Aksi 25 Agustus, Krisis Legitimasi Politik, dan Luka Kolektif Demokrasi Kita
Aksi 25 Agustus, Krisis Legitimasi Politik, dan Luka Kolektif Demokrasi Kita (Bagian 1)
Ditulis oleh: Sumarta (Dosen Hukum IAI Pdk Indramayu)
Dalam denyut perjalanan demokrasi Indonesia, aksi massa selalu hadir
sebagai barometer, sekaligus cermin yang menyingkap sejauh mana penguasa
memahami suara rakyat. Ribuan orang yang turun ke jalan bukanlah sekadar
kerumunan spontan, melainkan manifestasi dari kekecewaan yang menumpuk,
keresahan yang tak terjawab, hingga keputusasaan yang tak tersalurkan di ruang
formal. Aksi 25 Agustus 2025 mencatatkan dirinya dalam sejarah, bukan hanya
karena dentuman kerusuhan yang menggema, melainkan juga karena kabut
kejanggalan yang menyelimutinya. Ia bukan sekadar protes, tetapi sebuah
peringatan keras tentang rapuhnya komunikasi antara rakyat dan negara. Dari
jalanan itu, demokrasi dipertanyakan kembali maknanya.
Jika ditelisik lebih jernih, aksi tersebut memperlihatkan wajah lain
yang tak lazim dari sebuah demonstrasi. Narasi tunggal yang berulang-ulang
digelorakan akun anonim di media sosial, poster-poster artifisial hasil racikan
kecerdasan buatan, hingga keterlibatan akun-akun pro-pemerintah yang justru
menjadi provokator—semua itu mengisyaratkan adanya tangan-tangan yang sengaja
mengatur panggung. Pertanyaan pun bergema: siapa sebenarnya yang menangguk
keuntungan dari kekacauan ini? Apakah rakyat yang semakin teralienasi, atau
penguasa yang mendapat alasan untuk menekan? Di antara kerumunan, tersisa aroma
rekayasa yang mengaburkan makna perjuangan.
Namun, melampaui teka-teki siapa dalang di balik layar, aksi itu
menyingkap krisis legitimasi yang kian dalam dalam tubuh politik Indonesia.
Dewan Perwakilan Rakyat yang seharusnya menjadi rumah aspirasi kini dipandang
sebagai menara gading yang tinggi dan angkuh. Jarak antara rakyat dan wakilnya
kian melebar, diperparah oleh ucapan-ucapan pejabat yang justru melukai, bukan
merangkul. Pernyataan anggota DPR Ahmad Syaroni yang menyebut rakyat “tolol”
dan peserta aksi “brengsek” adalah peluru kata yang menembus batin publik.
Kata-kata itu tidak sekadar hinaan, melainkan luka kolektif yang menggores
jantung demokrasi Indonesia.
Fabricated Reality dan Perang
Narasi di Medsos
Kejanggalan paling telanjang dari aksi 25 Agustus justru bukan di
jalanan, melainkan di ruang digital. Media sosial, terutama TikTok dan X
(Twitter), mendadak dipenuhi narasi tunggal yang seolah dirancang dalam satu
komando. Akun-akun tanpa identitas jelas—yang dikenal sebagai “akun
ternakan”—berlomba-lomba memproduksi pesan seragam. Mereka menggiring opini
publik bahwa aksi tersebut hanyalah kelanjutan dari taktik politik tertentu.
Pertanyaan pun mencuat: apakah ini gerakan rakyat atau sekadar skenario yang
disulap dengan algoritma?
Lebih mengherankan lagi, poster-poster dan video berbasis AI
berseliweran tanpa roh yang biasanya menghidupi aksi massa. Aksi-aksi rakyat
sejati selalu menyisakan jejak solidaritas: ada tim logistik, ada tenaga medis,
ada koordinasi yang teratur. Namun kali ini, titik medis absen, logistik nyaris
tak terlihat, bahkan sejak siang hari water canon aparat sudah beraksi. Semua
detail ini menyalakan tanda tanya besar di benak publik. Apakah yang kita saksikan
sungguh perlawanan, atau sekadar panggung yang sengaja disetting?
Dalam situasi penuh ketidakpastian itu, publik digiring ke wilayah
abu-abu antara otentisitas dan fabrikasi. Inilah titik rawan demokrasi digital
kita, ketika suara rakyat tak lagi lahir murni, melainkan dibentuk oleh
kepentingan yang bersembunyi di balik layar. Kebenaran tak lagi hasil
perdebatan sehat, melainkan konstruksi algoritma yang menipu indera kita. Bot
dan narasi berbayar bisa menjelma menjadi “fakta” yang menutup suara asli
rakyat. Dan jika ini dibiarkan, demokrasi kita pelan-pelan digerus dari dalam,
tanpa kita sadar kapan batasnya hilang.
Kemarahan Rakyat yang Nyata
Meski banyak kejanggalan, kita tidak boleh serta-merta menuding bahwa
semua peserta aksi hanyalah massa bayaran atau sekadar “boneka politik”.
Realitas di lapangan menunjukkan fakta yang berbeda, di mana sebagian besar
mereka hadir bukan karena iming-iming uang, melainkan karena dorongan emosi
yang tulus. Kemarahan yang mereka bawa lahir dari rasa kecewa mendalam terhadap
wakil rakyat yang tak kunjung peduli pada penderitaan yang nyata. Bukankah
wajar bila rakyat marah, ketika suara mereka diabaikan dan jeritan mereka tak
digubris? Di titik inilah aksi massa menjelma bukan sekadar keramaian,
melainkan letupan nurani yang tak bisa lagi dibungkam.
Di tengah derita ekonomi yang mencekik, rakyat dipaksa menyaksikan
betapa kontrasnya kehidupan para wakilnya di gedung parlemen. Mereka hidup
berkecukupan dengan gaji, tunjangan, dan fasilitas yang mencolok di mata orang
banyak. Ironisnya, sebagian anggota DPR justru menambah luka dengan
ucapan-ucapan yang menyinggung perasaan publik. Bukankah hal ini sama saja
menyalakan api di tengah ladang kering? Tak heran bila kemarahan rakyat
akhirnya menjelma menjadi bensin yang menyulut api perlawanan, terlepas dari
isu rekayasa digital yang digembar-gemborkan.
Namun, yang paling menyedihkan adalah mereka yang sesungguhnya
termarjinalkan justru harus menanggung derita paling berat. Banyak peserta aksi
ditangkap, bahkan tak sedikit di antaranya masih anak di bawah umur. Alih-alih
mendengar jeritan yang bergema dari jalanan, negara justru memilih jalan
kekerasan. Represi demi represi dilancarkan, seolah ingin membungkam suara yang
tak diinginkan. Tidakkah kita sadar, bahwa sikap seperti ini hanya memperlebar
jurang antara penguasa dan rakyat yang mestinya mereka layani?
Arogansi Kekuasaan dan
Retaknya Kepercayaan Publik
Ucapan Ahmad Syaroni menjadi cermin paling telanjang tentang bagaimana
arogansi kekuasaan bekerja tanpa malu. Dengan enteng ia melabeli rakyat tolol
dan peserta demo brengsek, seolah lupa bahwa kursi yang ia duduki hanya berdiri
di atas suara rakyat. Kalimat-kalimat itu bukan sekadar kealpaan komunikasi,
melainkan potret mentalitas yang congkak, merasa kebal kritik karena bersandar
pada kekayaan, politik, dan koneksi. Inikah wajah wakil rakyat yang justru
menertawakan rakyatnya sendiri? Ataukah ini hanya bukti bahwa kekuasaan, ketika
tidak dijaga nurani, berubah menjadi tirani?
Fenomena ini semakin menegaskan bahwa krisis kepercayaan publik terhadap
DPR telah mencapai titik nadir. Lembaga yang seharusnya jadi rumah rakyat kini
berubah menjadi panggung kesombongan, tempat suara publik dipandang sebelah
mata. Bukan representasi yang hadir, melainkan iritasi yang tumbuh, mencederai
legitimasi yang seharusnya dijaga. Rakyat kian merasa diabaikan, diremehkan,
bahkan dihina oleh orang yang mengaku mewakili mereka. Maka wajar jika
pertanyaan muncul: DPR masih milik rakyat, atau sudah sepenuhnya milik para
elit?
Ketika legitimasi runtuh, rakyat mencari jalannya sendiri untuk
bersuara. Mereka turun ke jalan, memenuhi ruang maya, dan menolak narasi resmi
yang dipaksakan oleh kekuasaan. Namun celakanya, jawaban negara sering kali
bukan refleksi, melainkan represi. Kritik dibungkam, demonstrasi dibalas
kekerasan, dan kebebasan dipertaruhkan. Lalu, apakah demokrasi masih hidup,
atau hanya tinggal nama di bibir penguasa?
Siapa yang Bermain di Balik
Layar?
Pertanyaan terbesar yang membayang dari aksi 25 Agustus adalah: siapa
sebenarnya yang mengatur provokasi itu? Apakah ia tumbuh dari rahim kekuasaan
sendiri sebagai sebuah “inside job”? Atau jangan-jangan ada tangan ketiga yang
lihai, sengaja mengail di air keruh demi keuntungan sesaat?
Pertanyaan-pertanyaan itu menggantung di udara, menggedor logika publik, tapi
jawaban tetap samar. Justru kesamaran inilah yang membuat rasa curiga terus
berlipat ganda.
Kita memang mungkin tak memiliki jawaban yang pasti. Tetapi, bukankah
pola provokasi digital yang terkoordinasi, absennya disiplin struktur aksi,
serta narasi tunggal yang diarahkan kepada individu tertentu, menjadi
tanda-tanda yang tak bisa diabaikan? Seolah ada tangan tak kasat mata yang
menata bidak di papan catur politik. Tidak ada yang kebetulan dalam strategi
semacam ini. Selalu ada aktor yang sengaja mengatur skenario.
Lebih jauh, fakta bahwa akun-akun pro-pemerintah—yang biasanya teguh
sebagai “tentara digital”—malah ikut menyulut api provokasi, membuat teka-teki
ini semakin rumit. Apakah ini pertanda adanya friksi internal di jantung
kekuasaan? Atau justru ini siasat halus, sebuah panggung untuk mengalihkan
sorotan dari kegagalan DPR dan pemerintah dalam merespons aspirasi rakyat?
Setiap kemungkinan terasa masuk akal, dan justru itu yang menambah kegelisahan.
Semakin banyak pintu jawaban, semakin sulit menemukan kebenaran yang sejati.
Namun, pada akhirnya publik berhak menaruh curiga. Demokrasi hanya bisa
tumbuh sehat di bawah sinar transparansi, bukan di balik tirai rekayasa.
Tanpanya, setiap aksi massa akan selalu dituduh sebagai sandiwara, bukan
sebagai seruan hati nurani. Kepercayaan rakyat pada institusi politik pun kian
terkikis, seolah perlahan tapi pasti runtuh. Dan ketika kepercayaan itu hilang,
apa lagi yang tersisa dari demokrasi selain sekadar bayang-bayang?
Bahaya Membiarkan Luka Ini
Membusuk
Tidak ada rakyat yang bisa merasakan bahagia di tengah negara yang terus
dirundung kerusuhan. Pernyataan ini bukan sekadar kalimat kosong, melainkan
cermin dari kenyataan pahit yang tak bisa dipungkiri. Kerusuhan tidak pernah
lahir dari ruang hampa, melainkan dari luka-luka kecil yang dibiarkan bernanah
tanpa pernah diobati. Luka itu semakin parah ketika rakyat terus disalahkan,
sementara pemerintah menutup mata dan enggan bercermin. Akibatnya, kepercayaan
terkikis, dan jarak antara rakyat dan penguasa kian menganga.
Kebijakan yang salah arah, ucapan pejabat yang menyakitkan hati, serta
prioritas pembangunan yang tak masuk akal hanyalah contoh dari bara yang
disembunyikan di balik retorika manis. Aparat yang represif menambah luka
kolektif yang membara di dada rakyat. Bara itu mungkin tampak kecil, tetapi ia
bisa menyulut api besar yang melahap segalanya. Apakah kita masih mau
berpura-pura bahwa semua baik-baik saja? Ataukah kita berani mengakui bahwa
bara itu sudah mulai menjilat dinding rumah bangsa?
Demokrasi, sejatinya, tidak pernah mati dalam sekejap, melainkan
perlahan—digerogoti oleh ketidakpercayaan, manipulasi narasi, dan arogansi
kekuasaan. Aksi 25 Agustus bukanlah sekadar insiden biasa, tetapi sebuah alarm
keras yang berdering di tengah malam sunyi. Alarm itu bukan sekadar peringatan,
melainkan isyarat bahwa ada yang sedang membusuk di fondasi kebangsaan kita.
Jika alarm ini diredam dengan operasi media, kita hanya menipu diri sendiri.
Sebab yang sesungguhnya sedang kita siapkan adalah bom waktu sosial yang bisa
meledak kapan saja.
Refleksi dan Jalan ke Depan
Apa yang sesungguhnya bisa kita petik dari peristiwa ini? Negara harus
berhenti menjadikan rakyat sebagai kambing hitam setiap kali ada gejolak.
Kritik, demonstrasi, hingga letupan amarah publik bukanlah bentuk
pembangkangan, melainkan napas sehat dari demokrasi itu sendiri. Menghukum
suara rakyat sama saja dengan menutup mata terhadap cermin yang memperlihatkan
borok kekuasaan. Bukankah lebih bijak jika kritik dijadikan bahan refleksi,
bukan alat represi?
Politisi dan pejabat publik pun harus ingat, lidah mereka adalah pedang
bermata dua. Satu kata yang merendahkan rakyat bisa melukai jutaan hati
sekaligus mengikis legitimasi yang mereka klaim. Menyebut rakyat tolol atau
brengsek bukanlah sekadar slip of the tongue, melainkan pengkhianatan moral
seorang pemimpin. Bagaimana mungkin mereka meminta kepercayaan bila ucapan
mereka menyalakan api kekecewaan? Kata-kata itu, jika sembrono, bisa menjadi
bumerang yang merobohkan wibawa mereka sendiri.
Lebih jauh lagi, transparansi dan akuntabilitas harus berdiri tegak
dalam setiap aksi massa. Jika ada skenario gelap yang dimainkan, rakyat berhak
menyingkap tabirnya. Demokrasi tidak boleh dikerdilkan menjadi panggung
sandiwara dengan rakyat sekadar figuran. Bukankah inti demokrasi adalah
keterbukaan, kejujuran, dan partisipasi? Tanpa itu, yang tersisa hanyalah
tirani yang bersembunyi di balik topeng kerakyatan.
Terakhir, ruang publik digital juga tidak bisa dibiarkan liar tanpa
kendali. Media sosial, yang semestinya jadi sarana dialog, seringkali berubah
menjadi ladang propaganda tanpa etika. Narasi fabrikasi yang dibiarkan tumbuh
hanya akan menambah retakan dalam tembok kepercayaan publik. Platform digital
punya tanggung jawab moral untuk menjaga agar ruang itu tidak menjadi mesin
manipulasi. Jika tidak, demokrasi kita akan terkubur dalam banjir informasi
palsu yang tak terbendung.
Penutup: Demokrasi di
Persimpangan
Aksi 25 Agustus bukan sekadar demonstrasi yang berujung ricuh di
jalanan. Ia adalah potret retak yang memantulkan wajah asli hubungan antara
rakyat dan penguasa: kecurigaan yang menebal, empati yang menghilang, dan
manipulasi yang dipelihara. Peristiwa itu menyuarakan kenyataan getir, bahwa
jarak antara mereka yang berkuasa dan mereka yang dikuasai semakin menganga.
Kita seolah hidup dalam panggung sandiwara politik, di mana rakyat hanya
diminta berperan sebagai penonton tanpa hak bicara. Pertanyaan yang
menggantung: sampai kapan rakyat harus puas hanya dengan tepuk tangan,
sementara haknya direbut secara perlahan?
Demokrasi Indonesia, jika terus dibiarkan dalam pola ini, akan merosot
menjadi kulit kosong. Ia hanya menjadi ritual lima tahunan yang dikemas meriah,
tapi kehilangan substansi yang sesungguhnya. Rakyat dipanggil ke bilik suara
dengan janji manis, namun setelah itu suaranya dianggap beban, bahkan dipandang
hina. Bukankah demokrasi seharusnya menjadi ruang di mana suara rakyat adalah
kompas, bukan sekadar formalitas? Ironisnya, penguasa justru menjadikan
demokrasi sebagai panggung legitimasi, bukan tanggung jawab.
Namun, masih ada jalan untuk menyelamatkan demokrasi dari kehancuran.
Jalan itu menuntut keberanian penguasa untuk menundukkan kepala, mengakui
kesalahan, dan memperbaiki arah. Mengakui kegagalan bukanlah tanda kelemahan,
melainkan bukti kedewasaan politik yang sejati. Seorang pemimpin besar tidak
diukur dari seberapa keras ia bertahan, melainkan seberapa tulus ia mau
mendengar rakyatnya. Apakah penguasa berani membuka telinga, atau justru terus
menutup mata demi mempertahankan kursi?
Rakyat Indonesia sudah terlalu sering menelan pahit kesabaran. Tapi
kesabaran itu bukan cek kosong yang bisa dicairkan sesuka hati oleh penguasa.
Aksi 25 Agustus adalah alarm keras, sebuah peringatan bahwa rakyat tidak
selamanya bisa dibungkam. Jika demokrasi terus dipermainkan, jangan salahkan
rakyat ketika mereka mencari jalannya sendiri. Dan jalan itu, bila tiba
waktunya, mungkin tidak lagi ramah bagi para elit yang terbiasa bersembunyi di
balik retorika kuasa.
 
