CAHAYA TAK PERNAH SALAH: MEMBELA PESANTREN DARI LUKA KOLEKTIF DAN EGO SPIRITUAL
Penulis : Annisa Gozan
Kita hidup di zaman ketika masjid dituduh sebagai sumber bisnis, pesantren dicurigai sebagai pabrik pencitraan, dan para kiai diseret ke ruang gelap persepsi publik. Tak sedikit yang mengatakan: “Untuk apa anak mondok? Ustaznya korup, pengurus masjid doyan amplop. Lebih baik belajar dari YouTube, atau cukup dengan niat baik dan hati bersih.”
Dari sinilah kita tahu: bukan hanya iman yang diuji, tapi juga cara kita memperlakukan cahaya.
Saya tidak menyangkal. Di beberapa tempat, memang ada kiai yang tergoda dana hibah. Ada pengurus masjid yang lebih lihai menghitung kotak amal ketimbang jumlah rakaat. Tapi menyamaratakan pesantren sebagai tempat busuk hanya karena satu-dua orang adalah bentuk dari logical fallacy paling purba: generalization by pain—sebuah upaya mempertahankan luka dengan menolak segala kemungkinan sembuh.
Nietzsche dalam Thus Spoke Zarathustra menulis: “He who despises himself still respects himself as one who despises.” Orang yang membenci lembaga agama karena merasa lebih bersih darinya, sesungguhnya tengah menciptakan ilusi tentang superioritas moral. Ia menjadikan kebenciannya sebagai satu-satunya kebanggaan yang tersisa.
Trauma yang Tak Pernah Diobati
Sebagian orang yang anti terhadap pesantren sebenarnya tak sedang melawan agama. Mereka melawan luka. Mungkin dulu pernah dipaksa mengaji tanpa dimengerti. Mungkin pernah merasa dijajah oleh aturan tanpa penjelasan. Lalu mereka dewasa dengan satu prinsip: agama bikin trauma.
Tapi seperti kata Carl Jung, “Until you make the unconscious conscious, it will direct your life and you will call it fate.” Selama luka itu tidak dipahami, kita akan terus melemparkannya ke luar: menyalahkan masjid, pesantren, guru ngaji, dan akhirnya... Tuhan.
Ini disebut mekanisme pertahanan ego: proyeksi
Ketika seseorang merasa marah tapi tak tahu sumbernya, ia melempar kemarahan itu ke luar. Ketika seseorang merasa gagal membentuk spiritualitas yang bermakna, ia menciptakan kambing hitam. Sayangnya, yang jadi korban adalah institusi yang justru berperan penting dalam membangun nilai dasar anak-anak: pesantren dan masjid.
Antara Ego Spiritual dan Keangkuhan Ilmu
Ada jenis manusia modern yang bangga berkata: “Gue nggak shalat, tapi gue nggak munafik. Gue nggak mondok, tapi gue lebih tahu agama.”
Ini bukan kejujuran. Ini arogansi spiritual
Di sinilah kritik Søren Kierkegaard menjadi relevan. Ia menyebut bahwa manusia modern sering kali kehilangan relasi personal dengan Tuhan, dan malah menggantinya dengan cynicism terhadap institusi keagamaan. Mereka merasa otentik, padahal hanya menghindari perjalanan ke dalam diri.
Mereka ingin kebersihan hati tanpa zikir, ingin keagungan hidup tanpa ketundukan. Mereka mencari pencerahan dengan menggugat cahaya.
Saya menyebutnya: keangkuhan jiwa yang terlahir dari ketakutan mengakui kebutuhan terhadap yang Ilahi.
Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin pernah menulis bahwa ilmu yang tidak disertai dengan rasa butuh kepada Allah akan menjadikan pemiliknya angkuh, dan angkuh adalah gerbang kesesatan.
Mereka tak mau sujud karena takut terlihat kalah. Tak mau mondokkan anak karena takut anaknya tunduk. Padahal tunduk bukan kelemahan—tunduk adalah jalan pulang.
Dan memang, di zaman ini, seperti kata Yahya Ansori, “Di sebuah lingkungan yang mayoritas munafik dan tidak baik, orang jujur adalah orang munafik yang layak dijauhi.” Ironi ini tak hanya menyedihkan, tapi juga memperlihatkan bagaimana kebaikan bisa disalahpahami ketika cahaya disandingkan dengan mata yang kelam.
Pesantren Bukan Pabrik Malaikat
Pesantren bukan surga. Tapi juga bukan neraka. Ia adalah ruang belajar. Di sana, anak-anak tidak dicetak menjadi malaikat, tapi dibentuk untuk mengenali dirinya sendiri.
Ada anak yang khatam Qur’an, tapi belum tentu bijak. Ada santri yang melanggar aturan, tapi pada akhirnya sadar. Ada juga ustaz yang jatuh—dan kita semua berhak menyesalkan itu. Tapi satu orang yang gagal tak menghapus ribuan yang bertahan dalam kesucian.
Mengapa kita lupa bahwa anak-anak juga belajar dari keterbatasan gurunya? Bahwa proses bukan hanya soal hasil, tapi perjalanan?
Saya mengenal orang tua yang sangat bersyukur anaknya mondok. Mereka tahu betapa berartinya hidup bersama dzikir dan kitab. Mereka yang pernah nyantri akan berkata: “Kamu mungkin melihat pesantren dari luar. Tapi kami tahu rasanya tumbuh di dalamnya. Kami merasakan kedalaman yang tak bisa dijelaskan oleh mereka yang cuma mengandalkan asumsi.”
Masjid dan Sumbangan yang Keliru Arah
Ada pula yang berkata, “Gue yang nyumbang, bukan mereka. Jadi jangan sok suci!”
Sayangnya, mereka mengira sumbangan adalah bukti kebenaran. Seakan-akan amal bisa menggantikan iman. Seakan-akan memberi uang lebih tinggi nilainya dari memberi diri untuk sujud.
Sumbangan itu baik. Tapi sumbangan yang lahir dari ego adalah transaksi, bukan ibadah.
Lalu mereka berkata: “Masjid itu sekarang jadi lahan bisnis. Banyak pengurus yang gelap mata.”
Mungkin iya. Tapi pertanyaannya: kapan terakhir kamu duduk di saf pertama dan menangis karena merasa hina di hadapan Tuhan?
Jika kamu tak pernah melakukannya, jangan terlalu cepat menghakimi mereka yang setiap hari mengurus lantai tempat anak-anak mengaji. Karena bisa jadi, mereka lebih dekat dengan rahmat Tuhan ketimbang kamu yang hanya bersedekah untuk merasa tinggi.
Dan benar apa kata Yahya Ansori: “Kadang kita mesti ekstra hati-hati, karena tidak semua orang baik itu punya harga yang baik.” Dunia spiritual pun tidak steril dari manusia bertopeng. Tapi bukan berarti cahaya yang dibawanya ikut salah.
Membela Cahaya dari Bayang-Bayang
Masalah kita bukan pada pesantren atau masjid. Masalah kita adalah ketidakmampuan memisahkan antara kekecewaan pribadi dan nilai sejati.
Sama seperti kamu tak berhenti minum air hanya karena pernah keracunan, jangan berhenti belajar agama hanya karena pernah kecewa dengan guru.
Kita harus membela cahaya. Bukan dengan fanatisme. Tapi dengan keadilan dalam menilai, ketulusan dalam menerima, dan keberanian untuk tidak tenggelam dalam luka.
Karena pada akhirnya, cahaya tak pernah salah. Yang salah adalah cara kita melihat.
Mengajarkan Anak Tanpa Meracuni Arah
Jika ada satu hal yang patut kita renungkan hari ini, maka itu adalah ini:
Bagaimana kita ingin anak-anak kita tumbuh?
Jika kita ingin mereka kuat, maka beri mereka ilmu.
Jika kita ingin mereka lembut, maka beri mereka adab.
Dan jika kita ingin mereka bertahan ketika dunia gelap, maka bimbing mereka mengenal cahaya.
Pesantren bukan untuk orang suci. Tapi untuk mereka yang ingin disucikan.
Masjid bukan tempat orang sempurna. Tapi tempat manusia yang tahu bahwa dirinya penuh cela dan butuh Tuhan.
Kalau kamu menolak semua itu hanya karena satu dua luka, mungkin luka itu bukan dari pesantren. Tapi dari bagian dalam dirimu yang belum sembuh.
Dan saat kita tidak lagi memandang agama sebagai beban, melainkan sebagai pelita, maka kita akan paham:
Yang kita bela bukan lembaganya, tapi cahaya yang tinggal di dalamnya.