E-Voting Pilkades Indramayu: Celah Chaos dan Potensi Korupsi Pengadaan Barang
Indramayutradisi.com - Rencana penerapan e-voting pada pemilihan kepala desa (Pilkades) di Indramayu perlu dikaji ulang secara kritis. Dengan narasi modernisasi dan efisiensi, kebijakan ini seolah menjadi simbol kemajuan demokrasi. Namun, jika dilihat dari teori Critical Policy Analysis (Dye, 2010) dan Teori Partisipasi Politik (Verba & Nie, 1972), langkah ini justru membuka celah chaos, konflik horizontal, serta potensi korupsi berjubah digitalisasi di daerah yang belum siap.
Tidak Pakai Internet, Benarkah Aman?
Menurut Yahya Ansori, praktisi keamanan jaringan selama 15 tahun, klaim bahwa e-voting aman karena hanya menggunakan jaringan lokal adalah setengah kebenaran. “Serangan tidak selalu lewat internet. Manipulasi bisa lewat celah hardware, USB, atau akses orang dalam,” ujarnya.
Dalam teori Principal-Agent Problem (Jensen & Meckling, 1976), pemilik suara (prinsipal) berpotensi dirugikan jika agen (penyelenggara atau operator sistem) memiliki kepentingan lain dan akses untuk mengubah data suara. E-voting yang tidak transparan, tanpa audit independen real-time, rawan manipulasi hasil pemilihan secara sistematis tanpa terdeteksi publik.
Literasi Digital Rendah, Demokrasi Terancam
Indramayu bukan Jakarta. Mayoritas pemilih adalah lulusan SD atau tidak tamat SD, dengan literasi digital terbatas. Bagi mereka, layar sentuh bukan hal sederhana.
Menurut Yahya, “E-voting bisa membingungkan pemilih, membuka ruang intimidasi, dan manipulasi suara.” Teori Political Efficacy (Campbell et al., 1960) menjelaskan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap efektivitas suara mereka sangat menentukan stabilitas demokrasi. Jika pemilih merasa sulit memilih, suara hilang, atau salah pilih karena kebingungan teknologi, maka partisipasi mereka tercederai. Ini dapat memicu protes, ketidakpuasan massal, hingga konflik horizontal pasca Pilkades.
Risiko Chaos dan Celah Korupsi
Satu risiko besar yang sering diabaikan adalah kegagalan sistem saat pemilihan berlangsung.
“Yang tidak diantisipasi banyak pihak adalah kegagalan hardware dan ketidaksiapan pemilih,” tegas Yahya. Bila server lambat, layar hang, atau listrik padam saat pemilihan, kondisi di TPS bisa menjadi chaos. Pemilih marah, keributan pecah, dan perangkat bisa dirusak bahkan hilang.
Celakanya, hal ini membuka peluang korupsi baru. Jika perangkat rusak atau hilang, pengadaan perangkat pengganti bisa menjadi proyek dadakan dengan harga mark-up tinggi. Vendor tertentu bisa lolos tanpa tender transparan dengan dalih “keadaan darurat”. Modernisasi digital malah menjadi pintu korupsi yang dibungkus narasi kerusakan teknis.
Kenapa Daerah Tertinggal Dijadikan Kelinci Percobaan?
“Ini gagasan dari Jakarta, tapi kenapa diuji di daerah dengan SDM terbatas?” tanya Yahya. Teori Developmentalism (Escobar, 1995) mengkritik cara modernisasi dipaksakan pada wilayah yang belum memiliki infrastruktur dan kesiapan sosial yang memadai. Alih-alih mempercepat pembangunan demokrasi, kebijakan ini justru berpotensi menimbulkan luka sosial dan politik di tingkat desa.
Uji coba e-voting lebih tepat dilakukan di daerah dengan literasi digital tinggi, infrastruktur stabil, dan tingkat kepercayaan publik yang baik. Memaksakan di Indramayu sama saja menjadikan rakyat sebagai kelinci percobaan atas nama modernisasi.
Menunggu Keputusan Bijak, Bukan Gagah-Gagahan Digital
Saat ini, rencana e-voting Pilkades masih dalam pembahasan Raperda dan menunggu Permendagri. Fraksi PKB telah menerima aspirasi ini untuk disuarakan di DPRD. Keputusan harus didasari prinsip keadilan, keterlibatan rakyat, serta ketertiban proses, bukan sekadar kecepatan hitung suara.
Menurut teori Good Governance (UNDP, 1997), modernisasi harus memastikan keterbukaan, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat. Jika tidak, e-voting hanya akan menjadi “cermin yang retak” dalam wajah demokrasi desa.
Demokrasi Bukan Sekadar Cepat, Tetapi Beradab
Modernisasi demokrasi itu penting, namun harus sejalan dengan kesiapan masyarakat sebagai pemilik suara. E-voting bukan sekadar soal teknologi, melainkan soal literasi masyarakat, transparansi sistem, akuntabilitas penyelenggara, dan kesiapan infrastruktur.
Jika semua aspek ini belum siap, e-voting Pilkades di Indramayu berpotensi membuka chaos, konflik horizontal, dan korupsi era digital. Demokrasi bukan panggung untuk pencitraan “keren”, melainkan ruang adil untuk rakyat memilih pemimpinnya secara merdeka.
Saatnya pemerintah dan DPRD berpikir ulang: Apakah e-voting benar-benar solusi untuk rakyat Indramayu saat ini, atau hanya akan menjadi kepalsuan digital yang mahal dan memecah ketertiban desa?
Penulis : Annisa Gozan