SISI LAIN SEJARAH DESA LEUWIGEDE


Pada masa pemerintahan Pangeran Angkawijaya yang bergelar Prabu Geusan Ulun (1579-1610), Kerajaan Sumedang Larang mencapai puncak kejayaannya. Wilayah kekuasaannya meliputi hampir seluruh Jawa Barat, termasuk Indramayu kecuali wilayah kekuasaan Kesultanan Banten dan Cirebon. Dalam upaya menjaga wilayah kekuasaannya, Prabu Geusan Ulun memerintahkan putranya Raden Aria Wiraraja I (Putra dari pernikahan dengan Ratu Harisbaya) yang bemukim di Daerah Pasir Ipis Desa Darmawangi Kecamatan Tomo Sumedang (sekarang) untuk menugaskan orang-orang terbaik kerajaan berada di wilayah-wilayah perbatasan, diantaranya adalah kerabat kerajaan yang bernama Raden Aria Kusuma yang ditugaskan menjaga daerah perbatasan dekat wilayah Dermayu (Indramayu) sedangkan Raden Aria Wiraraja I sendiri bertugas menjaga di sekitar sungai Cisadane (Tangerang).

Potensi Wisata Air Desa Leuwigede
(Foto : Dimas Airlangga)


Raden Aria Kusuma menerima petunjuk dari Raden Aria Wiraraja I dalam mengemban tugas menjaga wilayah perbatasan Kerajaan Sumedang Larang dekat Dermayu, diantaranya :

1. Berangkat dari Pasir Ipis menelusuri sungai Cimanuk dan berhenti jika sudah sampai pada tikungan (cekungan) sungai (Leuwi) yang seberang timur sungai terdapat Pohon Jati (karena ini nama Raden Aria Kusuma kemudian menjadi Raden Aria Kusumajati)

2. Dalam perjalanan menelusuri sungai Cimanuk dengan menyamar sebagai seniman keliling agar dalam perjalanan tidak dicurigai dan dihalangi oleh musuh Sumedang Larang karena itu Raden Aria Kusuma membawa alat musik bareng (gong kecil).

3. Tidak menunjukkan diri sebagai Utusan Kerajaan karena itu Raden Aria Kusuma menggunakan nama sesuai dengan adat istiadat setempat yaitu Darpa yang kemudian dikenal dengan nama KI DARPA.

4. Membangun Pedukuhan untuk kemakmuran masyarakat setempat.

Raden Aria Wira Kusuma berangkat sesuai petunjuk dari Raden Aria Wiraraja I (1605 M) dan berhenti ditempat yang dimaksud, ditempat tersebut ternyata sudah ada komunitas kecil masyarakat yang berada di seberang timur sungai (masuk teritorial Kerajaan Dermayu) disekitar Pohon Jati yang dipimpin seorang pedakwah Islam bernama Kyai Nur Zaman, Kyai Nur Zaman ini bukan hanya Alim tapi juga sakti dan memiliki Kuda Putih sebagai tunggangan setianya, kelak Kyai Nur Zaman wafat dimakamkan di bawah pohon Jati sebelah Selatan (sekarang makamnya tidak berwujud, bahkan dijadikan gubug tempat sesaji) dan pembantu utamanya bernama Waskadi, Komunitas tersebut adalah pendatang (migran) dari daerah Bagelen.

Ki Darpa mulai menempati bantaran sungai sebelah barat sungai Cimanuk dekat kedung (Leuwi) yang kemudian banyak orang yang mukim bersama Ki Darpa di tempat tersebut dari berbagai daerah maka terbentuklah komunitas masyarakat dan menjadi pedukuhan. Ki Darpa sebagai pemimpin pedukuhan menata tatanan masyarakat ala kerajaan, memilik bangunan pemerintahan (semacam Istana), taman, tempat pemandian, Surau, tempat kholwat, tempat belajar ngaji (bukti fisik punah), Ki Darpa bukanlah sosok yang faham agama (Alim) tapi sosok yang taat beragama karena itu dalam bidang pendidikan agama Ki Darpa mendatangkan ahli pendidikan agama (islam) bernama Raden Yusuf bin Syamsuddin dan isterinya seorang Hafizhoh (Hafal Quran) bernama Rumyati (Makam keduanya berada di tengah bagian selatan TPU Ki Darpa), dalam bidang pertahanan dan keamanan dibantu seorang yang ahli ilmu kanuragan dan sakti bernama Pangeran Antawirya yang karena ketegasannya dijuluki Ki Blado (Makam ada disebelah Timur Makam Ki Darpa). Dalam beraktifitas memimpin Pedukuhan (Kerajaan Kecil) Ki Darpa dibantu seorang asisten setia bernama Ki Carta (Makam bersebelahan dengan makam Ki Darpa) dan dalam urusan rumah tangga serta urusan akomodasi dibantu oleh suami isteri bernama Ki Ramdad dan Nyi Sawinten yang sekarang dikenal dengan Kaki Gebog dan Nyai Gebog (Makam ada disebelah Timur bagian Utara, dekat Sawah milik masyarakat), singkatnya Ki Darpa berhasil menata kehidupan sosial kemasyarakatan di Pedukuhan tersebut sehingga masyarakat hidup makmur, tata tentrem kertaraharja sampai akhirnya Ki Darpa wafat sekitar tahun 1655 M dan dimakamkan di halaman gedung pemerintahan, beliau tidak meninggalkan isteri dan keturunan di pedukuhan tersebut.


NYAI DEWI ANGGITAWATI (1655 – 1679)

Sepeninggalan Raden Aria Kusumajati (Ki Darpa), pengurusan wilayah pedukuhan digantikan oleh Nyai Dewi Anggitawati atas pengengangkatan penguasa Sumedang saat itu, beliau adalah isteri dari keponakan Ki Darpa bernama Raden Muhammad Saleh dan merupakan keturunan pajajaran dari trah Sunan Gunung Jati. Beliau diamanahi menggantikan Raden Aria Kusumajati karena dalam diri beliau nampak jelas aura kewibawaan dan kepemimpinan dari seorang pemimpin yang tegas berani dan memiliki keilmuan yang tinggi. Nyai Dewi Anggitawati merupakan utusan dari kerajaan sumedang larang sepeninggalan Raden Aria Kusumajati untuk meneruskan kepemimpinan kelompok masyarakat di tepian sungai cimanuk itu.

Selain utusan langsung dari kerajaan sumedang, beliau juga memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh pemimpin sebelumnya yaitu dalam dapurnya tidak pernah habis makanan/nasi bahkan buat menghidupi semua orang satu padukuhan. Selain keistimewaa memiliki beras/nasi yang tidak pernah habis , Konon Nyai Dewi Anggitawati adalah seorang yang penyayang terhadap kucing, sehingga disekitaran tempat tinggalnya banyak di tinggali berbagai macam kucing. Konon persaksian warga sekitar bahkan sampai sekarang kucing-kucing selalu berkerumun disekitar pemakaman Nyai Dewi Anggitawati yang kemudian masyarakat setempat menyebutnya dengan Buyut Baidem karena beliau selalu bicara terbuka dan blak-blakan dalam segala hal kepada siapapun.

Setelah menikah dengan Keponakan Raden Aria Kususmajati Nyai Dewi Anggitawati dikarunia dua orang putra yang bernama Raden Muhammad Baqi dan Raden Aria Raja , yang dikemudian hari akan melanjutkan kepemimpinan di pedukuhan tersebut. Nyai Dewi Anggitawati (Buyut Baidem) dimakamkan di bawah pohon kesambi (sekarang blok kesambi RT 12 RW 06 Desa Leuwigede).


RADEN MUHAMMAD SALEH (1679 – 1703)

Tidak banyak informasi yang didapat dari seorang tokoh ke tiga dari kepemimpinan di padukuhan Leuwi, setelah Nyai Dewi Anggitawati pedukuhan Leuwi digantikan oleh suami beliu yang bernama Raden Muhammad Saleh yang adalah keponakan dari Raden Aria Kusumajati/ki Darpa. Dimasa Raden Muhammad Saleh pedukuhan Leuwi mengalamai kemajuan dibidang perdagangan, semakin ramai, Leuwi (Kedungan) Sungai Cimanuk menjadi sentra perdagangan, perahu besar bertambat di daerah sungai Cimanuk dari berbagai daerah, bahkan di daerah ini juga memproduksi perahu-perahu besar untuk transportasi dan perdagangan, akhirnya yang datang ke daerah Leuwi Cimanuk ini bukan hanya orang biasa tapi juga pedagang besar, juragan besar, pejabat besar dan pembesar-pembesar lainnya, karenanya Raden Muhammad Saleh menamakan Pedukuhan ini dengan nama LEUWIGEDE. Raden Muhammad Saleh wafat sekitar tahun 1668 M dan dimakamkan bersebelahan dengan istri beliau (Nyai Dewi Anggita Wati) di bawah pohon kesambi (sekarang blok kesambi RT 12 RW 06 Desa Leuwigede).


RADEN MUHAMMAD BAQI (1703 – 1753)

Setelah Raden Muhammad Saleh Kepemimpinan pedukuhan Leuwigede dilanjutkan oleh anak pertama Nyai Dewi Anggitawati yaitu Raden Muhammad Baqi. Kebijakan Pemerintahan Raden Muhammad Baqi hanya melanjutkan Pemimpin sebelumnya yang tengah mengalami kemajuan, beliau wafat sekitar tahun 1682 M dan dimakamkan di pekuburan buyut Liman (diabawah pohon asem) blok karang tengah bersama dengan isteri dan pembantunya. 


R. MUHAMMAD ARIA RAJA (1753 - 1813)

Setelah Raden Muhammad Baqi Kepemimpinan pedukuhan Leuwigede dilanjutkan oleh anak ke dua Nyai Dewi Anggitawati yaitu Raden Muhammad Aria Raja. Pada masa ini merupakan masa transisi sistem Pemerintahan Kadipaten dan masuk teritorial Kadipaten Indramayu. Raden Muhammad Baqi membentuk Kepala Dusun, RW dan RT untuk membantu jalannya pemerintahan yang semakin maju. Setelah beliau maka pemerintahan sudah menjadi sistem desa yang dipimpin oleh Kuwu yang dipilih oleh masyarakat setempat.

Raden Muhammad Aria Raja wafat sekitar tahun 1813 M dan dimakamkan di TPU Ki Darpa bersama dengan kedua istri dan pengawal dan pembantunya.

Pemimpin selanjutnya adalah :

6. MARTIAH (1813-1852)

7. NIMAH (1852-1909)

8. ARGIM (1909-1933)

9. WARTA (1933-1939)

10. SALEH (1939-1945)

11. TIWANG (1945-1948)

12. NURKASAN (1948-1951)

13. KASTAM (1951-1967)

14. SUKARWAN (1967-1983)

15. RABAN (1983-1986)

16. DULOH (1986-2002)

17. KASDURI (2002-2012)

18. SUROTO (2012-2018)

19. EVI FATMAWATI (2018 – SEKARANG)

Kisah ini tidak mutlak kebenarannya dan hanya dari sisi versi lain, banyak kekurangan dan juga kekeliruan, sumber acuan bukan sumber primer, banyak yang tidak bisa dibuktikan secara fisik sehingga menggunakan asumsi dan logika semata.

Penulis : Kang Abdul Jamal

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel