Ads

Membaca Arahan Presiden di Tengah Ketegangan Nasional

 

Membaca Arahan Presiden di Tengah Ketegangan Nasional

Ditulis oleh: Akang Marta
sumber photo dari Berita Satu


Malam ini bangsa Indonesia disuguhi pidato resmi yang dibacakan melalui Menteri Pertahanan, dengan pendampingan Panglima TNI, Kapolri, Kepala BIN, dan seluruh kepala staf angkatan. Nama-nama pejabat tinggi dipertontonkan dengan detail, seolah legitimasi kepemimpinan presiden diukur dari kuantitas simbol kekuasaan. Namun publik bertanya: apakah parade elit ini cukup untuk menenangkan keresahan rakyat? Apakah sekadar daftar pejabat tinggi bisa meredam ketegangan di jalanan? Rakyat menuntut kepastian, bukan formalitas yang berlapis-lapis.

Presiden tampak ingin menegaskan bahwa ia memantau setiap perkembangan nasional, khususnya di ibu kota. Kata-kata ini terdengar menenangkan, seolah presiden hadir di setiap sudut ketegangan. Tetapi rakyat yang melihat kekerasan di lapangan tahu bahwa pemantauan saja tidak cukup. Gas air mata dan bentrokan aparat bukan sekadar statistik, melainkan bukti kegagalan negara hadir secara konkret. Retorika pemantauan tanpa aksi nyata hanyalah tirai asap.

Pidato menekankan soliditas TNI dan Polri dalam menjaga keamanan dan kenyamanan masyarakat. Solidaritas ini terdengar heroik, tetapi di mata publik, “solid” sering diterjemahkan sebagai represi bersama, bukan perlindungan rakyat. Apa arti keamanan jika rakyat yang menuntut hak justru berhadapan dengan pentungan dan peluru karet? Kata-kata “tetap solid” menimbulkan pertanyaan: soliditas untuk siapa? Apakah untuk elit yang duduk di istana, atau untuk masyarakat yang rentan?

Presiden melalui arahan ini menekankan penegakan hukum terhadap pelanggaran kriminal, termasuk perusakan fasilitas umum dan harta pribadi. Sekali lagi, kata-kata tegas muncul, tetapi siapa yang diuntungkan dari penegakan hukum itu? Jika hukum hanya tegas kepada rakyat kecil tetapi lembut kepada aparat yang salah, maka legitimasi negara tergerus. Bukankah keadilan yang tidak merata justru memicu kerusuhan? Publik melihat ketegasan hukum hanya sebagai topeng bagi ketidakadilan.

Menteri Pertahanan menjelaskan bahwa Presiden memberi mandat agar aparat tidak ragu-ragu dalam menindak pelaku kerusuhan dan penjarahan. Kata “tidak ragu-ragu” diulang-ulang, menekankan keseriusan. Tetapi publik tahu, ketakutan rakyat timbul karena aparat sering ragu menindak elit atau pejabat yang salah. Ketegasan yang hanya diarahkan ke rakyat biasa akan menimbulkan kesan pilih kasih. Retorika ini mengulang pola lama, di mana ketegasan hukum menjadi instrumen represi, bukan perlindungan.

Presiden menegaskan peran BIN untuk memantau situasi intelijen dan melaporkan setiap dinamika ke istana. Strategi ini terdengar cermat, tetapi publik skeptis: apakah pemantauan ini untuk keselamatan rakyat, atau untuk menjaga stabilitas rezim? Intelijen yang fokus pada kontrol sosial tanpa menjamin perlindungan nyata tidak memberikan rasa aman. Masyarakat ingin perlindungan konkret, bukan laporan yang dikirim ke meja presiden. Sekadar memantau situasi tanpa mengubah kondisi lapangan hanyalah retorika.

Menteri Dalam Negeri pun diberi mandat untuk mengendalikan pemerintah daerah dan memantau kondisi ekonomi. Sekali lagi, kata-kata ini terdengar serius dan sistematis. Tetapi publik mengamati, koordinasi birokrasi sering lamban, sementara harga kebutuhan pokok melonjak dan daya beli menurun. Retorika pengawasan ekonomi menjadi tak berarti jika rakyat tetap menderita. Apakah pidato ini cukup untuk meyakinkan rakyat bahwa krisis ekonomi diperhatikan?

Arahan presiden menekankan koordinasi antara Panglima TNI dan kepala staf angkatan. Mereka diperintahkan menjaga keamanan nasional dan menertibkan sumber daya alam. Sekali lagi, ketegasan muncul sebagai kata kunci, tetapi publik skeptis: apakah penertiban ini untuk rakyat atau sekadar mengamankan aset negara dari rakyat? Jika tindakan aparat selalu diinterpretasikan sebagai represi, legitimasi negara akan terus terkikis. Rakyat ingin negara hadir melindungi, bukan menakut-nakuti.

Kapolri dan Jaksa Agung diinstruksikan menegakkan hukum secara cepat terhadap semua pelanggaran. Kata “cepat” menegaskan urgensi, tetapi rakyat sudah bosan dengan kecepatan yang hanya berlaku di atas kertas. Proses hukum di lapangan kerap berjalan lambat atau tidak menyentuh elit yang salah. Ketegasan hukum yang tidak merata menimbulkan rasa ketidakadilan mendalam. Retorika “hukum ditegakkan” tidak cukup jika bukti di lapangan menegaskan sebaliknya.

Pidato mencoba menenangkan publik dengan menegaskan bahwa Presiden selalu bersama rakyat. Kata-kata itu terdengar menenangkan, tetapi rakyat menilai dari aksi, bukan kata. Gas air mata, bentrokan, dan kerusuhan menunjukkan jarak antara kata-kata presiden dan realitas lapangan. Rakyat ingin melihat keberpihakan konkret, bukan janji retoris. Tanpa tindakan nyata, pidato ini hanyalah simbol kosong.

Presiden menyerukan persatuan dan kebangkitan ekonomi, serta stabilitas nasional. Semua terdengar heroik dan penuh semangat patriotik. Tetapi publik bertanya: apakah persatuan dimaksudkan untuk menenangkan elit, atau untuk menyelesaikan krisis nyata di jalanan? Ekonomi hanya bisa bangkit jika rakyat merasa aman dan didengar. Kata-kata tentang kebangkitan tanpa tindakan yang jelas hanyalah pidato motivasi tanpa substansi.

Arahan ini berulang kali menekankan ketegasan dan tidak ragu-ragu. Kata-kata ini seolah menjadi mantra penyembuh krisis. Tetapi publik mulai muak dengan ketegasan yang tidak merata. Ketegasan hanya diterapkan kepada rakyat, sementara kesalahan elit tetap aman. Apakah ini bukan penyebab kemarahan rakyat yang semakin membara?

Pidato menekankan koordinasi aparat pusat dan daerah. Sekali lagi, koordinasi terdengar sistematis dan terstruktur. Tetapi rakyat melihat koordinasi itu sering berhenti pada perencanaan, tanpa tindakan nyata di lapangan. Kesenjangan antara pidato dan realitas lapangan semakin melebar. Tanpa bukti nyata, kata-kata koordinasi hanya menjadi sandiwara politik.

Arahan presiden juga menyinggung perlindungan terhadap pejabat dan rumah mereka. Ini menimbulkan pertanyaan: apakah perlindungan ini lebih prioritas daripada keselamatan rakyat biasa? Rakyat yang rumah dan lingkungannya dirusak menunggu perlindungan yang sama, tetapi tidak ada kejelasan dari pidato. Fokus pada elit menegaskan kesenjangan perlindungan hukum. Retorika tegas tidak akan memuaskan hati rakyat yang dirugikan.

Pidato diakhiri dengan penegasan tentang kebersamaan dengan seluruh rakyat dan organisasi masyarakat. Kata-kata ini terdengar indah dan menenangkan. Namun, tindakan nyata di lapangan sering kali berlawanan dengan klaim kebersamaan itu. Jika rakyat tidak merasakan kehadiran negara dalam kehidupan sehari-hari, kata-kata persatuan hanyalah hiasan kosong. Retorika persatuan tidak cukup tanpa langkah konkret.

Publik juga menyoroti pengulangan mantra ketegasan. Kata-kata “tidak ragu-ragu” dan “tegas” muncul berulang kali. Tetapi rakyat ingin bukti nyata, bukan pengulangan retoris. Ketegasan tanpa keadilan hanyalah intimidasi terselubung. Rakyat ingin negara hadir sebagai pelindung, bukan penakut yang hanya menakuti mereka. Retorika tanpa aksi nyata tidak akan menenangkan kerusuhan yang terjadi.

Pidato ini menegaskan peran semua institusi negara dalam menjaga keamanan nasional. Tetapi publik menyaksikan bahwa institusi tersebut sering abai terhadap rakyat kecil. Penegakan hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas masih menjadi pola yang berlangsung lama. Kata-kata tentang keamanan dan hukum hanya akan melegitimasi ketidakpercayaan publik. Tanpa reformasi nyata, pidato ini akan menjadi catatan sejarah tentang ketidakmampuan menghadapi krisis.

Akhirnya, pidato ini menimbulkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Rakyat menuntut kepastian dan perlindungan, bukan mantra ketegasan. Mereka ingin bukti keberpihakan presiden terhadap rakyat, bukan janji yang disampaikan melalui Menteri Pertahanan. Gas air mata dan bentrokan bukan sekadar statistik, tetapi cermin kegagalan negara hadir. Kata-kata yang berulang tentang ketegasan tidak menenangkan mereka yang menderita di jalanan.

Publik kini berada di persimpangan legitimasi. Pidato yang dimaksudkan menenangkan justru menimbulkan skeptisisme. Kata-kata tegas, tidak ragu-ragu, dan soliditas aparat tidak menggantikan tindakan nyata. Rakyat menunggu bukti bahwa negara hadir melindungi mereka, bukan menakut-nakuti. Tanpa itu, retorika hanya memperparah jarak antara elit dan rakyat.

Sejarah mengingat, pidato tanpa aksi nyata adalah awal dari kehilangan kepercayaan. Bung Karno pun pernah menggemakan kata-kata heroik, tetapi kekuatan pidato hanya efektif karena diikuti tindakan berani. Jika pidato Presiden Prabowo hanya diulang-ulang tanpa perubahan nyata di lapangan, maka legitimasi akan terkikis. Retorika tanpa bukti nyata akan menjadi fatamorgana politik. Rakyat tidak lagi puas dengan kata-kata indah, mereka menuntut tindakan konkret.

Bangsa ini menunggu keberanian politik, bukan drama retoris di depan media. Kata-kata tegas yang berulang tidak cukup untuk menenangkan ketegangan di jalanan. Publik ingin melihat hasil sidang kabinet diterjemahkan dalam perlindungan nyata dan keadilan yang merata. Kata-kata harus dibuktikan dengan tindakan, bukan hanya dipertontonkan melalui pidato resmi. Jika tidak, retorika akan menjadi alasan rakyat meragukan semua janji yang disampaikan.

 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel