Antara Salaf, Wahhabi, dan Aswaja: Menelusuri Akar Sejarah dan Pemahaman Islam

Antara Salaf, Wahhabi, dan Aswaja: Menelusuri Akar Sejarah dan Pemahaman Islam



Islam sebagai agama yang sempurna memiliki keberagaman pemahaman dan pendekatan dalam menjalankan ajarannya. Sepanjang sejarahnya, umat Islam terbagi ke dalam beberapa mazhab dan kelompok pemikiran yang berbeda dalam memahami sumber-sumber syariat, seperti Al-Qur’an, Hadis, Ijma’, dan Qiyas. Perbedaan tersebut melahirkan dua kubu besar yang belakangan menjadi sorotan publik: kelompok Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) dan kelompok yang mengidentifikasi diri sebagai Salafi, sering kali dikaitkan dengan paham Wahhabiyah.

Gambar yang beredar di media sosial menyentil realitas ini secara tajam. Disebutkan bahwa banyak yang mengikuti ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab, tetapi menolak disebut sebagai Wahhabi. Mereka mengklaim mengikuti generasi Salaf, namun justru menolak metode para ulama salafussholeh yang asli. Gambar ini juga menunjukkan bahwa tokoh-tokoh Salafi kontemporer sebenarnya bukan dari kalangan Salaf, melainkan Khalaf—yaitu generasi yang datang jauh setelah masa sahabat dan tabi’in.

Lalu, bagaimana kita memahami istilah-istilah ini dan sejarah di baliknya?

Salaf dan Khalaf: Siapa Mereka?

Dalam kajian keislaman, istilah Salaf merujuk pada tiga generasi terbaik umat Islam: sahabat Nabi Muhammad SAW, tabi’in (generasi setelah sahabat), dan tabi’ut tabi’in (generasi setelah tabi’in). Mereka hidup antara abad pertama hingga ketiga Hijriyah. Nabi Muhammad SAW bersabda:

"Sebaik-baik manusia adalah yang hidup pada masaku (sahabat), lalu yang sesudahnya (tabi’in), dan kemudian yang sesudahnya lagi (tabi’ut tabi’in)."
(HR. Bukhari No. 6429, Muslim No. 2533)

Sedangkan Khalaf merujuk pada generasi-generasi setelah Salaf, yang hidup pada masa-masa berikutnya, termasuk ulama pada abad ke-5 hingga sekarang.

Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja): Pewaris Mazhab Tradisional

Aswaja adalah kelompok mayoritas umat Islam yang mengikuti empat mazhab fikih (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) dan dua mazhab teologi utama (Asy’ariyah dan Maturidiyah). Para imam mazhab yang disebut dalam gambar sebagai bagian dari Aswaja lahir di masa Salaf, yaitu:

  • Imam Abu Hanifah (80 H)

  • Imam Malik (93 H)

  • Imam Syafi’i (150 H)

  • Imam Ahmad bin Hanbal (164 H)

  • Imam Abu Hasan Al-Asy’ari (240 H)

Mereka hidup dan mengajar dalam kurun waktu yang masih bisa dikategorikan sebagai masa Salaf. Ajaran mereka disebarkan secara berkesinambungan melalui sanad dan pengajaran formal di pesantren, madrasah, dan lembaga keislaman tradisional.

Salafi/Wahhabi: Gerakan Reformis Abad ke-18

Sementara itu, gerakan Salafi modern atau yang sering disebut Wahhabi bermula dari ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab (lahir 1115 H / 1703 M) di Najd, Arab Saudi. Ia dikenal sebagai tokoh reformis yang ingin “memurnikan” ajaran Islam dari apa yang dianggap sebagai bid'ah, khurafat, dan syirik. Ajarannya banyak dipengaruhi oleh pemikiran Ibnu Taimiyah (661 H), ulama kontroversial yang hidup pada abad ke-7 H.

Tokoh-tokoh Salafi kontemporer lainnya seperti:

  • Abdul Aziz bin Baz (1330 H)

  • Muhammad Nashiruddin Al-Albani (1333 H)

  • Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin (1347 H)

merupakan bagian dari generasi Khalaf, bukan Salaf. Mereka tidak memiliki silsilah ilmiah yang bersambung kepada para imam mazhab terdahulu, dan cenderung menolak penggunaan mazhab dalam praktik ibadah sehari-hari.

Mengklaim Salaf, Namun Menolak Salafussholeh

Salah satu kritik tajam yang muncul terhadap kelompok Salafi/Wahhabi adalah kontradiksi antara klaim dan praktik mereka. Di satu sisi, mereka mengaku mengikuti “Manhaj Salaf” (metode para pendahulu), tetapi di sisi lain menolak metode dan pendekatan ulama Salafussholeh seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal.

Kelompok ini juga menolak pendekatan Asy’ariyah dan Maturidiyah dalam akidah, padahal pendekatan tersebut diakui luas oleh mayoritas ulama sejak abad ke-3 H hingga sekarang. Di sisi lain, mereka cenderung mengedepankan tafsir literal terhadap nash, menolak takwil, dan mengklaim hanya mereka yang benar.

Mengapa Menolak Disebut Wahhabi?

Nama “Wahhabi” sering digunakan untuk menyebut kelompok yang mengikuti ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab. Namun banyak pengikutnya tidak menerima sebutan itu, dan lebih suka disebut “Salafi” atau “Ahlus Sunnah”.

Penolakan ini terjadi karena istilah “Wahhabi” sudah lama dikaitkan dengan kekerasan, pemaksaan doktrin, dan pengkafiran terhadap sesama Muslim. Dalam sejarah, gerakan Wahhabi sempat memimpin penyerangan terhadap kota-kota suci seperti Makkah dan Madinah sebelum akhirnya mendapatkan kekuasaan melalui kerja sama dengan keluarga Saud.

Silsilah Ilmiah: Terputus atau Bersambung?

Gambar tersebut menyoroti pentingnya silsilah ilmiah (sanad keilmuan) dalam memahami ajaran Islam. Kelompok Aswaja dikenal menjaga silsilah keilmuan secara tertib, dari guru ke murid, hingga sampai kepada Rasulullah SAW. Hal ini dijaga melalui sistem pengajian, sanad hadis, dan ijazah ilmu.

Sebaliknya, dalam kelompok Salafi/Wahhabi, silsilah ini sering kali tidak dijaga atau dianggap tidak penting. Mereka lebih banyak mengandalkan hasil ijtihad pribadi atau penafsiran literal terhadap Al-Qur’an dan hadis tanpa rujukan kepada ulama sebelumnya. Inilah yang menyebabkan munculnya kesimpulan-kesimpulan hukum yang kaku, tekstualis, dan terkadang ekstrem.

Hadis Peringatan: Munculnya Generasi Bodoh di Akhir Zaman

Dalam gambar juga disebutkan hadis dari Rasulullah SAW yang mengingatkan tentang akan munculnya sekelompok orang di akhir zaman yang “muda dan bodoh,” mereka membaca Al-Qur’an namun tidak melewati tenggorokan mereka (yakni tidak meresap dalam pemahaman yang benar), serta mereka keluar dari agama seperti anak panah keluar dari busurnya.

“Akan muncul di akhir zaman suatu kaum yang usianya muda dan bodoh, mereka mengucapkan perkataan manusia terbaik (Nabi), namun mereka keluar dari Islam sebagaimana anak panah melesat dari busurnya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini sering dikaitkan oleh para ulama sebagai peringatan terhadap kelompok ekstrem yang merasa paling benar, suka mengkafirkan, dan memonopoli kebenaran agama.

Kesimpulan: Islam Bukan Hanya Soal Nama, Tapi Jalan yang Lurus

Perdebatan antara Aswaja dan Salafi/Wahhabi bukan hanya persoalan nama, tetapi menyangkut metode, pendekatan, dan warisan keilmuan yang dijaga atau diabaikan. Islam adalah agama yang sangat memperhatikan sanad, warisan keilmuan, dan kebijaksanaan ulama.

Aswaja menempatkan agama dalam kerangka keberlanjutan, kehati-hatian dalam ijtihad, dan kasih sayang dalam menyampaikan ajaran. Sementara kelompok Salafi/Wahhabi, meski mengklaim kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah, sering kali meninggalkan jalan para ulama terdahulu dan membuat kesimpulan yang menimbulkan kegaduhan di tengah umat.

Sudah saatnya umat Islam memahami sejarah dan karakter masing-masing kelompok, agar tidak mudah terjebak dalam semangat “klaim kebenaran” semata. Islam tidak bisa dilepaskan dari sejarah, sanad, dan teladan para ulama salafussholeh yang telah mewariskan cahaya ilmu dengan penuh tanggung jawab.

Catatan Redaksi: Artikel ini bertujuan untuk memberikan perspektif keilmuan secara seimbang berdasarkan sejarah dan sumber yang terverifikasi. Perbedaan pandangan dalam Islam adalah keniscayaan, namun tetap harus dijaga dalam semangat ukhuwah dan saling menghormati.

Jika Anda membutuhkan versi cetak (PDF atau Word), atau ingin dibuatkan serial artikel dari tema ini, silakan beri tahu.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel