Pengalaman di Belanda: Ketangguhan Tan Malaka di Tengah Kesehatan dan Ketidakadilan Sosial

 

Pengalaman di Belanda: Ketangguhan Tan Malaka di Tengah Kesehatan dan Ketidakadilan Sosial

Kontributor

Sumarta (Akang Marta)

 


Ketika Tan Malaka tiba di Belanda untuk melanjutkan pendidikan, ia dihadapkan pada tantangan besar, mulai dari perbedaan iklim yang ekstrem hingga rasa keterasingan sebagai mahasiswa dari negeri jajahan. Suhu dingin yang menusuk tulang menjadi cobaan fisik yang berat baginya, terutama bagi tubuh yang belum terbiasa dengan kondisi tersebut. Di tengah tekanan ini, Tan Malaka juga menghadapi kenyataan bahwa dirinya adalah bagian dari bangsa yang tertindas, belajar di negeri yang menjadi penjajah tanah airnya. Rasa keterasingan ini membuatnya semakin introspektif dan mendorongnya untuk mendalami pemahaman tentang ketidakadilan sosial yang ia saksikan di sekelilingnya.

Tahun 1915 menjadi masa yang penuh cobaan ketika Tan Malaka terserang penyakit pleuritis, sebuah gangguan kesehatan yang menyerang paru-paru dan menyebabkan nyeri hebat. Kesehatannya yang semakin memburuk tidak memadamkan semangat belajarnya, meskipun ia hidup dalam keterbatasan. Kamar kecil di loteng yang gelap dan sempit menjadi tempat tinggalnya, dan makanan seadanya membuat kondisi fisiknya semakin rentan. Namun, semangat Tan Malaka untuk memahami persoalan sosial tetap membara. Ia menyadari bahwa perjuangan intelektual tidak bisa dipisahkan dari pengalaman langsung menghadapi tantangan hidup.

Meskipun kesehatannya terus menurun, Tan Malaka tetap berusaha menyelesaikan pendidikannya. Tahun 1916 menjadi salah satu periode tersulit ketika ia mencoba mengikuti ujian meski dalam kondisi fisik yang tidak optimal. Kegagalan lulus di sebagian besar mata kuliahnya tidak membuatnya patah semangat. Sebaliknya, ia semakin terdorong untuk mencari pemahaman yang lebih mendalam tentang ketidakadilan sosial dan ekonomi yang terjadi di Eropa. Ia mulai aktif berdiskusi dengan mahasiswa lain, terutama mereka yang mendalami ideologi sosialisme dan komunisme. Diskusi ini membantunya merumuskan gagasan tentang perlunya perubahan struktural untuk mewujudkan keadilan sosial.

Pengalaman hidup di Belanda memberi Tan Malaka wawasan baru tentang hubungan antara kesehatan individu dan struktur sosial yang tidak adil. Ia melihat bagaimana kaum buruh yang bekerja keras untuk menopang ekonomi justru sering kali hidup dalam kemiskinan dan kondisi kesehatan yang buruk. Perspektif ini memperkuat keyakinannya bahwa ketidakadilan sosial bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga tentang akses terhadap kebutuhan dasar seperti makanan, perumahan, dan kesehatan. Kesadaran ini menjadi salah satu fondasi pemikirannya dalam memperjuangkan keadilan sosial bagi rakyat Indonesia, yang hidup dalam penderitaan serupa akibat eksploitasi kolonial.

Melalui pengalaman berat di Belanda, Tan Malaka menunjukkan bahwa perjuangan intelektual dan fisik sering kali berjalan beriringan. Kesehatannya yang rapuh, kesulitan finansial, dan keterasingan tidak membuatnya menyerah. Sebaliknya, ia menjadikan semua tantangan itu sebagai bahan refleksi dan motivasi untuk memahami ketidakadilan yang terjadi di dunia. Pengalaman ini membentuk Tan Malaka menjadi seorang pemimpin yang tidak hanya memahami teori, tetapi juga memiliki empati mendalam terhadap penderitaan rakyat. Dari Belanda, ia membawa pulang pelajaran penting tentang keberanian melawan ketidakadilan, sebuah semangat yang terus ia bawa hingga akhir hayatnya.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel