MAKAN BERGIZI GRATIS, TAPI BANYAK YANG TERBUANG: APA YANG SALAH?
Indramayutradisi.com - Program makan bergizi gratis di sekolah dan pesantren telah berjalan di banyak daerah. Tujuannya mulia: memastikan setiap anak bisa makan makanan bergizi setiap hari agar mereka tumbuh sehat dan siap belajar. Namun di balik niat baik ini, ternyata tidak sedikit cerita tentang makanan yang bersisa, terbuang sia-sia.
“Banyak anak yang tidak suka menunya. Akhirnya tidak habis, dibuang begitu saja,” kata seorang guru di sebuah kota di Jawa. Kekhawatiran serupa disampaikan sejumlah pengasuh pesantren. Mereka takut anak-anak menjadi tidak tahu cara bersyukur karena terbiasa membuang makanan.
Sementara itu, pemandangan para ibu memunguti sisa makanan dengan kantong plastik juga terjadi di beberapa sekolah. “Daripada mubazir,” kata seorang ibu. Ia tidak malu membawa pulang nasi dan lauk yang tidak disentuh anak-anak. Baginya, itu adalah rezeki.
Kenyataan ini membuat kita bertanya:
Apa yang sebenarnya terjadi?
Antara Niat Baik dan Realita Lapangan
Di atas kertas, program makan bergizi gratis tampak mulus. Anak-anak mendapatkan makanan bergizi tanpa harus membebani orang tua. Namun di lapangan, tidak semua anak bisa menerima makanan yang disediakan.
Menu yang disiapkan sering kali berkonsep urban dan tidak sesuai dengan lidah anak-anak lokal. Makanan seperti ayam katsu, rolade chicken, roti dengan saus modern, atau sayur dengan bumbu asing terasa aneh bagi anak-anak yang terbiasa makan tempe, sayur bening, dan sambal.
Tak jarang, anak-anak hanya mengambil sedikit, lalu meninggalkan piring mereka masih penuh. Ada yang memilih membawa bekal dari rumah, dan ada juga yang memilih tidak makan sama sekali.
Gratis Bukan Berarti Murah Hati
Menurut Richard Thaler dalam Behavioral Economics, sesuatu yang didapat secara gratis seringkali membuat orang tidak menghargainya. Anak-anak tidak merasakan usaha untuk mendapatkan makanan tersebut, sehingga mereka tidak merasa bersalah saat membuangnya.
Dalam psikologi perkembangan, anak-anak pada usia sekolah dasar masih berada pada tahap berpikir konkret. Konsep abstrak seperti “bersyukur” dan “menghargai makanan” belum sepenuhnya mereka pahami. Tanpa pendampingan guru atau orang dewasa saat mereka makan, nilai menghargai makanan sulit terbentuk.
Sistem vs Nilai
Program makan bergizi adalah sistem. Sistem ini membutuhkan distribusi tepat waktu, menu yang sesuai gizi, laporan pelaksanaan, hingga audit anggaran. Namun yang sering terabaikan adalah nilai yang ingin dibentuk melalui program ini: pendidikan syukur dan tanggung jawab.
Jika anak-anak hanya menjadi penerima pasif, mereka tidak akan memahami bahwa makanan adalah rezeki yang harus dihargai. Sistem yang baik perlu diimbangi dengan pendidikan nilai agar tidak hanya selesai pada laporan, tetapi juga membentuk karakter anak.
Kenapa Banyak Makanan Terbuang?
Berdasarkan pengamatan di lapangan, beberapa hal menjadi penyebab utama:
✅ Menu Tidak Sesuai Selera Anak-Anak
Makanan yang disajikan sering tidak cocok dengan kebiasaan makan anak-anak setempat.
✅ Tidak (semua) Ada Pendampingan Saat Makan
Anak-anak makan sendiri tanpa bimbingan guru atau orang tua, sehingga mereka tidak merasa perlu menghabiskan makanan.
✅ Jadwal Makan yang Tidak Tepat
Ada anak-anak yang sudah makan sebelum makanan dibagikan, sehingga mereka tidak lapar saat waktu makan tiba.
✅ Tidak Ada Pendidikan Nilai Mengenai Makanan
Anak-anak tidak diajarkan proses panjang bagaimana makanan sampai ke piring mereka.
Pendidikan Nilai: Kunci Mengurangi Pemborosan
Konsep syukur bukan sekadar ucapan “terima kasih” sebelum makan, tetapi pemahaman bahwa setiap butir nasi adalah hasil kerja keras banyak orang: petani, pedagang, hingga koki yang menyiapkan makanan.
Menurut Abraham Maslow, kebutuhan fisiologis seperti makan adalah kebutuhan dasar manusia, tetapi kebutuhan ini bisa naik tingkat menjadi kebutuhan akan penghargaan dan tanggung jawab jika anak-anak merasa terlibat dalam prosesnya.
Cara membangun pendidikan nilai melalui program makan bergizi:
✅ Melibatkan anak dalam pemilihan menu secara berkala.
✅ Mengajak anak membantu menyiapkan makanan agar mereka memahami prosesnya.
✅ Memberikan edukasi tentang pentingnya menghabiskan makanan.
✅ Guru atau pengasuh mendampingi anak saat makan untuk memberi contoh.
Jangan Sampai Program Baik Berakhir Sia-Sia
Program makan bergizi gratis adalah langkah maju. Namun jika banyak makanan yang terbuang, kita perlu melakukan evaluasi agar kebaikan ini tidak berhenti pada angka dan laporan saja.
Mengubah menu agar sesuai selera lokal, mengatur waktu makan yang tepat, dan membangun pendidikan nilai kepada anak-anak adalah langkah kecil tetapi berdampak besar. Karena pada akhirnya, yang kita inginkan bukan hanya perut anak-anak yang kenyang, tetapi juga jiwa mereka yang penuh rasa syukur.
Karena setiap butir nasi yang terbuang bukan hanya soal makanan, tetapi tentang nilai yang tidak sampai kepada generasi yang kita harapkan akan membangun bangsa ini.
Penulis : Annisa Gozan