KH. SYARIF USMAN YAHYA : PEMBUKA PINTU INTELEKTUAL (Tadzkiroh Haul ke-7)

“Di Cirebon ada Kyai yang sangat Alim, alumni Lirboyo. Waktu mondok, beliau hafal nadzom Alfiyyah seribu bolak-balik, dari bait satu ke bait seribu, atau sebaliknya, dari bait seribu ke bait satu. Dari bait tengah ke seribu atau dari bait tengah ke satu, semua nya hafal. Beliau adalah Habib Usman bin Muhammad bin Abu Bakar Bin  Yahya Kempek Cirebon.“ ungkap KH. Said Aqiel Siradj



Saya menjadi santri Pondok Pesantren Kempek Cirebon asuhan Al-Mukarram Waalidiy Kyai Haji Umar Sholih Kempek dari tahun 1989 sampai tahun 1995. Dari tahun 1992 sampai selesai (1995) saya juga menjadi santri Kyai Haji Syarif Usman Yahya, yang lebih dikenal dengan sebutan Abah Usman, di samping menjadi santri Buya Kyai Haji Ja’far Aqil Siroj.

Saat itu, tahun 1992 saya mulai kenal dengan Kyai Haji Amin Fuad  (Kang Amin), putra KH. Fuad Amin Babakan, dan mulai kenal dengan Habib Hasan (Kang Asan), putra Abah Usman. Selain mereka berdua pun saya kenal dengan sejumlah “Anak-anak Kyai”  yang dalam istilah Jawa Timur dikenal dengan sebutan GUS. Ada Kyai Ubaidillah Hidayat, putra Kyai Haji Hidayat  pendiri Pondok Pesantren Darussalam Kunir Subang, Kyai Yusuf (putranya Kyai Abdullah) Banten, Kyai Abdul Muiz, putranya Kyai Sahal Losari, dan masih banyak lagi.

Pada tahun itu (1992), saya, Muiz, Ubed, dan Yusuf perlahan-lahan tapi agak sering mulai “KENAL” dengan Abah Usman. Kami berempat dan Kang Asan sering nongkrong di depan rumah ABAH, yang terletak di sebelah barat rumah Haji Jamal bin H Abdul Haq,  sambil makan Jambu Air yang ada di depan rumah ABAH. Tentu saja semua itu dilakoni dengan tanpa ada beban apapun, karena semua berjalan dengan posisi yang SEJAJAR, dalam bahasa ilmiah di sebut EGALITER. Tidak jarang ABAH yang menyuruh, meminta, atau bahkan memberitahu kalo ada jambu air yang sudah matang. Sambil makan jambu air, duduk lesehan, kami semua NGAJI sama ABAH dengan metode yang BERBEDA. Kenapa berbeda ?

Pertama : NGAJI yang dimaksud adalah ngobrol ngalor-ngidul, tetapi oleh ABAH selalu disisipi teori-teori nahwiyyah atau fiqhiyyah, karena konsentrasi santri pondokan biasanya terfokus pada kitab nahwu dan fiqih.

Kedua : BERBEDA yang dimaksud adalah tema pengajian tidak ditentukan oleh daftar isi dalam sebuah kitab, melainkan ditentukan oleh apa yang dilihat, apa yang dirasakan, dan apa yang didengar. Kaum akademisi menyebutnya dengan istilah pengalaman empiris.

Contoh ; ketika ada seekor kalong menggigit mangga di depan rumah ABAH, peristiwa itu menjadi bahan NGAJI (diskusi) kami semua, termasuk ABAH. Kenapa Kalong tidak pernah menghabisi mangga yang digigitnya?. Semua boleh menjawab, dengan jawaban yang serius atau jawaban yang asal-asalan. Semua jawaban didengar dan diapresiasi sama ABAH.

Contoh lain, ABAH bercerita, “ Ibunya Yusuf “ngglendeng’ (Bhs. Jawa, artinya menggerutu), “ BAH, Yusuf kih tambah gering bae, jare sering melek bengi’ (BAH, Yusuf ini tambah kurus saja, katanya sering begadang), demikian kira-kira “glendengan” ibunya Yusuf. ABAH membelaYusuf. Kata ABAH, “ Wong jare Kanjeng Nabi-e kuh dikongkon ihyaul lail. Kun kuh artine dikongkon melek bengi. Meleke sih arep apa embuh apa, sing penting melek bengi” (Wong Kanjeng Nabinya memerintahkan kita untuk ihyaul lail (menghidupkan malam). Itu tuh artinya diperintahkan untuk begadang. Begadangnya sih mau diisi apa saja, yang penting begadang). Demikian kira-kira penjelasan ABAH. Menurut ABAH, kalau sudah terbiasa melek bengi (begadang), nanti akan terfikir dengan sendirinya untuk memanfaatkan waktu dengan sebaik mungkin. Bisa dengan shalat, bisa dengan deres kitab, bisa dengan apa saja, tetapi unsur utamanya tetep melek bengi (begadang).

Selain itu, BERBEDA yang dimaksud adalah metode yang dipakai tidak menggunakan metode orasi,  seperti membaca, dan menghafal, sebagaimana kebanyakan metode yang dipakai di pondok-pondok pesantren. Metode yang dipakai ABAH menggunakan metode literasi (tulisan). Jadi, di tahun 1992, ketika kami mulai MENGAJI memakai kitab, kami disuruh MENULIS apa yang difahami dari isi kitab, bukan sekedar membaca atau menghafal. Dan tulisan itu disetorkan dan dibacakan dihadapan ABAH.

Saya masih ingat betul, bagaimana kami semua kesulitan menterjemahkan “ al-ashlu ma yubna ‘alayhi ghoyruhu “ dari kitab usul fiqih, WAROQOT “ Sesuatu yang dibangun di atasnya selainnya “, lucu kan…., alayhi atasnya, ghoyruhu selainnya, he…, tetapi seperti itulah kira-kira kami diajari oleh ABAH untuk menggunakan dzauq / sense (rasa) kebahasaan kita. Dari optimalisasi dzauq atau sense ini kami semua betul-betul diajari metode dasar dari hampir semua ilmu pengetahuan. Sebab, ilmu pengetahuan adalah kemampuan seseorang untuk dapat  memotret  realitas dan konsep secara literal atau tertulis.

Secara berurutan dan kronologis, kami semua mengaji kitab filsafat hukum Islam / ushul fiqih, waroqot  (1992), theology / tauhid / kalam, Jauharotut Tauhid (1993), logika / mantiq, Sulamul Munauroq (1994) dan satu lagi kitab Al-Asybah wa al-Nadhoir (1994).

Serpihan Pemikiran Keagamaan Kyai Haji Syarif Usman Yahya

Pada tahun 2008, kakek-nenekku (Mama De Haji Yahya dan Mimi De Hj Mukminah) akan berangkat ke Tanah suci menunaikan ibadah haji. Tanpa sengaja, ABAH mampir ke rumah, sebelum melanjutkan perjalanan. Saat ABAH mampir di rumah, kakek-nenekku ikut menemui ABAH, dan saya sebagai juru bicara mengemukakan rencana kakek-nenek dan memohon doa atas rencana pergi haji mereka. Di luar dugaan, ABAH berkomentar, “ Arep apa mana-mana, ning kanah gah laka Gusti Allah-e kuh….” (Mau apa ke sana, di sana juga tidak ada Tuhan tuh).  Demikian kira-kira komentar ABAH. “ Arep apa mana-mana, ning kanah gah laka Gusti Allah-e kuh….” (Mau apa ke sana, di sana juga tidak ada Tuhan tuh), kelihatan sepele, tetapi pernyataan itu mengandung muatan makna sufistik-filosofis. Orang kebanyakan akan memahami seadanya saja dari pernyataan ABAH di atas, tetapi bagiku, pernyataan ABAH ini betul-betul menjadi inspirasi bagi saya dalam membuat sebuah tulisan untuk khutbah jumat tentang “Rumah Tuhan” atau Baitullah.

TUHAN mempunyai rumah. Pernyataan ini didapat dari terjemahan Baitullah. Bagaimanakah memahami Tuhan punya rumah, atau memahami rumah Tuhan ?. TUHAN yang tidak dapat dijangkau oleh apapun, terkurung oleh rumah yang terjangkau. Mungkinkah?. Rumah Tuhan atau Baitullah adalah semacam pertanda, titik, atau jejak. Di sana memang tidak secara tegas dan jelas menyatakan bahwa TUHAN memang ada di sana. Tetapi paling tidak, pertanda, titik, atau jejak itu menjadi salah satu tujuan keagamaan seseorang bila ingin mencari dan menemui TUHAN.  Demikian kira –kira maksud ABAH ketika menyatakan komentar seperti di atas.

