MENGENAL “RASA DALAM HIDUP” AJARAN SANG FILSUF JAWA KI AGENG SURYOMENTARAM

Pada suatu malam ditahun 1927, Ki Ageng membangunkan istrinya, “Nyi, sudah ketemu yang ku cari, “aku tidak bisa mati”…!,  ternyata yang merasa belum pernah bertemu diri sendiri, yang merasa kecewa dan tidak puas selama ini adalah saya juga, wujudnya adalah Suryomentaram. 

Ki Ageng merasa, diperintah kecewa, dimarahi kecewa, disembah kecewa, di mintai berkah kecewa, dianggap dukun kecewa, dianggap gila kecewa, jadi pangeran kecewa, menjadi petani kecewa, itulah orang yang namanya Suryomentaram.

 


Ki Ageng Suryomentaram, dengan nama kecil RM. Kudiarmaji adalah seorang pangeran,  putra dari Sultan Hamengku Buana VII lahir pada tanggal 20 mei 1892. Ia belajar dasar – dasar agama Islam pada KH. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah.

Pada tanggal 3 juli 1922 Ki ageng mendirikan pendidikan kebangsaan yang kemudian di kenal dengan Taman siswa bersama Ki Hajar Dewantara. Ia di tugasi untuk mendidik orang-orang tua, pimpinannya Ki Hajar Dewantara.  Ki ageng meninggal pada hari minggu pon tanggal 18 maret pukul 16.45 dalam usia 70 tahun.

Ki Ageng Suryomentaram, kemudian menemukan dirinya sendiri  dari hasil lelaku yang menjajagi diri sendiri. Hasil lelaku ini kemudian dibejakan kepada seluruh kerabat, dan teman temannya mengutarakan hasilnya bertemu diri sendiri. Sebagai ajaran hidup Ki Ageng.

Menurutnya bertemu orang. Bertemu diri masing masing. Setiap bertemu diri sendiri timbul rasa senang. Rasa senang tersebut dinamakan “rasa bahagia”, bahagia yang bebas dari waktu, tempat dan keadaan.

Penemuan Ki Ageng Suryomentaram dalam menemukan dirinya sendiri sebagai ajaran hidupnya, dibedar dengan istilah kaweruh jiwa.  disebut juga dengan makrifat diri, seperti dalam ajaran jawa dikenal dengan istilah “Murid, Gurune Pribadi. Guru, Muride Pribadi. Pamulangane sengsarane sesami, Ganjarane, Ayu lan arume sesama.” Artinya; Murid, gurunya diri pribadi; guru, Muridnya; diri Pribadi; tempat belajarnya atau pelajarannya penderitaan sesama; pahalanya, kebaikan dan keharuman sesama.

 Murid, gurunya pribadi, dan guru, muride Pribadi”, mengandung pengertian bahwa sesungguhnya dalam diri seseorang terdapat seorang guru, dan diri sesorang itu menjadi murid, murid dari guru sejati.

 Ajaran yang lain,pamulange, sengsarane sesama, mengandung pengertian bahwa dengan memahami derita atau kesengsaraan sesama, seseorang dapat menarik hikmah dari padanya. Dapat memperoleh pelajaran yang berharga  dan puncaknya memilih dekat dengan Tuhan Nya, dan menjadikan Tuhan,  sebagai titik akhir yang tak berakhir.

 Ganjarane ayu lan arume sesami”. Memberikan pengertian, bahwa seseorang yang telah menjadikan penderitaan bersama sebagai tempat dan bahan belajarnya, maka ia akan mendapatkan pahala, dan pahala adalah hadirnya kebaikan dalam dirinya, yang kemudian kebaikan itu mengalir kepada yang lain, dan ia pun akan menjadi harum namanya bagi sesama manusia.

 Inilah pahala seorang murid sejati, yang telah meraih ilmu kasunyatan, ia akan dikenang sepanjang masa.  Dan kehidupanya seperti dalam gubahan syair Sayidina Ali yang indah ini;

  “ Ketika ibu melahirkanmu wahai anak cucu Adam engkau menangis, sedang orang – orang disekitarmu menyambutmu riang.

 Maka, bekerjalah sungguh sungguh untukmu sendiri Ketika engkau tak lagi Bersama mereka untuk selamanya. Mereka menangis tersedu – sedu, sedang engkau pulang sendiri dengan senyum menawan”

 Selain daripada itu   Ki Ageng Suryomentaram, menjelaskan bahwa, dalam diri manusia terdapat karep (keinginan), sumber hidup yang terdalam, watak dari karep  adalah mulur Mungkret (mengembang menyusut). Bila keinginan tercapai akan mulur  dan bila tidak tercapai akan  mungkret.

 Dalam praktek sehari-hari, orang dapat menerapkan pengertian mulur mungkret, untuk mengatur keinginan agar tidak melampoi batas kemampuan atau bertindak melanggar norma-norma yang ada.  

 Dalam istilah pepakem (prinsip-prinsip) orang jawa, seperti dalam ungkapan, “ sapa kang arsa urip mulya, den prayitna ngandelani talening mega”. Yang mempunyai arti siapa yang ingin hidup mulia, kuat-kuatlah mengendalikan tali mega. Juga dalam pengertian lain manusia jika ingin mendapatkan kemuliaan, hendaknya bisa memahami dan mengendalikan keinginan - keinginan yang di ibaratkan seperti mega mengambang.

 Dengan demikian, Ki Ageng Suryomentaram, menggunakan konsep mulur mungkret adalah bentuk kesadaran bahwa tidak semua keinginan akan tercapai dengan sempurna, juga dalam hal kehidupan sosial tidak bisa dipaksakan sesuai keinginan- keinginan semata. 

 Selain itu, Ki Ageng Suryomentaram, menggunakan lung sebagai perlambang sikap hidup yang adaptip: genah wayah, empan papan, bagaimana kita membawa dan menempatkan diri secara tepat saat, dan tepat tempat. Selain mengandung petuah tentang kemampuan ber-iritabilita, juga bisa ditafsir sebagai sikap sekeptis yang selalu mempertanyakan kembali segala yang sudah ada dan yang akan diadakan, demi kematangan pemikiran dan tindakan.

Sementara dari ruang yang sempit, tapi sekaligus tak terduga Ki Ageng Suryomentaram menggunakan konsep leng, yang mengandung sepadan dengan makna kreatifitas, yakni, menyadari keterbatasan, dan mengolahnya menjadi kekuatan, menjadi sesuatu yang baru dan seringkali tak terduga.

Lanjut Ki Ageng Suryomentaram, sebagaimana leng, ceruk yang menyuruk ke dalam, menyadari keterbatasan mensyaratkan sikap kesanggupan untuk memandang ke jagat dalam diri. Sampai kedasar lubuk nurani, ruang imajiner yang kedalamannya bahkan tak tertandingi oleh pelung samudra, kreatifitas atau tindakan manusia ini menentukan kehadirannya, dan eksistensinya.

Sementara, seluruh upaya untuk hadir, mengada, tak lain adalah proyeksi diri yang mengendalikan gerak membesar dan menjalar. Serupa lung, sulur tumbuhan, lung merupakan perpanjangan dari pangkal.

Kehadirannya menegaskan keberadaan yang pokok dan mendasar. Ia wujud dari kemampuan mengelola plastisitas, bergerak mencari cahaya, namun siap dan ikhlas meliuk lentur, jika sesuatu yang kaku dan keras membentur. Atau dalam arti lain adalah kesanggupan beradaptasi.

Dalam proses kreatif, konsep mulur mungkret  berarti kesanggupan  mengerahkan dan menahan diri. Penciptaan hanya mungkin tercapai dengan mengerahkan kemampuan diri, dan disisi lain, kreativitas juga mensyaratkan adanya kesadaran atas takaran.

Konon, kreasi yang baik adalah yang wajar, yang sesuai takaran. Dengan demikian konsep mulur mungkret merupakan refleksi kesanggupan menahan diri. Kesanggupan yang demikian cukup penting dalam proses kreatif, agar hasrat penciptaan tetap terarah, rendah hati, tak berlebihan.

Sungguh, orang - orang ynhang telah mengenali dan menemukan dirinya adalah matahari matahari dunia, meminjam istilahnya KH. Husein Muhammad adalah matahari Duha yang cahaya sepiritualitasnya menebarkan kehangatan cinta, kesegaran, kegairahan, sekaligus menyuburkan Bumi manusia. Itulah gambaran orang – yang dekat dengan Allah dan beramal sholeh.

 Allah berfirman dalam al -Qur’an surat Fushilat ayat 46.

 Barangsiapa yang mengerjakan Amal yang Sholih maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri, dan barang siapa mengerjakan perbuatan jahat maka (dosanya) untuk dirinya sendiri. Dan sekali- kali tidaklah Robbmu menganiaya Hamba – Hambanya. (QS. Fushilat : 46).

“wa Allahu a’lam biṣawāb”


Penulis  : Karyudi

(yahya) 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel