Krisis Legitimasi, Amarah Publik, dan Bayang-Bayang Reformasi Kedua (Bagian Pertama)
Krisis Legitimasi, Amarah Publik, dan Bayang-Bayang Reformasi Kedua  (Bagian Pertama)
Pagi ini bangsa kembali dibuat terperanjat:
rumah Menteri Keuangan Sri Mulyani dijarah massa. Sebelumnya, kediaman Ahmad
Sahroni, Eko Patrio, hingga Uyakuya menjadi sasaran kemarahan publik.
Pertanyaannya, apa makna dari semua ini? Apakah sekadar letupan emosional yang
sesaat, atau tanda bahwa bangsa ini memasuki babak baru krisis sosial-politik?
Sejarah mengajarkan kita, Bung, bahwa letupan kecil sering kali menjadi awal
dari badai besar.
Kemarahan rakyat kini sudah di luar kendali.
Daftar rumah pejabat dan anggota parlemen beredar bebas di media sosial.
Grup-grup WhatsApp penuh dengan alamat, foto, hingga seruan untuk “menghukum”
elit yang dianggap hidup di menara gading. Ini bukan lagi sekadar aksi protes,
tetapi ekspresi nyata bahwa legitimasi politik tengah runtuh. Rakyat sudah
menolak tunduk pada simbol negara yang kehilangan makna.
Negara, Bung, tidak lagi bisa bersembunyi di
balik angka survei yang dipoles lembaga bayaran. Rakyat menuntut langkah nyata,
bukan basa-basi politik. Jika Presiden tidak segera bergerak, kemarahan publik
akan diarahkan langsung ke jantung kekuasaan: Istana. Pertanyaannya, siapa yang
akan diuntungkan bila hal itu terjadi? Tentu saja rezim lama, yang jejaringnya
masih bercokol di birokrasi, kepolisian, bahkan partai politik.
Kita harus berani jujur, suasana hari ini
mirip dengan 1998. Kala itu rakyat turun ke jalan karena muak dengan
kesewenang-wenangan penguasa. Sekarang, meski konteks berbeda, nuansa yang
hadir tak kalah mengerikan. Polisi kehilangan kepercayaan rakyat, sementara TNI
perlahan mengambil alih penjagaan kawasan vital. Apakah ini sekadar strategi
taktis, atau pertanda bahwa kepolisian telah lumpuh dalam fungsi dasarnya:
melindungi rakyat?
Rakyat tidak marah semata karena perut yang
lapar, tetapi juga karena gaya hidup pejabat yang hedonis. Saat rakyat antre
beras murah, para pejabat memamerkan rumah bak showroom mobil. Saat harga BBM
melambung, anggota parlemen menuntut tunjangan fantastis. Ditambah komunikasi
publik para elit yang sembrono, kadang melecehkan perasaan rakyat. Bukankah
kita tahu, kata-kata bisa lebih tajam daripada peluru?
Maka tidak mengherankan jika letupan demi
letupan terjadi. Kasus tragis seorang driver ojek online yang terlindas
kendaraan taktis Brimob menjadi pemicu tambahan. Publik marah karena sejak era
Jokowi, polisi diperlakukan sebagai anak emas kekuasaan. Dari KM 50,
Kanjuruhan, hingga tragedi lain, rakyat jarang sekali mendapat keadilan.
Arogansi aparat adalah bom waktu, dan kini bom itu telah meledak.
Peristiwa Jumat malam adalah bukti nyata
betapa besar amarah rakyat. Ratusan ribu orang mengepung DPR, Polda Metro Jaya,
hingga Mako Brimob. Bahkan di Mabes Polri, unjuk rasa pecah menjadi bentrokan
terbuka. Rekaman ulang 1998 seolah diputar kembali, hanya kali ini lebih luas:
di Bandung pagar DPRD Jabar dibakar, di Surabaya Gedung Grahadi digeruduk, di Makassar
gedung DPRD dirusak dan mobil dibakar. Tiga orang tewas, dan luka itu menjadi
luka bangsa.
Duka keluarga korban adalah duka seluruh
negeri. Namun di balik duka itu, tersimpan pesan keras: negara gagal mendengar
suara rakyatnya. Dan inilah risiko terbesar Presiden Prabowo, karena kini
tuntutan publik bukan lagi diarahkan ke rezim lama, tetapi kepadanya. Rakyat
bertanya, mengapa Kapolri tidak diganti? Mengapa reformasi Polri tak juga
dimulai?
Jika Presiden gagal menjawab, legitimasi
pemerintahannya akan runtuh lebih cepat dari yang diduga. Sebab rakyat tidak
bisa dipaksa taat hukum jika aparat penegak hukum sendiri kehilangan moral.
Polisi boleh mengacungkan pentungan, tapi rakyat tidak lagi takut. Rasa takut
terbesar telah berganti menjadi amarah. Dan amarah rakyat adalah badai yang tak
ada tembok istana mampu menahan.
Mari kita tarik ke belakang, mengapa residu
kemarahan era Jokowi masih membekas? Karena ketidakadilan yang dibiarkan tumbuh
subur. Polisi dijadikan perisai politik, bukan pengayom rakyat. KPK
dilumpuhkan, kejaksaan ditundukkan pada kepentingan elit. Maka ketika Prabowo
naik, publik berharap ada pembersihan besar-besaran.
Namun apa yang terjadi? Kapolri lama masih
dipertahankan. Listyo Sigit menjadi Kapolri terlama dalam sejarah, lebih dari
empat tahun menjabat. Bagaimana mungkin reformasi Polri dimulai jika simbol
lama masih bercokol? Publik melihat ini sebagai pengkhianatan janji perubahan.
Dan setiap pengkhianatan, Bung, selalu dibayar dengan hilangnya kepercayaan.
Lebih jauh, muncul dugaan bahwa kerusuhan
terjadi justru di wilayah yang dipimpin Kapolda dekat dengan Kapolri. Apakah
ini kebetulan, atau rekayasa? Bukankah politik kita sudah terlalu sering
memainkan skenario semacam itu? Yang jelas, publik semakin curiga. Dan ketika
rakyat curiga, tak ada lagi otoritas moral yang bisa mengikat mereka.
Bung, jangan lupakan faktor lain: oligarki. Di
era Jokowi, sembilan naga ekonomi menikmati masa emasnya. Kini, ketika Prabowo
mulai menertibkan, mereka merasa kehilangan privilese. Bukankah wajar bila
mereka ingin menggoyang stabilitas? Oligarki punya kekuatan uang, dan uang bisa
membeli apa saja, termasuk kerusuhan.
Inilah bahaya terbesar. Di tengah kemarahan
rakyat yang asli, terselip agenda oligarki yang menunggangi. Rakyat bergerak
karena lapar, karena marah, karena frustasi. Tapi oligarki bisa memanfaatkan
itu untuk mengembalikan masa kejayaan mereka. Maka Presiden Prabowo kini
berdiri di persimpangan: berani memutus rantai lama, atau tenggelam bersama
sistem bobrok.
Krisis legitimasi ini bukan hanya soal jabatan
Kapolri. Ini soal marwah hukum, soal kontrak sosial antara rakyat dan negara.
Jika aparat terus represif, jika media sosial terus dipenuhi video kekerasan
polisi, jurang antara rakyat dan negara akan makin lebar. Negara tanpa legitimasi
bagaikan rumah tanpa pondasi. Ia bisa berdiri sebentar, tetapi akan runtuh saat
gempa mengguncang.
Lalu apa yang harus dilakukan? Retorika belaka
tidak cukup. Presiden harus berani mengambil langkah politik nyata. Ganti
Kapolri, lakukan reformasi Polri, tegakkan marwah hukum. Jangan lagi
menyalahkan aktor politik atau intervensi asing, karena itu retorika basi.
Rakyat sudah tahu akar masalahnya: anggaran
yang tidak berpihak, komunikasi elit yang merendahkan, gaya hidup pejabat yang
mencolok, serta aparat yang buas. Mereka tidak butuh seremoni. Tidak butuh
angka survei. Tidak butuh joget di istana. Mereka hanya butuh keadilan dan
pemimpin yang berani berdiri di depan.
Saudaraku, sejarah selalu memberi cermin.
Tahun 1998, rakyat turun bukan hanya karena harga naik, tetapi karena
kehilangan rasa percaya. Soeharto kehilangan otoritas moral, dan rakyat
menjatuhkannya. Kini bayangan itu kembali hadir. Bedanya, kali ini rakyat lebih
terhubung lewat media sosial.
Amarah rakyat bisa menyebar dalam hitungan menit,
bukan bulan. Dan setiap hari tanpa langkah nyata adalah setiap hari yang
mempercepat runtuhnya legitimasi. Presiden Prabowo harus sadar bahwa waktu
tidak berpihak. Legitimasi tidak bisa dipertahankan dengan retorika, ia hanya
bisa dijaga dengan keadilan. Dan ketika legitimasi hilang, apa yang tersisa
dari sebuah negara?
Akhirnya kita kembali pada pertanyaan
mendasar: untuk siapa negara ini ada? Apakah untuk segelintir elit yang
menimbun kekayaan? Atau untuk rakyat yang bekerja keras setiap hari demi sesuap
nasi? Jika jawabannya tidak tegas, rakyat akan menjawab sendiri dengan caranya.
Dan sejarah membuktikan, ketika rakyat sudah bergerak, tak ada pagar istana
yang cukup tinggi untuk menghentikan mereka.
 
