LABEL HARAM MUI

Suatu malam di acara rutinan pembacaan Ratibul Haddad seorang kawan saya bercerita bahwa dia sedang mendata semua pelaku UMKM agar mendapatkan sertifikasi halal.

Ada yang lucu kata kawan saya tersebut, setelah semua dikumpulkan, mengisi data, kemudian kami wawancara satu-satu mereka.
"Ibu jualan apa?"
"jualan gayung, dan perabot plastik pak?" katanya
"saya jualan panci dan pecah belah pak?" sambung pedagang lainnya.
Dalam diskusi tersebut saya bertanya, perlukah gayung, panci, air galon, rumbah bongkoh diberikan label halal?
Bukankah sejak lama kita tidak pernah bertanya bahwa serabi itu halal tidak? air galon halal tidak? atau gayung halal tidak?
Atau madrasah ini halal tidak, sekolah ini haram tidak, pesantren itu halal tidak?
Kalau semua itu dikerjakan maka akan butuh tenaga besar sekali untuk menghukumi yang boleh sejak lama, halal sejak lama kemudian disertifikasi kehalalannya. Mending dibuat saja cap "HARAM" kemudian kita tempelkan secara selektif agar yang punya usaha kemudian membuktikan kehalalannya.
Misal terhadap pengusaha Bakso yang kita curigai kita tempel saja gerobaknya dengan label haram. Dipastikan pedagang tersebut akan mencak-mencak ngamuk bahwa dagangannya halal. Nah ikhtiar pedagang tersebut meraih label halal bisa dikerjakan berdasar keinginan pengusaha secara mandiri, tidak perlu repot kita kerjakan.
Agar kerja-kerja labelisasi berjalan cepat dan efektif dan mandiri maka yang perlu dibuat adalah kebalikannya, bukan halal tapi haram. Bukan sekolah ini baik tapi sekolah ini sesat, pesantren ini sesat dsb, dipastikan bakal terjadi ikhtiar kolektif agar beramai-ramai memperbaiki diri agar menjadi baik dan menjadi halal.
Kawan saya yang penyuluh agama honorer yang ditugasi ngurusi label halal itu tertawa gembira, nemu cara termudah agar pekerjaanya cepat selesai.

(Yahya)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel