Menelusuri Asal-Usul Tahlilan: Benarkah Dimulai dari Era Nabi Muhammad SAW?
Menelusuri Asal-Usul Tahlilan: Benarkah Dimulai dari Era Nabi Muhammad SAW?
Tahlilan telah menjadi bagian dari budaya religius yang melekat dalam kehidupan masyarakat Muslim Indonesia. Acara ini kerap digelar sebagai bentuk doa bersama untuk mendoakan seseorang yang telah meninggal dunia, khususnya dalam malam-malam tertentu seperti malam pertama, ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, hingga haul (peringatan tahunan). Namun tak jarang pula muncul perdebatan di tengah masyarakat tentang asal usul dan legitimasi amalan ini. Apakah tahlilan merupakan tradisi lokal semata, ataukah memang memiliki akar dari praktik Islam pada masa Rasulullah SAW?
Gambar yang beredar di media sosial mengungkap satu perspektif yang menarik dan penting untuk dicermati. Dalam gambar tersebut dijelaskan bahwa tahlilan—dalam pengertian dzikir berjamaah—ternyata telah dilakukan sejak masa Rasulullah SAW. Bahkan, disebutkan bahwa Rasulullah sendiri yang memulainya, tepatnya saat wafatnya seorang sahabat mulia, Sa'ad bin Mu'adz.
Tahlilan: Definisi dan Tujuan
Secara harfiah, tahlilan berasal dari kata tahlil, yaitu bacaan kalimat “Laa ilaaha illallah” (tiada Tuhan selain Allah). Dalam praktiknya, tahlilan di Indonesia merujuk pada suatu kegiatan yang berisi bacaan dzikir, ayat-ayat Al-Qur’an seperti Surah Yasin, tahlil, tasbih, tahmid, takbir, serta doa-doa lainnya yang dibaca secara berjamaah dan terstruktur, khususnya dalam rangka mendoakan orang yang telah wafat.
Kegiatan ini dilakukan secara kolektif sebagai bagian dari budaya gotong-royong spiritual, di mana masyarakat berkumpul untuk memberikan doa, dukungan moral, dan solidaritas sosial kepada keluarga yang berduka. Namun, tidak semua umat Islam sepakat mengenai praktik ini. Sebagian kelompok menganggap tahlilan sebagai bentuk bid'ah (inovasi dalam agama) yang tidak dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabat.
Riwayat Nabi dalam Pemakaman Sa’ad bin Mu’adz
Dalam narasi yang ditampilkan pada gambar tersebut, disebutkan bahwa Rasulullah SAW sendiri pernah memimpin bacaan dzikir berjamaah setelah pemakaman sahabat Sa’ad bin Mu’adz. Riwayat ini disebut berasal dari Jabir bin Abdullah Al-Anshari, yang mengisahkan bahwa setelah jenazah dimakamkan, Rasulullah bersama para sahabat membaca dzikir dengan suara keras dan waktu yang cukup lama.
Salah seorang sahabat kemudian bertanya kepada Rasulullah mengenai tujuan dari dzikir tersebut. Rasul pun menjawab bahwa dzikir itu dibaca agar kuburan Sa’ad menjadi lapang berkat bacaan tersebut.
Riwayat ini, sebagaimana dikutip dari Kitab Musnad Ahmad bin Hanbal dan Sunan Ath-Thabrani, menunjukkan bahwa adanya kegiatan dzikir bersama setelah pemakaman bukanlah sesuatu yang asing di masa Rasulullah. Bahkan, Rasulullah sendiri menjadi pelopornya.
Status Hadis dan Validitas Praktik Tahlilan
Riwayat tentang Rasulullah memimpin dzikir setelah penguburan Sa’ad bin Mu’adz diklaim memiliki status hasan (baik) dalam derajat hadis. Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh sejumlah ulama seperti Imam Bukhari dalam kitab At-Tarikhul Kabir serta Imam Thabrani dalam Mu’jam Al-Kabir. Imam Ahmad bin Hanbal pun mencatatnya dalam kitab Musnad.
Meski tidak secara eksplisit menyebut istilah “tahlilan” seperti yang dikenal sekarang, esensi dari kegiatan dzikir berjamaah ini memperlihatkan bahwa praktik berkumpul untuk mendoakan mayit sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW.
Ini memperkuat pendapat dari sebagian ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah yang menyatakan bahwa tahlilan merupakan bentuk majlis dzikir yang diperbolehkan selama isinya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat.
Tahlilan dalam Tradisi Nusantara
Tahlilan sebagai kegiatan rutin—seperti malam Jum'at atau peringatan hari-hari tertentu setelah kematian—memang menjadi bagian tak terpisahkan dari kultur Islam Nusantara. Dalam masyarakat Jawa, Sunda, Madura, hingga Sumatera, tradisi ini hidup dengan kuat. Tidak hanya sebagai praktik keagamaan, namun juga sebagai sarana mempererat silaturahmi, menanamkan nilai kebersamaan, dan menjaga harmoni sosial.
Ulama-ulama Nusantara seperti KH. Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdlatul Ulama) dan KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), meski memiliki pendekatan berbeda, tetap menjunjung pentingnya ijtihad dalam menghadapi persoalan sosial dan budaya umat. Dalam konteks tahlilan, para ulama NU misalnya, menganggap bahwa selama isi dan niatnya baik, maka tahlilan bisa menjadi media ibadah dan pengingat akan kematian.
Perbedaan Pendapat: Bid’ah atau Sunnah Hasanah?
Perlu diakui bahwa perbedaan pandangan mengenai tahlilan bukanlah hal baru. Kalangan yang lebih skripturalis, seperti sebagian kelompok Salafi-Wahabi, menganggap tahlilan sebagai perbuatan bid’ah karena tidak ditemukan secara eksplisit dalam praktik para sahabat secara terus-menerus atau dijadikan rutinitas dengan penjadwalan tertentu.
Namun, kelompok Ahlus Sunnah Wal Jamaah menjawab dengan konsep sunnah hasanah (perbuatan baru yang baik). Mereka merujuk pada hadis Nabi: “Barang siapa yang membuat suatu kebiasaan baik dalam Islam, maka ia akan mendapat pahala darinya dan dari orang-orang yang mengamalkannya setelah itu” (HR. Muslim).
Bagi mereka, esensi tahlilan adalah dzikir, doa, dan membaca Al-Qur'an—semua merupakan amalan yang sangat dianjurkan dalam Islam. Maka dari itu, tahlilan bukanlah perbuatan yang keluar dari ajaran Islam, melainkan bentuk ijtihad kultural yang tetap dalam bingkai syariat.
Makna Sosial dan Spiritualitas Tahlilan
Lebih dari sekadar tradisi, tahlilan membawa nilai-nilai spiritual dan sosial yang mendalam. Dalam setiap majelis tahlil, para peserta diajak untuk merenungi kematian, mengingat kebesaran Allah, dan mendoakan mereka yang telah mendahului kita. Ini merupakan bentuk ta’ziyah (penghiburan) kepada keluarga duka yang sangat dianjurkan dalam Islam.
Dalam perspektif sosiologis, tahlilan memperkuat kohesi sosial. Ia menjadi ruang berkumpulnya masyarakat lintas usia dan status sosial, mempererat tali persaudaraan, dan mencegah isolasi sosial terhadap keluarga yang berduka. Nilai-nilai seperti empati, kepedulian, dan kebersamaan menjadi nyata dalam praktik tahlilan.
Penutup: Menjaga Tradisi dalam Bingkai Syariat
Kisah Rasulullah SAW membaca dzikir bersama seusai pemakaman sahabat Sa’ad bin Mu’adz adalah bukti bahwa aktivitas spiritual kolektif seperti tahlilan memiliki jejak dalam sejarah Islam. Walaupun istilah dan formatnya bisa berbeda dengan yang kita kenal saat ini, esensi dzikir bersama dan doa untuk mayit adalah amalan yang dianjurkan.
Tahlilan adalah cerminan dari Islam yang membumi, yang tidak sekadar berkutat pada teks, tetapi juga menghidupkan semangat kebersamaan, kasih sayang, dan doa antarsesama umat. Dalam dunia yang semakin individualistik, tahlilan menjadi oase sosial dan spiritual yang menyejukkan.
Selama kita menjaga isi dan niatnya tetap dalam koridor syariat, maka tidak ada alasan untuk menolak atau menghapus tradisi ini. Justru yang perlu kita lakukan adalah memperkuat maknanya, menyucikan tujuannya, dan menjadikannya sebagai sarana mempererat hubungan manusia dengan Allah dan sesama manusia.
Sumber Referensi:
-
Kitab Musnad Ahmad bin Hanbal
-
Kitab At-Tarikh Al-Kabir karya Imam Bukhari
-
Kitab Sunan Ath-Thabrani
-
Gambar dan narasi yang dibagikan oleh akun Facebook bernama "Habib A. Wathon Nasal Imam"