 Di tahun 2009, ketika saya sowan ke ABAH, seperti biasa kami ngobrol ngalor ngidul. Diantara obrolan yang kami sampaikan pada ABAH adalah fenomena kredit sepeda motor yang begitu gampang, murah, dan mudah. Awalnya saya hanya bercerita tentang fenomena kredit motor, tetapi tiba-tiba ABAH menjustifikasi sebagai RIBA. Antara kaget dan penasaran, saya larut diskusi dengan ABAH mengenai RIBA dihubungkan dengan fenomena sekarang. ABAH tetap bersikukuh dengan pendapatnya bahwa hal itu termasuk RIBA.
 Saya tidak tahu, apakah pendapat ABAH mengenai fenomena kredit sekarang yang disebut RIBA oleh ABAH sebagai pendapat yang sengaja disampaikan untuk meredam laju kapitalisme yang begitu kuat, ataukah memang murni dalil keagamaan. Sebab, dalam sejumlah diskursus ilmiah mengenai perbankan, ditemukan 3 (tiga) jawaban mengenai hukum perbankan di Indonesia. Haram, halal, dan syubhat. Kebanyakan umat Islam Indonesia mengikuti pendapat hukum  halal. Termasuk dalam hal ini adalah hukum kredit barang, yang menurut ABAH ada unsure RIBA di dalamnya. Sambil menjelaskan alasan RIBA, ABAH memetakan teori kapitalisme global yang memang benar-benar harus dilawan. Dan salah satu perlawanan terhadap kapitalisme global, menurut ABAH adalah menyatakan sebagai riba perilaku transaksi kredit. Dari sini saya dapat pemahaman baru tentang hukum suatu perkara dengan melihat alasan global internasional, yang memang saya betul-betul tidak tahu peta perkembangan industri ekonomi dan monenter dunia.

Di tahun 2010, setelah mengikuti prosesi pemakaman Ibu Nyai Hajjah Afifah, istri Almarhum Kyai Haji Aqil Siroj, ibunda Kyai Haji Ja’far Aqil, saya sowan ke ABAH bersama Kyai  Ubed Hidayat yang sekarang menetap di Bandung. Salah satu obrolan yang muncul adalah kritik ABAH terhadap metodologi ilmiah modern dengan metodologi klasik tradisional. Sesuatu dianggap ilmiah, kata ABAH, harus melewati berbagai tahapan-tahapan yang njlimet, padahal, menurut ABAH,  sesuatu dianggap ilmiah tidak harus melewati tahapan-tahapan yang njlimet.

Abah memberi ilustrasi dengan profesi tukang gogoh lele, sebuah keahlian yang biasa dilakukan oleh orang kampung ketika memburu ikan lele. Menurut ABAH, bagaimanakah seorang tukang gogoh lele mendapatkan hasil tangkapannya ?, ia menggunakan insting atau naluri. Yang bukan ahlinya, tentu akan kesulitan mendapatkan ikan lele. Tetapi bagi ahlinya, tanpa alat apapun, ia dengan mudah mendapatkan ikan lele. Ilmiahkah itu ?, ABAH menyebutnya sebagai sesuatu yang ilmiah. Bagaimanakah menjelaskannya ?, sesuatu dianggap ilmiah oleh ABAH tidak harus melewati tahapan-tahapan yang rumit, tetapi cukup dengan keahlian seseorang dalam mendemonstrasikan sesuatu. Dalam hal ini, ABAH ingin menyatakan metodologi yang dipakai oleh orang awam sekalipun, bukan tidak mungkin lebih ilmiah dibanding metodologi yang dipakai oleh orang modern. Hal ini semacam anti-tesis terhadap kajian metodologi.

Masih banyak serpihan pemikiran ABAH yang belum tercover dalam testimony ini, tetapi paling tidak dari tulisan singkat ini, saya hanya ingin menyampaikan bahwa  Kyai Haji Syarif Usman Yahya adalah guru saya pembuka pintu intelektualitas saya. Dan benarlah apa yang disampiakan oleh Ketua Umum PBNU, Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj, dalam pidato penutupan Konferwil JATMAN PWNU Jabar di Bandung beberapa tahun yang lalu :

“ Di Cirebon ada Kyai yang sangat Alim, alumni Lirboyo. Waktu mondok, beliau hafal nadzom Alfiyyah seribu bolak-balik, dari bait satu ke bait seribu, atau sebaliknya, dari bait seribu ke bait satu. Dari bait tengah ke seribu atau dari bait tengah ke satu, semua nya hafal. Beliau adalah Habib Usman bin Muhammad bin Umar bin Abu Bakar Bin Yahya Kempek Cirebon “
 
Wallahu a’lam


Oleh : KH. Munawir Amin

sumber : Fb KH. Munawir Amin

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel