FENOMENA SOSIAL DI BALIK SISA MAKAN MBG: KETIMPANGAN, MORALITAS, DAN MAKRIFAT DALAM SEBUNGKUS NASI
Penulis : Annisa Gozan
Awalnya, aku hanya menulis sederhana: mubadzir makanan sisa itu bisa jadi berkah kalau ada yang mau mungut makanan yang masih bersih. Sisa yang kotor? Masih bisa buat ayam dan bebek di rumah. Selesai. Saling bantu. Tak ada yang berebut. Tak ada yang merasa lebih duluan. Tak ada hak istimewa dalam sisa makanan.
Tapi hari ini, suasana itu berubah drastis.
Ada yang berbeda dari sisa kotak makan MBG—menu yang biasa dibagikan di sekolah. Para pemulung, yang biasanya hanya lewat sekilas, kini ikut berebut kotak makan bekas MBG. Bahkan petugas sekolah yang dulunya tampak cuek, kini sigap mengamankan kotak makan yang belum disentuh—dari anak-anak yang kebetulan tidak masuk sekolah hari itu. Langsung dibawa masuk, katanya, buat disimpan di kantor. Diamankan.
Dulu, kami para ibu wali murid dengan ringan hati mau memakan sisa, sekadar agar tidak mubadzir. Kadang dibawa pulang, dibagi-bagi. Tak ada yang merasa lebih pantas. Tak ada strategi menyelamatkan. Tapi sekarang, ada yang berubah: aroma berebut itu makin terasa. Sekotak sisa makanan kini jadi ‘barang berharga’ yang diperebutkan secara diam-diam, bahkan disiasati.
Ada yang titip lewat bibi, tetangga, atau saudara:
"Anakku izin nggak masuk ya, tolong bawain makanannya, jangan sampai diambil orang.”
Bahkan diminta salin ke wadah sendiri agar tampak dibawa oleh orang rumah.
Aku yang biasanya ikut makan sisa demi tidak mubadzir, jadi ilfeel. Rasanya ada yang bergeser—dari niat awal yang sederhana menjadi ruang kompetisi kecil-kecilan, yang tanpa sadar menyisakan rasa canggung dan tidak enak hati.
Aku sempat ingin bilang: “Biar kami saja, para ibu wali murid, yang mengatur. Biar tetap adil dan tenang.” Tapi takut disangka sok mengatur. Sok merasa paling peduli. Padahal bukan itu maksudnya.
Aku hanya sedang menyaksikan bagaimana hal sederhana seperti sisa makan bisa berubah jadi perebutan. Dan aku tak ingin kehilangan makna awalnya: bahwa makanan itu berkah. Tapi saat berkah berubah jadi rebutan, ada yang perlu direnungkan ulang.
Fenomena ini, sejujurnya, bukan soal makan siang gratis semata. Ini soal ketimpangan sosial yang benar-benar nyata. Apa yang tampak dalam rebutan sisa makanan—yang seharusnya tak jadi rebutan—adalah cermin paling jujur dari kondisi ekonomi sebagian masyarakat kita.
Dalam teori stratifikasi sosial, ini adalah gejala ketimpangan di mana sumber daya (dalam hal ini: makanan) tak lagi dibagi atas dasar kebutuhan, tapi atas dasar siapa yang bisa lebih dulu mengambil, menyiasati, atau bahkan mengamankan dengan relasi kuasa tertentu.
Ketika makanan sisa jadi sesuatu yang diperjuangkan, bukan karena rakus, tapi karena benar-benar dibutuhkan, maka kita sedang berhadapan dengan potret kemiskinan yang bukan lagi statistik, tapi kasat mata dan berdesakan di halaman sekolah.
Sosiolog klasik seperti Emile Durkheim dan Karl Marx menyebut bahwa bentuk ketimpangan akan menciptakan ruang konflik—bukan selalu dengan benturan fisik, tapi dengan gesekan nilai, norma, dan rasa keadilan.
Saat yang satu membawa pulang makanan sisa dan yang lain cuma menatapnya dengan harap, moralitas kolektif diuji dalam diam. Yang satu mungkin tak salah, tapi yang lain merasa tak adil. Inilah ruang kosong yang gagal dijembatani oleh sistem kebijakan.
Dalam teori kemiskinan struktural, seperti yang dibahas oleh Oscar Lewis, kemiskinan tidak hanya sekadar kekurangan uang, tapi merupakan sistem yang terpelihara: budaya miskin, ketergantungan pada bantuan, hingga strategi bertahan hidup dalam kondisi serba terbatas. Masyarakat terbentuk untuk menyiasati sistem, bukan memperbaikinya. Maka muncullah titipan, strategi, dan salin-menyalin nama agar tetap dapat bagian.
Dan ketika bagian makin sempit, yang muncul bukan solidaritas, tapi strategi personal yang nyaris seperti manuver politik—meski skalanya hanya sebungkus nasi.
Di sini, kita menyentuh bagian paling rapuh dari kehidupan sosial kita: kita berbaik hati, tapi tak mampu adil. Kita ingin saling bantu, tapi tak cukup kuat menahan godaan merasa lebih berhak.
Namun, lebih dalam dari semua ini, aku teringat pada satu sisi lain yang pelan tapi menusuk: sisi batin, sisi tasawuf.
Dalam tasawuf, dikenal maqam fana—lenyapnya ego dan rasa kepemilikan diri. Bahwa sejatinya tak ada yang “punya” makanan itu. Tidak pemerintah. Tidak petugas sekolah. Tidak pula ibu wali murid yang merasa duluan datang. Makanan itu titipan Tuhan, dan siapa pun yang menerima adalah bagian dari takdir-Nya. Tapi fana bukan sekadar kehilangan rasa memiliki, melainkan juga mengosongkan hasrat untuk mendahului orang lain.
Aku merenung:
Kalau para pemungut sisa makanan itu justru lebih dekat kepada fana—karena mereka makan bukan untuk status, tapi sekadar bertahan—lalu di mana posisi kita? Yang merasa “lebih tahu cara membagi”? Yang ilfeel karena merasa sisa itu kini jadi rebutan?
Dalam maqam tasawuf lainnya, yaitu adab terhadap rezeki, seorang salik (penempuh jalan spiritual) diajarkan bahwa rezeki tidak datang lebih cepat atau lebih lambat. Tak pernah tertukar. Maka tak ada gunanya berebut. Sebab yang memang menjadi jatahmu, akan sampai. Tapi jika kita tak percaya itu, maka kita sedang membangun hidup di atas syak wasangka kepada Tuhan.
Maka yang membuat ilfeel mungkin bukan sisa makanannya. Tapi hilangnya adab terhadap rezeki.
Dan karena ini bukan soal makanan, tapi soal batin yang terusik, maka penyembuhannya pun bukan sekadar aturan teknis, tapi kesadaran kolektif. Bahwa semua program, sebaik dan sebesar apapun, jika dijalankan tanpa rasa cukup, maka hasilnya adalah kompetisi tak kasat mata yang melukai rasa.
Aku tidak menyalahkan petugas yang menyimpan kotak makan. Mungkin ia juga sedang lapar. Atau ingin membawa pulang untuk anaknya. Aku juga tak menyalahkan ibu-ibu yang ingin mengatur. Barangkali itu caranya untuk merasa berguna. Tapi aku ingin kita semua tahu: bahwa di balik kotak makan itu, ada pelajaran tasawuf yang belum kita tuntaskan. Yaitu: cukup, ikhlas, dan adab terhadap pemberian.
Aku tidak sedang menyoal apakah MBG harus dihentikan atau dilanjutkan. Itu domain kebijakan. Presiden yang akan memutuskan. Tapi aku ingin menulis tentang fenomena. Bahwa program makan siang bisa membuka lembaran realitas sosial yang selama ini tersembunyi di balik senyum ibu-ibu sekolah, di balik tawa petugas, dan di balik diamnya anak-anak yang membawa pulang makan bukan untuk dimakan, tapi untuk dibagi ke adik-adiknya di rumah.
Maka hari ini, aku berhenti menulis soal sisa makan. Aku mulai menulis tentang sisa-sisa kemanusiaan yang muncul justru di saat rezeki dibagi merata.
> “Yang belum selesai dengan rasa cukup, akan selalu merasa berhak, bahkan atas sisa orang lain.”
> “Adab terhadap rezeki adalah mengenali bahwa apa yang datang padamu, tidak pernah datang karena engkau lebih cepat. Tapi karena Tuhan sudah menuliskannya untukmu.”
Lokasi: Indramayu