Kisah Cinta Rahwana dan Shinta, Bukan Rama yang Cinta, tetapi Rahwana

Setiap paradigma manusia memiliki hati untuk merasakan apa yang sebenarnya ada dalam heningnya sebuah kisah. Tuhan begitu berkuasa ketika menciptakan setiap manusia dengan segala perbedaan. Dengan segala rasa yang abstrak berada dalam nurani setiap manusia. Tidak semua rasa itu menjadi sesuatu yang nyata, tidak semua rasa itu harus meluruh dan melebur menjadi satu.


Berbagai versi kisah Rama dan Shinta yang sudah pernah menjadi dongeng kita ketika kita tidur, selalu menjadikan Rama dan Shinta sebagai pasangan yang sempurna. Seorang Raja yang sangat tampan dengan tunggangan Porsche 911. Jangankan Shinta, mungkin alien perempuan di planet Mars juga akan jatuh cinta dengan Rama. Rama merupakan versi makhluk yang memiliki fisik yang mampu membuat gunung es di hati setiap perempuan akan meleleh. Mungkin dia adalah leluhur Dilan.

Kemudian Shinta, perempuan setia dengan segala kecantikan yang dia miliki mampu membuat sepuluh muka Rahwana jatuh cinta semua. Bayangkan saja siapa menurut diri kita sendiri yang paling pantas untuk menganalogikan Shinta sebagai perempuan yang istriable dan sayangable. Pokoknya cantik, sudah.

Lalu siapakah Rahwana?

Sering aku dengar bahwa ketika ada dua orang ideal bersama, salah satunya adalah setan. Analogi yang cukup untuk menunjukkan bagaimana seorang Rahwana. Meskipun juga seorang Raja, namun raja dari raksasa juga nampaknya tidak akan bisa menyanyikan “Payphone” miliknya Maroon 5 dengan benar. Belum tentang mitos bahwa dia memiliki 10 wajah. Lebih susah ketika nanti harus pergi ke kelurahan untuk pas foto KTP, muka yang mana yang akan dipilih.

Lalu, salahkah Rahwana jatuh cinta kepada Shinta?

Tidak ada yang salah dalam cinta dan perjuangan, yang salah adalah siapakah yang menjadi subjek cinta dan perjuangan itu sendiri. Dan meskipun Rahwana sudah tahu teori itu tetap saja nekat menculik Shinta yang saat itu sudah hampir pasti menuju pelaminan dengan iringan lagu akad milik payung teduh.

Rahwana tidak salah ketika memilih Shinta, yang salah dia juga harus berhadapan dengan Rama. Bukan nanti Rahwana akan kalah, tetapi dia pasti juga akan dikalahkan oleh Shinta yang otomatis autofokus sudah memberikan seluruh rasa kepada Rama.

Menculik Shinta sudah menjadi autotiket ke kekalahan karena bagaimanapun Rahwana berjuang, dia akan tetap dikalahkan, baik oleh Rama, Shinta, atau cerita itu sendiri. Namun rasa yang Rahwana miliki, semua itu cukup adil untuk mendapatkan paling tidak senyuman Shinta yang entah ikhlas atau tidak diculik oleh Rahwana.

Dan

Logika rasa semestinya bisa menggali lebih dari itu. Rahwana telah berhasil mendapatkan Shinta, meski bukan hatinya. Jika Rahwana memang seorang keturunan raksasa yang bukan hanya buruk rupa, tapi juga buruk hatinya, bengis, kasar, kejam, mengapa ia tak ‘menyentuh’ Shinta?

Tak satupun versi epik Ramayana yang menceritakan tentang Rahwana yang memperkosa Shinta, memperlakukan Shinta dengan tidak senonoh, melecehkan Shinta. Namun malah membuatkan puisi romantis, menyanyikan lagu kesukaan Shinta balonku ada lima atau memberikan boneka panda superbesar yang mirip dengan dirinya.

Rahwana justru berusaha menyenangkan Shinta, memberikan segala yang terbaik untuk menyenangkan pujaan hatinya. Meskipun dia tahu bahwa menculik perempuan yang ia suka termasuk ke dalam hukum pidana. Bukan kehadiran Shinta yang menjadi penyejuk kerajaan Alengka, tetapi rasa cinta yang Rahwana miliki yang membuat Alengka menjadi sejuk dan nyaman, tidak seperti biasanya.

Dan yang pantas Shinta dapatkan adalah kebahagiaan yang bahkan Rama tidak memiliki logika rasa itu. Rahwana ingin mempertahankan Shinta, bukan hanya untuk menjadi istrinya, tetapi kebahagiaan Shinta sendiri. Namun, ah, mana mau seorang Shinta yang cantik jelita mau menjadi istri Rahwana yang buruk rupa, sekali lagi face factor menjadi titik tolak kekalahan Rahwana.

Rahwana tahu fakta itu, dan dia hanya berusaha berjuang meluluhkan sang pujaan hati. Meskipun mati adalah kepastian, tetapi lebih baik mati dengan kenyataan bahwa seorang Rahwana adalah pemilik rasa yang sejati yang di”mati”kan oleh Shinta.

Rahwana berjanji tak akan menyentuh Shinta sebelum ia berhasil menyentuh hati sang juwita. 

Itu baru namanya pria.

Ketika Rama akan kalah menghadapi Rahwana, Shinta yang berbisik kepada Dewa lirih untuk memenangkan Rama. Lagi-lagi Rahwana dikalahkan oleh ceritanya sendiri, oleh perempuan yang dia cintai. Bukan oleh Rama.

Shinta yang telah mendengar kabar bahwa Rama memenangkan peperangan dan mengharap kedatangan Rama untuk menjemputnya di taman Asoka ternyata tak juga menjadi nyata. Betapa suaminya sangatlah angkuh, Shinta dijemput oleh Laksmana karena Rama tak sudi menginjakkan kaki di istana Alengka. Shinta patah hati, setelah bertahun-tahun merindukan suaminya, ternyata Rama tak merindukannya, karena kalau Rama merindukannya ia pasti bergegas datang menjemput Shinta langsung di taman Asoka.

Bagaimana dengan Rama?

Rama dan Shinta mungkin saling mencintai. Tapi lihat apa yang diperbuat Rama setelah Shinta kembali bersanding dengannya. Rama meragukan kesucian Shinta. Rama meminta Shinta melakukan upacara pembakaran diri. Meminta pengorbanan wanita yang mengasihinya dengan kesetiaan yang tanpa henti. Shinta mampu melewati kobaran api tanpa terbakar seharusnya sudah menjadi bukti yang tidak terbantahkan.

Rama begitu suka dengan gosip dari infotaintment yang membahas bahwa sinta tidak suci lagi ketika di Alengka. Mungkin menculik Shinta adalah sebuah pidana, namun mencintai Shinta adalah hak asasi manusia dan raksasa yang bahkan Rahwana boleh jatuh cinta. Dan Rahwana bukan penjahat, dia hanya jatuh cinta.

Sampai ketika diragukan bahwa itu adalah anak dari Rama dan kemudian Shinta dibuang dari kerajaan oleh Rama. Kalau nantinya tahu hanya akan diragukan dan dibuang, kenapa harus susah payah membunuh Rahwana, apa seorang Rama tidak mampu mencari perempuan lain selain Shinta kalau hanya untuk disia-siakan.

Sayangnya saat itu tidak bisa ke rumah sakit untuk tes DNA, apakah Kusa dan Lawa adalah anak kembar Rama. Sehingga Shinta harus bersumpah bahwa apabila itu bukan anak dari Rama maka Shinta akan tenggelam ditelan bumi. Pengorbanan Shinta yang terakhir untuk membuktikan cintanya kepada sang Rama, lelaki yang tidak memiliki rasa. Hampa.

Suami macam apa itu.

Karena itu jika aku harus jatuh cinta,

daripada mencintai Rama yang tampan, raja kaya, ksatria, suami idaman yang pengecut dan tak tahu diri.

Lebih baik Rahwana. Sang pecinta sejati.


Penulis  ;  Prajnaparamita

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel