Menjaga Harta Karun Peradaban: Mengapa Filologi Bukan Hanya Urusan Akademis
Menjaga Harta Karun Peradaban: Mengapa Filologi Bukan Hanya Urusan Akademis
Ditulis oleh: Akang Marta
Dalam dunia ilmu pengetahuan, ada satu bidang yang sering dianggap sunyi,
jauh dari sorotan publik, namun menyimpan peran amat besar bagi peradaban
manusia. Ilmu itu adalah filologi. Kata ini berasal dari istilah philologos
yang secara harfiah berarti cinta kata. Dari pengertian sederhana ini, lahirlah
sebuah disiplin ilmu yang mengajarkan kita untuk mencintai, merawat, sekaligus
menghidupkan kembali warisan tertulis yang ditinggalkan oleh manusia di masa
lampau. Filologi bukan sekadar studi akademik yang membongkar isi teks kuno,
melainkan sebuah upaya menghadirkan kembali jejak-jejak kebudayaan yang pernah
ada, sehingga kita bisa memahami masa lalu dengan lebih utuh dan menjadikannya
cermin bagi kehidupan hari ini.
Mempelajari filologi berarti berhadapan dengan teks sebagai objek utama
penelitian. Namun, teks di sini bukan hanya tulisan yang bisa dibaca secara
sederhana. Teks adalah dokumen hidup yang mengandung jejak sejarah, pemikiran,
dan perasaan manusia di zamannya. Dokumen dari abad ke-8, ke-9, atau ke-10
misalnya, tidak hanya penting karena usianya yang tua, tetapi juga karena di
dalamnya terdapat cara pandang masyarakat, sistem nilai, bahkan cara mereka
menafsirkan dunia. Filologi mengajarkan kita untuk tidak berhenti pada
pembacaan bahasa semata, melainkan juga memahami wujud fisik dari naskah itu
sendiri. Umur naskah, bahan yang digunakan, bentuk tulisan, hingga tinta yang
dipakai adalah bagian penting dari analisis yang memberi kita gambaran tentang
konteks historis yang melingkupi lahirnya teks tersebut.
Dalam konteks Indonesia, filologi menjadi ilmu yang sangat penting. Kita
memiliki kekayaan naskah kuno yang berlimpah, mulai dari lontar di Bali,
manuskrip Melayu di Sumatra, hingga naskah Jawa dan Sunda di berbagai
perpustakaan dan keraton. Semua naskah ini adalah warisan dokumenter yang tidak
ternilai harganya. Melalui filologi, kita bisa menyingkap isi naskah yang
berisi sastra klasik, ajaran moral, hukum adat, hingga catatan sejarah yang
selama ini mungkin terabaikan. Sayangnya, perhatian terhadap naskah kuno sering
kali masih minim. Banyak naskah yang dibiarkan rusak dimakan usia, sebagian
hilang karena kurangnya perawatan, bahkan ada yang dijual ke luar negeri
sehingga akses terhadapnya semakin terbatas.
Tulisan harus dibangun bahwa filologi bukanlah ilmu yang usang atau hanya
relevan bagi segelintir akademisi di kampus. Justru, filologi adalah ilmu yang
bersentuhan langsung dengan identitas bangsa. Masyarakat Indonesia yang plural
dan kaya tradisi sangat membutuhkan upaya sistematis untuk menjaga warisan
tertulisnya. Tanpa itu, kita akan kehilangan salah satu pintu masuk untuk
memahami sejarah secara otentik. Buku teks sejarah modern bisa saja memberi
ringkasan, tetapi naskah kuno menyimpan detail-detail yang unik dan sering kali
lebih jujur, karena ditulis pada zamannya tanpa kepentingan politik masa kini.
Menghidupkan filologi berarti pula membangun kesadaran tentang pentingnya
warisan dokumenter. Dalam teks-teks lama, kita bisa menemukan nilai kearifan
lokal yang sangat relevan dengan kehidupan hari ini. Misalnya, naskah tentang
ajaran etika atau tata krama dalam budaya Jawa mengajarkan nilai kesopanan,
penghormatan terhadap orang lain, serta pentingnya keseimbangan hidup. Naskah
hukum adat Melayu bisa memperlihatkan bagaimana masyarakat tradisional mengatur
kehidupan sosial dengan prinsip keadilan kolektif. Semua ini adalah warisan
intelektual yang tidak kalah penting dibandingkan teori modern yang sering kita
kagumi dari Barat.
Namun, tantangan terbesar adalah bagaimana mengkomunikasikan pentingnya
filologi kepada publik. Banyak orang menganggap filologi membosankan, karena
identik dengan penelitian di perpustakaan, membaca huruf kuno, dan pekerjaan
teknis yang penuh detail. Padahal, jika dikemas dengan baik, filologi bisa
menjadi pintu masuk bagi masyarakat untuk mengenal jati diri bangsa. Bayangkan
jika naskah kuno diterjemahkan ke dalam bahasa populer, diangkat ke dalam
bentuk film dokumenter, atau bahkan disajikan dalam format digital yang bisa
diakses generasi muda. Teknologi bisa menjadi sahabat filologi, karena membuka
ruang agar warisan dokumenter tidak lagi eksklusif hanya di tangan akademisi,
tetapi bisa dinikmati masyarakat luas.
Filologi juga penting untuk mengkritisi dan memperkaya cara kita melihat
masa lalu. Sejarah sering ditulis oleh penguasa dengan perspektif tertentu.
Naskah kuno yang lahir di luar lingkaran kekuasaan bisa memberi sudut pandang
berbeda, bahkan menantang versi resmi sejarah. Dengan kata lain, filologi
memberi ruang bagi suara-suara yang terpinggirkan untuk kembali hadir. Melalui
filologi, kita belajar bahwa sejarah bukan sesuatu yang tunggal, melainkan
penuh warna, kompleksitas, dan keberagaman.
Dalam kehidupan modern yang serba cepat, mencintai kata melalui filologi
juga mengajarkan kita arti kesabaran. Peneliti filologi harus teliti membaca
huruf demi huruf, sabar menafsirkan makna, dan hati-hati dalam menyimpulkan.
Sikap ini adalah antitesis dari budaya instan yang sering kita jalani hari ini.
Dari sini, filologi tidak hanya menghasilkan pengetahuan, tetapi juga membentuk
karakter: mencintai proses, menghargai detail, dan belajar melihat sesuatu
secara mendalam.
Sudah saatnya masyarakat Indonesia memberikan perhatian lebih kepada ilmu
filologi. Pemerintah perlu membuat kebijakan khusus untuk melindungi naskah
kuno, mendukung penelitian, dan menyediakan akses yang lebih luas bagi publik.
Perpustakaan dan museum harus berperan aktif dalam merawat koleksi naskah,
bukan sekadar menyimpannya. Dunia pendidikan juga perlu memasukkan filologi
dalam kurikulum dengan pendekatan yang segar, agar generasi muda tidak merasa
asing dengan warisan tertulis bangsanya sendiri.
Tulisan juga harus mendorong kolaborasi lintas bidang. Filologi tidak bisa
berdiri sendiri. Ia bisa berkolaborasi dengan ilmu sejarah, antropologi, linguistik,
hingga teknologi digital. Misalnya, naskah kuno bisa dipelajari dari sisi
bahasanya oleh linguis, dari sisi isi oleh sejarawan, dari sisi budaya oleh
antropolog, dan dari sisi preservasi oleh ahli digitalisasi. Kolaborasi semacam
ini akan memperkaya hasil penelitian dan membuat warisan naskah lebih mudah
dijangkau masyarakat luas.
Pada akhirnya, mencintai kata melalui filologi adalah cara kita menjaga
warisan intelektual bangsa. Kita hidup di zaman yang serba modern, namun tanpa
fondasi masa lalu kita akan mudah kehilangan arah. Naskah-naskah lama bukan
sekadar tulisan berdebu, melainkan jendela yang memberi kita pandangan tentang
siapa kita, dari mana kita berasal, dan ke mana seharusnya kita menuju.
Sebagai tulisan ini, ajakan untuk mempelajari filologi bukanlah romantisme
masa lalu, melainkan kebutuhan nyata untuk membangun peradaban yang lebih kuat.
Dengan memahami naskah kuno, kita belajar menghargai kebudayaan leluhur,
memperkaya khazanah ilmu pengetahuan, dan meneguhkan identitas nasional. Jika
bangsa lain dengan bangga merawat manuskrip kuno mereka, maka Indonesia tidak
boleh tertinggal. Warisan tekstual kita adalah harta yang tak ternilai, dan
filologi adalah kunci untuk membuka, membaca, serta mewariskannya kembali
kepada generasi mendatang.
Mencintai kata berarti mencintai kehidupan, karena kata adalah medium utama
manusia untuk berpikir, merasa, dan berhubungan. Filologi mengajarkan kita
bahwa kata bukan sekadar susunan huruf, melainkan cermin peradaban. Oleh sebab
itu, menjaga filologi sama artinya dengan menjaga kehidupan itu sendiri.