Jejak "Radikal" di Kampungku

Sore itu Aku kedatangan seorang remaja, mengaku berasal dari desa tetangga dalam satu Kecamatan. Ia mengaku ingin belajar mengaji, mengaji baca Al-Quran.

 Aku Tanya namanya, dan pendidikannya. Ia menyebut namanya (dan Aku lupa namanya, hehe …), serta menyebut diri sebagai mahasiswa UGM (Universitas Gajah Mada) Jogjakarta semester tiga Fakultas Pertanian.

Karena hari itu sudah memasuki bulan ramadhan, Aku bilang, “Begini saja ya Kang, anggap ini kuliah, dan kita ambil kesepakatan, antum bisanya jam berapa dan saya bisanya jam berapa”.

Dia jawab terserah saya.

Oke saya bilang habis sholat taraweh saja, biar waktunya agak jembar dan juga bisa sambil ngopi-ngopi.

Esoknya dia datang sebelum sholat isya. Dia ikut sholat isya berjamaah sekaligus taraweh berjamaah. Selesai itu, kami duduk di teras rumah sambil ngopi-ngopi sejenak, dan kemudian memulai pengajian.

Aku dengar bacaan al-Qur’annya sudah bagus, tartil dan mujawwad. Aku bilang, kok sudah bisa Al-Qur’an?, katanya belum bisa?

Dia pun tersenyum malu-malu dan menjelaskan bahwa waktu kecil memang sudah belajar ngaji dan ikut madrasah diniyah.

Selasai pengajian Aku persilahkan dia untuk bertanya tentang apa saja yang berkaitan dengan agama.

Dia pun bertanya, “Kang, kenapa Indonesia tidak memakai hukum Al-Quran?”

Sebelum Aku menjawab, Aku bertanya, “Kamu di Kampus UGM punya aktivitas organisasi tidak?”,
Dia menjawab, “ikut”.
“Organisasi apa?”.
Dia bilang, “HT*”
Sejak kapan?
Sejak awal kuliah di UGM.
Dulu sekolahnya SMA atau MAN atau SMK?.
Dia jawab, dulu sekolah di SMA Negeri di wilayah Indramayu.
Ikut organisasi?,
Iya, ikut.
Oraganisasi apa?,
ROHIS.
Apa itu?
Seksi Kerohanian Islam.
Terus?
Sama guru pembimbing di SMA saya didaftarkan ke UGM masuk Fakultas Pertanian.
Lalu?,
Disuruh ikut organisasi HT*.
Terus?
Tahun ini saya pengen pindah.
Kemana?,
Saya mau ikut tes lagi dengan pilihan psikologi di UNIVERSITAS BRAWIJAYA Malang.
Aku bilang, mudah-mudahan lulus dan diterima menjadi mahasiswa UNIBRAW.

Kembali ke pertanyaan, dari mana kamu bertanya, “Kenapa Indonesia tidak memakai hukum Al-Quran?.

Dia menjawab dari para senior di HT*.
Kamu tahu, dari mana sumber pertanyaan itu?
Dia menjawab, tahu, dari Qs. Al-Maidah ayat 44.

إِنَّآ أَنزَلْنَا ٱلتَّوْرَىٰةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ ۚ يَحْكُمُ بِهَا ٱلنَّبِيُّونَ ٱلَّذِينَ أَسْلَمُوا۟ لِلَّذِينَ هَادُوا۟ وَٱلرَّبَّٰنِيُّونَ وَٱلْأَحْبَارُ بِمَا ٱسْتُحْفِظُوا۟ مِن كِتَٰبِ ٱللَّهِ وَكَانُوا۟ عَلَيْهِ شُهَدَآءَ ۚ فَلَا تَخْشَوُا۟ ٱلنَّاسَ وَٱخْشَوْنِ وَلَا تَشْتَرُوا۟ بِـَٔايَٰتِى ثَمَنًا قَلِيلًا ۚ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْكَٰفِرُونَ

(44) Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.

Qs. Al-MAidah : 45 :

وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَآ أَنَّ ٱلنَّفْسَ بِٱلنَّفْسِ وَٱلْعَيْنَ بِٱلْعَيْنِ وَٱلْأَنفَ بِٱلْأَنفِ وَٱلْأُذُنَ بِٱلْأُذُنِ وَٱلسِّنَّ بِٱلسِّنِّ وَٱلْجُرُوحَ قِصَاصٌ ۚ فَمَن تَصَدَّقَ بِهِۦ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَّهُۥ ۚ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ

(45) Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qishaashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishaash)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.

Qs. Al-Maidah : 47 :

وَلْيَحْكُمْ أَهْلُ ٱلْإِنجِيلِ بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فِيهِ ۚ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْفَٰسِقُونَ

(47) Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil, memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah didalamnya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.

Lalu Aku bertanya, bukankah di ayat itu tidak menyebut Al-Qur’an?.

“Maksudnya Kang?”, dia agak kaget.

Di ayat itu tertulis atau terbaca :

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ

Artinya : Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah.

Bukan

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِالْقُرْآنِ

Artinya : Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut Al-Qur’an.
Dia pun diam saja, hanya menunggu penjelasan dari saya.

Di ayat yang sampeyan baca atau sampeyan ajukan tadi, memang benar bunyinya seperti itu. Hanya saja, tulisan atau bacaannya memang seperti itu, “Ma Anzalallah” – apa yang diturunkan Allah. Tulisannya bukan Al-Qur’an.

Jadi Kang ?

Jika Ma Anzalallah itu artinya adalah “apa yang diturunkan oleh Allah”, itu artinya segala sesuatu yang memang diturunkan oleh Allah tidak hanya Al-Qur’an. Air hujan yang turun dari langit, oleh alquran disebut ma anzalallah. Penyakit dan obatnya juga disebut ma anzalallah.

Jika ma anzalallah kamu reduksi maknanya dengan hanya diberi makna Al-Qur’an, maka pandangan itu tidak nyambung atau tidak klik, sebab orang-orang non Muslim kebanyakan yang dapat membuktikan kebenaran sejumlah ayat dalam Al-Quran, seperti terbelahnya rembulan dalam surat al Insyiqoq, dan mummi Fir’aun yang ditemukan oleh orang-orang non Muslim ahli Bedah Perancis, Maurice Bucaeli, yang pada akhirnya menjadi muallaf. Dan masih banyak lagi sejumlah ayat di dalam Al-Quran yang diteliti oleh orang-orang non Muslim. Sehingga, ujung dari ayat itu, “Faulaika humul kafirun” – mereka itu adalah orang-orang kafir (non Muslim) menjadi tidak nyambung, tidak klik.

Dia, saudaraku, temanku, yang ingin belajar mengaji bersamaku itu diam saja.

Jika kamu masih memegangi ayat itu dengan penafsiran ma anzalallah dengan Al-Quran, dan konsekswensinya adalah kafir, dholim, atau munafiq, sementara ayat-ayat lain kamu abaikan, Lalu, posisi kamu ada dimana dalam narasi besar peradaban modern di tengah persaingan kemajuan sains dan teknologi dunia saat ini?.

Masihkan berkutat dengan kafir, dholim, munafiq, sesat, dan bid’ah,? Sementara orang lain, non Muslim sudah dapat membuktikan ayat-ayat suci Al-Quran secara sainstifik modern.

Dia, saudaraku, temanku, yang ingin belajar mengaji bersamaku itu pun diam saja.

Islam, Al-Qur’an, dan Kanjeng Nabi Muhammad Saw mengajak kita umatnya untuk membangun peradaban Kang. Peradaban TANPA mengklaim paling benar, paling suci, sambil mengkafir bida’ahkan pihak lain. Sementara disisi lain, perkembangan dan kemajuan pesat sains dan teknologi modern benar-benar telah meninggalkan kita semua.

Besoknya, dia, saudaraku, temanku, yang ingin belajar mengaji bersamaku, tidak muncul lagi. Lusa ditunggu pun tidak muncul, hari-hari berikutnya pun tidak muncul, dan sampai ditulisnya kisah ini pun dia, saudaraku, temanku, yang ingin belajar mengaji bersamaku benar-benar tidak muncul lagi.

Indramayu, Kamis, 29 Syawwal 1442 H / 10 Juni 2021
Ditulis ulang, Kamis, 19 Ramadhan 1443 H / 21 April 2022

Penulis KH. Munawir Amin
Sumber: FB Munawir Amin


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel