kritik tersebut tidak hanya ditujukan pada Miftah sebagai individu,
tetapi juga memberikan pesan yang lebih luas bagi semua penceramah dan tokoh
agama di Indonesia. Kritik publik ini mencerminkan harapan masyarakat agar para
pendakwah lebih berhati-hati dalam memilih kata-kata dan menjaga sikap mereka.
Apalagi di era digital saat ini, segala bentuk ucapan dan tindakan dapat dengan
cepat tersebar melalui media sosial, membuat sanksi sosial menjadi lebih
efektif dalam memberikan peringatan. Sanksi sosial seperti ini bisa menjadi
pelajaran berharga, baik bagi penceramah maupun bagi masyarakat umum, untuk
lebih bijak dalam berkomunikasi.
Fenomena ini juga membuka mata kita tentang betapa besarnya pengaruh para
tokoh agama dalam membentuk norma dan etika masyarakat. Sebagai figur yang
dipercaya untuk menyampaikan nilai-nilai agama, seorang penceramah diharapkan
tidak hanya memiliki pengetahuan agama yang mendalam, tetapi juga mampu
menampilkan sikap yang baik dan santun. Ketika seorang penceramah gagal menjaga
etika, hal ini bisa menurunkan kredibilitasnya di mata publik. Lebih buruk
lagi, jika perilaku negatif tersebut dicontohkan kepada jamaah, maka dampaknya
akan jauh lebih luas. Oleh karena itu, sanksi sosial yang diterima oleh Miftah
seharusnya menjadi bahan refleksi bagi semua penceramah agar mereka lebih
menjaga sikap dan ucapan mereka, karena apa yang mereka ucapkan dapat
memengaruhi banyak orang.
Sanksi sosial bukanlah hal yang harus dihindari, melainkan sebuah cara untuk
mengingatkan dan memberi pelajaran. Dalam hal ini, kritik dari netizen
memberikan kesempatan bagi Miftah untuk introspeksi dan melakukan perbaikan
diri. Sanksi sosial ini juga mengingatkan para penceramah lain bahwa dunia
dakwah bukanlah tempat untuk lelucon yang merendahkan, melainkan ruang untuk
menyampaikan kebenaran, moralitas, dan nilai-nilai luhur agama. Apabila seorang
penceramah terlalu santai dalam menjaga kata-kata atau humor, dampaknya bisa
sangat besar, tidak hanya bagi dirinya tetapi juga bagi dakwah itu sendiri.
Oleh karena itu, menjaga sikap dan ucapan dalam dunia dakwah adalah hal yang
sangat penting untuk memastikan bahwa pesan yang disampaikan tetap positif dan
tidak menyakiti siapa pun.
Kasus ini mengajarkan kita pentingnya kehati-hatian dalam menyampaikan
pesan, apalagi di era digital yang memungkinkan segala sesuatu tersebar dengan
cepat. Miftah yang telah mendapatkan kritik keras dari masyarakat kini harus
menghadapi konsekuensi dari ucapannya, yang tidak hanya mencemarkan nama baik
dirinya tetapi juga mencoreng nilai-nilai dakwah. Ini menjadi pengingat bagi
kita semua, bahwa sebagai figur publik yang memiliki pengaruh besar, setiap
kata yang dikeluarkan dari mulut kita harus dipikirkan dengan matang. Dengan
begitu, kita dapat menghindari kesalahan yang berpotensi merusak citra diri dan
mengurangi dampak negatif bagi masyarakat luas. Sebagai penceramah, menumbuhkan
rasa hormat dan menjaga integritas dalam berbicara adalah tanggung jawab yang
tidak bisa dianggap remeh.