Upacara Munggah Suhunan, Sebuah Tradisi Warga NU Penuh Makna Filosofi

 Oleh: KH Abdul Rofi' Afandi*)

Nahdlatul Ulama adalah organisasi kemasyarakatan ke-Islaman yang dikenal sangat menghargai seni, budaya dan menjunjung tinggi adat tradisi. Sedemikian banyak seni, budaya, adat dan tradisi yang berkembang di Bumi Nusantara ini, namun semuanya dihormati, dijaga dan dihargai, asalkan tradisi tersebut tidak bertentangan dengan syariat Islam. 



Jikapun ada adat dan tradisi yang bertentangan dengan syariat, maka ulama NU melakukan akulturasi budaya dan berupa “mengislamkan” kebiasaan yang diturunkan secara turun temurun sejak zaman nenek moyang terdahulu, bahkan melalui jalur seni, budaya, adat dan tradisi tersebut dakwah Islam dikembangkan, seperti halnya Sunan Kalijaga yang menggunakan wayang untuk sarana dakwah pengembangan Islam di tanah Jawa.

Salah satu tradisi yang masih terus lestari dan masih dijalankan oleh warga NU hingga saat ini adalah tradisi “Munggah Molo” atau di Jawa Barat khususnya di Cirebon dan Indramayu dikenal dengan sebutan “Munggah Suwunan” atau “Munggah Sunan” yang berarti sebuah upacara tradisi/keagamaan yang dilakukan saat mengiringi dinaikannya atap tertinggi dari rumah yang sedang dibangun berupa pemasangan kuda-kuda atau palang kayu utama yang menghubungkan antara satu kuda-kuda dengan kuda-kuda lainya.

Munggah suwunan adalah  selamatan atau syukuran yang dilakukan oleh Nahdliyin yang sedang membangun rumah  sebagai wujud rasa syukur atas rejeki yang melimpah sehingga bisa membangun rumah, disamping itu juga sebagai wujud do’a atau permohonan kepada Allah SWT agar rumahnya aman untuk ditempati dan mendapat berkah dari Yang Maha Kuasa. 

Upacara munggah suwunan biasanya diisi dengan pembacaan tahlil, marhabanan dan do’a yang dipimpin oleh seorang tokoh agama desa setempat, kemudian saat proses pengangkatan palang kayu ke atas diiringi dengan kumandang adzan dan iqomah.

Hal lain yang mengiringi upacara munggah suwunan adalah pemasangan beberapa simbol dalam bentuk  buah-buahan, makanan, minuman, tanaman dan bendera merah putih dan bendera NU yang mengandung makna penuh filosofi. 


Diolah dari beberapa sumber dan berdasarkan cerita turun temurun yang berkembang di masyarakat, bahwa berbagai jenis yang disebutkan di atas merupakan simbol yang mengandung makna filosofi yang sangat mendalam, diantaranya:

PISANG, pohon pisang adalah pohon yang biasanya dia tidak mati sebelum berbuah. Jadi filosofi yang terkandung di dalamnya adalah sebuah pesan agar sebelum kita mati, kita harus bermanfaat dulu kepada orang lain. 

PADI, semua orang tentu sudah faham dengan filosofi padi yakni kian berisi kian menunduk, artinya semakin kita berharta / berilmu kita tidak boleh sombong.

KELAPA, pohon yg semua unsurnya dapat berguna, mulai dari pohon/kayunya, buah (airnya), seppet (kulit buahnya ) daun/ janurnya bahkan lidinya semua ada manfaatnya, hal ini mengandung makna agar manusia bisa bermanfaat untuk orang lain sesuai dengan hadits Nabi “Khairunnas anfa’uhum lin nas”

TEBU, batang tebu yang manis dan bisa dinikmati kapan saja, jadi kita harus bersikap manis kepada siapa saja dan kapanpun, sebuah tuntutan etik bagi manusia agar menjunjung tinggi nilai-nilai moral serta menerapkan akhlakul karimah dalam kehidupan sehari-hari. 

PAYUNG, adalah sebuah simbol yang mengandung makna agar Tuhan semesta alam dapat melindungi dengan rahmat-Nya kepada keluarga menempati rumah tersebut, sehingga keluarga itu dapat hidup tentram, bahagia dan sejahtera.

BENDERA MERAH PUTIH, itu menandakan bahwa kita ( yang membangun rumah)  itu sudah merdeka dan mencintai tanah air Indonesia. Merdeka dalam artian yang punya rumah sudah bisa mandiri, lepas dari orang tua , membentuk keluarga kecil sendiri bersama istri dan anak-anak tercinta. Disamping itu juga sebuah simbol rasa cinta tanah air yang diterapkan oleh para ulama kepada umat, hingga di atap rumahpun ada bendera merah putih yang terpasang dan menancap dengan kokoh.

BENDERA NU, selain bendera merah putih, warga Nahdliyin biasanya memasang bendera NU, hal itu menandakan  bahwa yang punya rumah adalah asli orang Ahlussunah wal jamaah yang senantiasa gandolan/manut  dengan Kiyai/Ulama NU saat hidup sampe mati nanti.

Itulah pesan yang sangat kuat tertancap dalam tradisi upacara munggah suwunan  dan dari hal tersebut maka tidak ada unsur yang menyekutukan Allah SWT di dalanya, sehingga jangan mudah kita menuduh bid’ah, musyrik dan masuk neraka terhadap sebuah tradisi yang masih dipegang teguh oleh masyarakat hingga saat ini. 


*) Penulis adalah pengasuh Pesantren asy-Syafi'iyyah Kedungwungu Krangkeng-Indramayu.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel