ADAB MEMBACA AL-QURAN


Dianjurkan berwudhu untuk membaca al-Quran, karena ia adalah dzikir yang paling utama. Dan sesungguhnya Rasulullah Saw sangat membenci menyebut nama Allah (membaca Al-Quran, red) kecuali dalam keadaan suci, sebagaimana tercatat dalam sejumlah hadits.

Disunahkan membaca al-Quran di tempat yang bersih, yang paling utama adalah masjid. Sekelompok orang membeci membaca al-Quran di kamar mandi dan jalan umum. Dianjurkan pula duduk menghadap kiblat, khusyu’ dengan tenang dan mantap sambil menundukkan kepala. disunahkan bersiwak sebagai penghormatan dan pensucian.
Telah diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari sahabat Ali sebuah hadits mauquf, dan al-Bazzar dengan sanad yang bagus dari sahabat Ali juga sebagai hadits marfu’, : “Sesungguhnya mulut kalian adalah jalan untuk al-Quran, maka bersihkanlah dengan siwak “.
Disunahkan membaca ta’awudz sebelum membaca al-Quran. Allah berfirman : “Bila kamu membaca al-Quran maka mintalah perlindungan pada Allah dari Syetan yang terkutuk“, itu artinya bila kita akan membaca al-Quran.



Imam Nawawi berkata : “ Sifat ta’awudz yang terpilih redaksinya adalah : “ A’udzu billahi Minasy-Syaithonir Rojim “.
Dari Humaid bin Qais redaksinya adalah : “ A’udzu\billahil Qodir Minasy-Syaithonil Ghodir “.
Dari Abu Al-Saman redaksinya adalah : “ A’udzubillahil Qowiy Minasy-Syaithonil Ghowiy “.
Dari sekelompok orang redaksinya adalah : “ A’udzubillahil ‘Adzhim Minasy-Syaithonir Rojim “.
Dari kelompok lain redaksinya adalah : “ A’udzubillahil Minasy-Syaithonir Rojim Inna Allah Huwas Sami’ul ‘Alim “. Dan dalam pembahasan mengenai redaksi ta’awudz ini masih banyak redaksi –redaksi lain.
Imam Halwaniy berkata dalam kitab Jami’-nya : “ Tidak ada batas untuk redaksi ta’awudz, barang siapa yang ingin, boleh menambah, boleh mengurangi.
Sebaiknya selalu menjaga bacaan basmalah di setiap awal surat, selain surat Al-Baro’ah, karena mayoritas Ulama menyatakan bahwa basmalah adalah satu ayat. Sehingga bagi yang tidak membaca basmalah, ia dianggap meninggalkan sebagian dari keutuhan al-Quran menurut mayoritas Ulama. Bila membaca basmalah di tengah-tengah surat, masih dianjurkan, dari pada tidak membaca sama sekali. Demikian teks dari pendapat Imam Syafi’i.
Disunahkan membaca al-Quran dengan tartil. Allah berfirman : “ Bacalah Al-Quran dengan tartil “. Abu Dawud dan yang lainnya meriwayatkan satu hadits dari Ummu Salamah, bahwasanya Ummu Salamah pernah mensifati bacaan Al-Qurannya Rasulullah Saw dengan “Bacaan yang jelas, huruf per huruf “.
Dalam kitab Shoheh Bukhori ditulis sebuah hadits dari sahabat Anas bahwasanya beliau ditanya tentang bacaan Rasulullah Saw, lalu ia menjawab, : “ Bacaan Rasulullah Saw itu panjang, lalu sahabat Anas membaca Bismmillahirrahmanirrohim, dengan memanjangkan lafadz Allah, memanjangkan lafadz Arrahman, dan memanjangkan lafazd Arrohim “.
Tercatat dalam Shohihain (Bukhori dan Muslim), sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud, bahwa seorang lelaki berkata padanya, : “ Aku bisa membaca Al-Mufashshol dalam satu rokaat “. Sahabat Ibnu Mas’ud mengomentari, : “ Cepat sekali, seperti kecepatan membaca Syair, sesungguhnya banyak orang membaca al-Quran tidak sampai pada tenggorokannya, akan tetapi bila al-Quran masuk ke hati, kemudian meresap ke dalamnya, akan lebih bermanfaat “.
Imam Al-Ajiriy mentakhrij sebuah hadits tentang al-Quran secara global, dari sahabat Ibnu Mas’ud, ia berkata : “ Jangan kau sebarkan Al-Quran dengan bacaan seperti keluar dari hidung. Dan janganlah kau tergesa-gesa seperti bacaan prosa dalam syi’ir, berhentilah di setiap keajaiban-keajaibannya, gerakkanlah hatimu, jangan sampai kesusahan kalian terbawa di akhir surat “.
Imam al-Ajiry juga mentakhrij sebuah hadits dari sahabat Ibnu Umar secara marfu’, : “ Dikatakan pada pembaca al-Quran, bacalah !, naiklah ke derajat-derajat, dan tartillah ! seperti kau susun duniamu, sesungguhnya tempatmu di setiap akhir ayat adalah ayat yang kau baca. “.
Dalam syarah kitab al-Muhadz-dzab, Imam Nawawi menulis : “ Mayoritas Ulama memakruhkan ifrath (berlebihan) dan isra’ (terlalu cepat) dalam membaca al-Quran. Mereka berpendapat : “ Membaca satu juz dengan tartil lebih utama di banding membaca dua juz dalam waktu yang sama dengan tanpa tartil “.
Mereka berkata : “ Anjuran membaca dengan tartil karena untuk tadabbur (menghayati bacaan). Karena ini lebih dekat pada pengagungan dan penghormatan, juga lebih membekas dalam hati .
Terdapat perbedaan mendasar : Apakah tartil dan sedikit bacaan itu lebih utama di banding banyak bacaan dan cepat ?. analisis yang paling bagus dari sebagian imam-imam kita berpendapat : “ Sesungguhnya pahala membaca dengan tartil itu sangat berkualitas, sementara kuantitas pahala (jumlah pahala) yang banyak karena jumlah ayat yang dibaca banyak , karena setiap satu huruf akan di beri pahala sepuluh kebaikan.
Dalam kitab al-Burhan, imam Zarkasyi berpendapat : “ Kesempurnaan tartil adalah mengagungkan lafadz-lafadz al-Quran dan menjelaskan huruf-hurufnya, dan sebaiknya tidak memasukkan satu huruf ke huruf yang lain “.
Ada yang berpendapat “ bahwa, ini yang paling sedikit dan paling sempurna adalah membaca al-Quran pada tempatnya masing-masing, bila membaca ayat tahdid (ayat mengancam), maka harus di baca tahdid, bila membaca ayat ta’dhim (ayat mengagungkan), maka harus di baca ta’dhim “.
Disunahkan membaca al-Quran dengan tadabbur (menghayati maknanya) dan tafahhum (memahami pengertiannya), karena bacaan itulah yang dimaksud dan yang dimaui Allah. Dengan bacaan seperti ini, hati akan terbuka, tersinari. Allah berfirman : “ Al-Quran adalah kitab yang kami turunkan padamu (Muhammad Saw) yang penuh barokah untuk ditadabburi (dihayati makna-makna) ayatnya “.
Allah berfirman : “ Apakah mereka tidak mentadabburi (menghayati makna-makna) Al-Quran ? “. Gambarannya adalah hati pembaca menghayati makna-makna lafadz (kata), lalu mengerti makna setiap ayat , kemudian memahami semua perintah dan larangan-Nya, lalu berkeyakinan untuk menerima semuanya “.
Bila ayat yang di baca adalah ayat-ayat dosa masa lalu, maka sebaiknya pembaca memohon udzur dan ampunan, bila bertemu dengan ayat rohmat, maka ia sebaiknya bergembira dan memohon, atau bertemu dengan ayat adab, maka ia harus memelas dan memohon, atau bertemu dengan ayat tanzih (ayat pensucian dzat Allah), maka ia harus mensucikan Allah dan mengagungkan, atau bertemu dengan ayat doa, maka ia harus rendah hati dan meminta “.
Imam Muslim mentakhrij sebuah hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Khudaifah, ia berkata : “ Aku shalat bersama Kanjeng Nabi Muhammad saw pada suatu malam, kemudian Nabi mengawali dengan membaca surat al-Baqarah, kemudian Ali Imron, kemudian Al-Nisaa’, dengan bacaan yang lancar. Bila bertemu dengan ayat tasbih, Nabi membaca tasbih. Bila bertemu dengan ayat permohonan, Nabi memohon, bila bertemu dengan ayat perlindungan, Nabi memohon perlindungan “.
Sebagian dari makna tadabbur adalah menjawab panggilan al-Quran bila al-Quran menuntut untuk itu. Ini adalah pesan yang di-isyarat-kan oleh sebuah hadits yang di takhrij oleh Abu Dawud dan Al-Tirmidziy, “ Barang siapa membaca Wat Tini Waz-Zaitun sampai selesai sebaiknya ia membaca Bala Wa Ana ‘Ala Dzalika Minasy Syahidin. Barang siapa membaca La Uqsimu Bi Yaumil Qiyamah sampai Alaysa Dzalika Bi Qodirin ‘Ala Ay-Yuhyiyal Mawta, sebaiknya ia membaca bala. Barang siapa membaca Wal Mursalat, terus sampai pada ayat Fa Biayyi Haditsin Ba’dahu Yu’minun, sebaiknya ia membaca Amanna Billahi.
Imam Ahmad dan Imam Abu Dawud mentakhrij sebuah hadits dari sahabat Ibnu Abbas bahwasanya Nabi Muhammad saw bila membaca Sabbihis Ma Robbikal A’la, beliau membaca Subhana Robbiyal A’la.
Imam Turmudziy dan Imam Hakim mentakhrij sebuah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Jabir, ia berkata : Suatu hari Rasulullah Saw keluar menemui para sahabatnya, kemudian beliau membaca surat Ar-Rohman dari awal sampai akhir, para sahabat diam semua. Kemudian Rasulullah Saw bersabda : “ Sesungguhnya Aku membaca surat Ar-Rohman ini untuk Jin, mereka sebaik-baik penolakan dari kalian. Ketika aku membaca Fabiayi ala’I Robbikuma tukadz-dziban mereka menjawab Wa La Bisyai-in Min Ni’amika Robbina Nukadzibu Falakal Hamdu.
Imam Ibnu Mardawaih, Imam Ad-Daylami, dan imam Ibnu Abid Dunya, juga selain mereka mentakhrij sebuah hadits yang menerangkan tentang doa dengan sanad yang dhoif sekali, dari sahabat Jabir, bahwasanya Nabi Muhammad saw membaca “ Wa Idza Sa’alaka ‘Ibadiy ‘Anniy Fa Inniy Qoribun , sampai selesai, beliau membaca Allahumma Amirta Bid Du’a Watakaffalta Bil Ijabah Labbaik Allahumma Labbaik Labbaika La Syarika Laka Labbaik Innal Hamda Wanni’mata Laka Wal Mulk La Syarika Laka Asyhadu Annaka Fardun Ahadun Shomadun Lam Talid Wa Lam Tulad Wa Lam Yakun Laka Kufuwan Ahad Wa Asyhadu Anna Wa’daka Haqqun Wa Liqoaka Haqqun Wal Jannata Haqqun Wannaro Haqqun Wassaa’ata Atiyatun La Rayba Fiha Wa Annaka Tab’atsu Man Fil Qubur “.
Imam Abu Dawud dan yang lainnya mentakhrij sebuah hadits dari sahabat Wail bin Hajar, Aku mendengar Nabi Muhammad saw membaca Wa Ladh-dhollin, beliau membaca Amin.., dengan memanjangkan suaranya. Inilah makna menjawab al-Quran.
Al-Thabrani mentakhrij dengan redaksi Amin sebanyak tiga kali. Al-Nayhaqiy mentakhrij dengan redaksi : Nabi menjawab Rabbighfirliy Amin.
Imam Nawawi berpendapat, sebagian dari adab adalah bila membaca, misalnya : Wa Qolatil Yahudu ‘Uzair Ibn Allah, Wa Qolatil Yahudu Yadullah Maghlulah sebaiknya suaranya direndahkan. Seperti itulah Imam An-Nakho’i mengamalkan.
Dianjurkan menangis ketika membaca al-Quran dan pura-pura menangis bagi orang yang tidak dapat menangis, merasa sedih, dan khusyu’. Allah berfirman : “ Wa Yakhirruna Lil Adzqoni Yabkun.
Tercatat dalam kitab Shohih Bukhori dan Shohih Muslim hadits bacaan Ibnu Mas’ud atas Nabi Muhammad saw di dalam tulisannya, terdapat kalimat : “ Tiba-tiba dua mata Nabi mengalirkan air mata “.
Dalam kitab Al-Syu’ub, al-Bayhaqiy meriwayatkan sebuah hadits dari Sa’ad bin Malik secara Marfu’, “ Sesungguhnya Al-Quran ini diturunkan dengan sedih dan sukar, bila kalian membacanya, menangislah, kalau tidak bisa menangis, pura-puralah menangis. Dalam hadits ini terdapat hadits mursal dari Abdul Malik bin Umair, bahwasanya Rasulullah Saw berkata : “ Aku membacakan sebuah surat Al-Quran untuk kalian, barang siapa menangis, ia akan dapat sorga, kalau tidak bisa menangis, pura-puralah menangis “.
Dalam kitab Musnad Abu Ya’la, terdapat sebuah hadits : “ Bacalah Al-Quran dengan sedih sebab ia diturunkan dengan sedih “.
Menurut at-Thabraniy : “ Sebaik-baik bacaan Al-Quran manusia adalah seseorang yang membaca al-Quran dengan sedih “.
Berpendapat Imam Nawawi dalam kitab al-Muhadz-dzab, cara supaya bisa menangis adalah membayangkan bacaan yang membentak (mengancam/memarahi) dan ancaman yang serius, perjanjian-perjanjian dan transaksi-transaksi, kemudian ia bayangkan itu terjadi. Bila tidak dapat bersedih dan menangis, berpura-puralah menangis karena sedang terkena musibah.




Disunahkan memperindah dan menghiasi suara pada saat membaca Al-Quran. Hal ini karena terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Ibnu Hibban dan yang lainnya : “Hiasilah Al-Quran dengan suaramu “. Menurut Ad-Darimiy redaksinya adalah : “ Perindah Al-Quran dengan suaramu “. Sebab suara yang merdu dan indah akan menambah keindahan al-Quran.
Al-Bazzar dan yang lainnya mentakhrij sebuah hadits : “ Merdunya suara menjadi hiasan al-Quran “. Dalam bahasan ini terdapat sejumlah hadits shoheh. Bila tidak merdu indahkan suaramu semampunya, dengan jalan tidak sampai pada batas tamthit (terlalu panjanng) dan Al-Ghina (menyanyi)., karena ada sebuah hadits : “ Bacalah Al-Quran dengan dialek Arab dan suaranya, takutlah kalian membaca al-Quran dengan dialek ahli Kitab dan ahli fasiq, karena sesungguhnya akan datang sekelompok kaum akan mengembalikan bacaan al-Quran dengan langgam nyanyian dan langgam para pendeta, tidak akan sampai pada tenggorokan mereka, hati mereka terkena fitnah dan orang-orang yang mengagumi tingkah mereka “. Hadits di takhrij oleh Al-Thabraniy dan Al-Bayhaqiy
Imam Nawawi berpendapat : “ disunahkan memenuhi tuntutan al-Quran dari kemerduan dan keindahannya, karena terdapat sebuah hadits shoheh. Tidak masalah membaca al-Quran berjamaah dan tidak masalah juga membaca al-Quran dengan cara bergilir (Idarah), yaitu sebagian orang membaca sejumlah ayat, kemudian dilanjutkan bacaannya oleh yang lain.
Disunahkan pula membaca al-Quran dengan mengagungkan karena ada hadits Imam Hakim, Al-Quran diturunkan dengan keagungan “. Al-Halimiy berkata : Maknanya adalah sesungguhnya al-Quran harus di baca seperti suara para pemuda tidak boleh merendahkan suara dalam membaca al-Quran seperti suara perempuan.
Ia berkata : “ Dalam hal ini tidak termasuk dimakruhkannya imalah (membaca huruf akhir ayat dengan bacaan mirip E (taling) dalam bahasa Indonesia, red), yaitu usaha sejumlah Qori dalam membaca al-Quran. Terkadang diperbolehkan bahwa al-Quran diturunkan dengan keagungan itu diperluas maknanya dengan disertai imalah selagi masih indah dan merdu.
Waallahu A’lam.
Jumat malam Sabtu, 10 September 2022
Tulungagung, Rabu : 09 September 2020 M / 21 Muharram 1442 H
Zubdatul Itqon Fi Ulumil Quran, Hal 43 – 48
Muhammad Alawiy Al Maliki Al Husainiy, Dar Al Fikr, tanpa tahun.
Transliter (Mutarajjim) : Munawir Amin.
Pengasuh Pondok Pesantren SIROJUT THOLIBIN
Tulungagung Kertasemaya Indramayu

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel