ZAKAT & MPOK LINA

Ini tentang Mpok Lina. Tetangga saya yang sehari-hari bekerja sebagai pengumpul kardus bekas, atau apapun yang oleh sebagian orang dianggap sudah tidak terpakai lagi. Rumah yang ditinggalinya pun hanya berukuran 4×4 M, berdinding triplek, ini pun menumpang di atas tanah H. Udin. 


Umur Mpok Lina sekitar lima puluhan, berbadan kurus dan hanya memiliki seorang anak angkat yang ia asuh sejak 15 tahun yang lalu. Ia seorang janda. Dulu ketika masih gadis Mpok Lina pernah bekerja sebagai TKW di Arab Saudi. Namun, karena permasalahan yang kerap menimpa para TKW Indonesia, ia pun pulang kampung. Pernah berjualan gado-gado, namun seiring meningkatnya harga-harga dan pendapatan yang tidak sesuai akhirnya ia pun menutup usahanya. 


Profesi sebagai pengumpul barang bekas inilah yang akhirnya ia geluti selama 12 tahun terakhir. Menurutnya hanya pekerjaan ini yang tidak memerlukan modal, hanya memerlukan sisa-sisa tenaganya di umur yg semakin renta. 


Meski hidup sangat pas-pasan, Mpok Lina tak pernah putus asa dalam mencari rezeki Tuhan. Bahkan untuk meminta seteguk air pun jarang ia lakukan. Ia seorang yang taat dalam beragama. Shalat jamaah magrib, Isya, dan Subuh pun ia selalu hadir tepat waktu. Walaupun terkadang ia merasa malu dengan mukenah yang sudah terlalu tua dan terdapat 2 atau 3 tambalan. Namun, baginya cukuplah ia merasa malu kepada Sang Khalik tidak kepada manusia. 


Dua hari yang lalu, Mpok Lina berkunjung ke rumah saya. Saya yang hanya mantan Santri Mbeling, memang kerap dijadikan tempat bertanya olehnya. Entah, mengapa ia kerap menjadikan saya tempat bertanya? Ia hanya menjawab bahwa dirinya sungkan kalau bertanya langsung pada Ustadz di kampung kami. 


Kedatangan Mpok Lina ke rumah saya kali ini hanya untuk bercerita tentang keinginannya membayar berzakat. Seperti biasa Mpok Lina duduk menjauh bila berhadapan dengan saya. Ia lebih memilih duduk bersimpuh di lantai, namun selalu saya dan istri mencegahnya. 


”Bang, kira-kira orang fakir miskin seperti saya boleh berzakat?,” ucap Mpok Lina dengan suara yang pelan memulai pembicaraan.

”Maksudnya?”, tanya saya heran. 

”Saya yang selama ini selalu menjadi penerima zakat, ingin rasanya sesekali berzakat untuk diri saya dan anak saya si Sabar. Saya memang miskin. Tapi, saya juga ingin sesekali merasakan berbagi terhadap sesama. Tentu saya juga tidak mau nantinya ketika meninggal dunia Sang Khaliq tidak menatap saya hanya karena selama hidup tidak memiliki rasa sosial terhadap sesama. Mungkin, melalui zakat ini saya bisa merasakan berbagi kepada sesama” Ucapnya dengan polos. 


Saya hanya diam, sambil memperhatikan wajah Mpok Lina yang mungkin sedikit cemas menunggu tanggapan saya. Bahkan dia mengulangi kata-katanya karena saya masih diam. Karena lama tidak memberikan tanggapan, mungkin Mpok Lina mengira akan mendapat jawaban yang mengecewakan keinginannya. Padahal saya lama terdiam karena sangat terkesan oleh keinginan Mpok Lina yang miskin untuk berzakat. 


”Begini, Mpok. Memang salah satu rukun Islam yg harus kita jalani adalah mengeluarkan zakat. Tapi, kewajiban zakat itu hanya dibebankan kepada orang-orang Islam yang memiliki kelebihan harta. Bila uang 50 ribu yang Mpok punya, dibayarkan zakat, tentu esok hari mpok tidak bisa makan. Dan ini berarti mpok tidak wajib zakat. Malahan, Mpok wajib menerima zakat dari tetangga-tetangga yang lebih mampu. Terus, apakah niat Mpok Lina untuk berzakat sudah bulat? Walaupun sebenarnya Mpok termasuk kategori tidak wajib zakat”. 


”Iya Bang. Saya sudah bulat. Saya benar-benar ingin berzakat. Saya malu selama ini selalu menjadi penerima zakat. Biarlah uang yang 50 ribu ini hanya bayarkan zakat. Saya ikhlas demi menunaikan rukun Islam saya yaitu membayar zakat, walaupun hanya sekali seumur hidup saya. Semoga nanti kelak di akhirat, Tuhan sudi memandang saya” 


”Ya sudah, baiklah kalau begitu. Besok Mpok datang ke Masjid untuk membayarkan zakat” ucap saya berusaha memantapkan keinginannya. 


Wajah Mpok Lina terlihat Cerah. Senyumnya indah. Matanya berbinar. Lalu, ia berpamitan, dengan langkah yang sedikit tertatih Mpok Lina pulang. Setelah bayangan Mpok Lina hilang di ujung gang, saya dan isteri terdiam, seperti tak percaya akan keinginan mulia Mpok Lina. 


Mpok Lina mencoba mendengar, mengerti, menghayati, lalu menginternalisasi nilai-nilai sosial dalam ibadah Zakat yang ditinggalkan oleh Kanjeng Nabi Muhammad SAW. 


Mpok Lina yang hanya seorang miskin, dengan ikhlas merelakan uang 50 ribu satu2nya untuk berzakat. Ya walaupun mungkin besok bisa dipastikan ia tidak bisa makan. Ah…saya yakin Allah SWT Maha Adil.. biar Dia yang akan menjawab rahasia ini. 


Mpok Lina, saya jadi malu. Kamu yang hanya seorang miskin, begitu gigih mengorbankan uangmu hanya untuk berzakat yg sebenarnya ini tidak dibebankan kepada orang-orang sepertimu. 


Puasa, melalui Mpok Lina, telah mengajarkanku arti berbagi terhadap sesama. Ah, Mpok Lina….semoga di hari kemenangan nanti engkaulah termasuk orang-orang yang dipilih sebagai manusia yang Fitri…... tanpa sadar air mata saya mengalir… isteri saya pun sama. Kami senyum sambil menghapus air mata yg mengalir.

Pangkalan Ojek pinggir Kalimalang


Penulis : Bahrudin Ahmad

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel