Jejak Perempuan Agung: Dari Darma Ayu ke Pakungwati
Jejak Perempuan Agung: Dari Darma Ayu ke Pakungwati
Kisah tentang Endang Darma Ayu bukanlah satu-satunya narasi yang menegaskan
pentingnya peran perempuan dalam pembentukan identitas sebuah wilayah. Di
belahan barat Indramayu, Cirebon menyimpan cerita yang sepadan—sebuah kisah
tentang kehormatan dan kebesaran yang juga lahir dari sosok perempuan. Dalam Babad
Cirebon, nama Pakungwati muncul sebagai tokoh sentral, seorang
putri bangsawan yang dinikahi oleh Sunan Gunungjati, Wali Agung yang mendirikan
Kesultanan Cirebon.
Pakungwati bukan hanya istri dari tokoh penyebar Islam di Jawa Barat, tetapi
juga simbol dari kejayaan budaya dan spiritual Cirebon. Nama “Negara Geng
Pakungwati” sering kali digunakan dalam berbagai naskah lama untuk merujuk
pada Keraton Cirebon, menandakan bahwa kekuatan perempuan bukanlah pelengkap,
melainkan fondasi dari peradaban yang dibangun. Melalui nama ini, masyarakat
Cirebon secara tidak langsung mengakui bahwa jejak perempuan berakar kuat dalam
sejarah dan kebangsawanan mereka.
Hingga kini, sisa-sisa kejayaan Pakungwati masih bisa disaksikan di kompleks
Keraton Kasepuhan Cirebon. Bangunan-bangunan tua, hiasan arsitektur
khas, dan peninggalan sejarah lainnya masih berdiri kokoh sebagai bukti bahwa
nilai-nilai luhur yang dibawa oleh Pakungwati tetap hidup dan dihargai. Ziarah,
pertunjukan budaya, serta pelestarian adat istiadat menjadi bagian dari
penghormatan terhadap warisan leluhur, khususnya perempuan agung dalam sejarah
Cirebon.
Sementara itu, di Indramayu, sosok Darma Ayu hidup dalam cara yang tak kalah
kuat. Meski tidak meninggalkan keraton atau bangunan fisik seperti Pakungwati,
Darma Ayu meninggalkan jejak spiritual yang sangat dalam. Ia hadir dalam nama Indramayu
itu sendiri—sebuah warisan yang tak terhapus oleh zaman. Sebagaimana Pakungwati
menjadi ikon dalam sejarah Cirebon, Darma Ayu menjadi simbol dalam sejarah
Dermayu.
Dua tokoh ini, meski lahir dari latar belakang dan zaman yang mungkin
berbeda, memiliki kesamaan mendasar: keduanya dihormati, dikenang, dan
dijadikan sumber inspirasi masyarakat. Mereka menunjukkan bahwa sejarah tidak
hanya ditulis oleh para pria berkuda atau pemimpin perang, tetapi juga oleh
perempuan-perempuan bijak yang memberikan arah dan makna bagi komunitasnya.
Dengan demikian, Indramayu dan Cirebon tidak hanya terhubung oleh letak
geografis dan aliran Sungai Cimanuk, tetapi juga oleh semangat yang
sama—penghormatan terhadap perempuan sebagai pilar budaya dan penopang
peradaban. Cerita Darma Ayu dan Pakungwati adalah pengingat bahwa dalam setiap
kejayaan daerah, ada jejak langkah perempuan yang membentuk, mengayomi, dan
menyinari sejarahnya.
Redaksi |
Indramayutradisi.com
Akang Marta