Ads

Membaca Pidato Presiden di Tengah Krisis Legitimasi

 

Membaca Pidato Presiden di Tengah Krisis Legitimasi

Ditulis oleh: Akang Marta
sumberphoto dari Kompas TV


Hari ini bangsa Indonesia disuguhi pidato Presiden yang dibacakan dengan penuh formalitas. Nama-nama besar dipanggil satu per satu, dari Megawati Sukarno Putri hingga Surya Paloh. Simbol koalisi dipertontonkan, seolah persatuan elit adalah jawaban atas kegelisahan rakyat. Namun rakyat bertanya: apakah daftar panjang tokoh politik itu mampu meredakan harga beras yang melonjak? Apakah penyebutan nama elit bisa menutup telinga dari jeritan mahasiswa yang ditembaki gas air mata?

Presiden tampak ingin menunjukkan bahwa ia memimpin dengan legitimasi penuh, didampingi para ketua partai. Tetapi apa arti persatuan elit jika rakyat di jalanan merasa dikhianati? Apa gunanya pidato panjang jika substansinya hanya pengulangan klise tentang ketertiban? Publik menunggu langkah berani, bukan sekadar pernyataan normatif. Yang dibutuhkan adalah keputusan politik, bukan parade simbol.

Dalam pidatonya, Presiden menegaskan bahwa negara menghormati kebebasan berpendapat. Kata-kata itu indah, terdengar manis di telinga. Tetapi publik tahu, di lapangan, kebebasan itu kerap dibayar mahal dengan luka, dengan darah, bahkan dengan nyawa. Bagaimana rakyat bisa percaya pada janji kebebasan jika aparat justru menindak mereka dengan kekerasan? Inilah jurang retorika yang membentang lebar antara pidato dan realita.

Presiden menyinggung kasus pelanggaran aparat yang katanya tengah diperiksa. Transparansi, katanya, akan dijamin. Namun rakyat sudah bosan dengan janji pemeriksaan internal yang berakhir tanpa sanksi berarti. Laporan demi laporan mengendap di meja penyidik, sementara korban hanya dijawab dengan kata "sedang diproses." Bukankah ini sudah terlalu sering kita dengar?

Kita lalu mendengar Presiden berbicara tentang langkah partai politik. Katanya, para ketua umum telah menindak anggota DPR yang melontarkan pernyataan keliru. Tetapi publik tahu, pernyataan ngawur DPR bukan sekadar kekeliruan, melainkan refleksi dari watak sesungguhnya. Bagaimana mungkin rakyat percaya bahwa pencopotan segelintir anggota dapat menghapus luka kolektif? Apakah ini bukan sekadar kosmetik politik untuk meredam badai?

Pidato itu memang mencoba menjawab keresahan publik. Presiden menyebut soal moratorium kunjungan luar negeri dan pemotongan tunjangan DPR. Kedengarannya heroik, tapi publik bertanya: mengapa baru sekarang? Mengapa harus menunggu amarah rakyat meledak dulu sebelum kebijakan itu dicabut? Bukankah ini tanda bahwa nurani elit hanya bergerak jika kursinya terancam?

Presiden lalu menekankan soal aturan hukum. Ia menegaskan bahwa anarki, perusakan, dan penjarahan adalah pelanggaran yang harus ditindak tegas. Itu benar adanya, tak ada yang membantah. Tetapi bagaimana dengan kekerasan aparat terhadap rakyat? Mengapa hanya hukum untuk rakyat kecil yang ditegakkan, sementara aparat yang salah justru dilindungi?

Di titik ini, publik melihat pola lama berulang. Rakyat diminta tertib, sementara elit tetap asyik dengan privilese. Rakyat diancam hukum, tetapi aparat hanya ditegur administratif. Bukankah ini resep pasti untuk memperdalam ketidakpercayaan? Bukankah hukum yang tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas adalah awal kehancuran legitimasi negara?

Presiden berbicara tentang makar dan terorisme. Kata-kata itu berat, penuh ancaman. Tetapi apakah setiap teriakan mahasiswa otomatis makar? Apakah setiap aksi buruh menuntut upah layak bisa dicap terorisme? Jika semua kritik dilabeli ancaman negara, maka kita sedang berjalan menuju otoritarianisme baru.

Lalu keluar instruksi klasik: TNI dan Polri diperintahkan menindak tegas. Kita sudah sering mendengar kalimat ini sejak puluhan tahun lalu. Tetapi apakah negara hanya punya satu resep, yaitu represi? Bukankah demokrasi menuntut dialog, bukan hanya komando senjata? Rakyat ingin dilindungi, bukan ditakuti.

Presiden memang mencoba menutup pidatonya dengan ajakan damai. Silakan sampaikan aspirasi, katanya, asal tertib dan tidak merusak. Tetapi bukankah kerusakan ini lahir dari keputusasaan karena suara rakyat tak pernah didengar? Bukankah kekerasan meletus karena jalur aspirasi sudah buntu? Damai hanya mungkin jika negara benar-benar membuka telinga.

Dalam pidatonya, Presiden juga menjanjikan pertemuan antara DPR dan tokoh masyarakat. Katanya, mahasiswa akan diundang, rakyat boleh mengirim delegasi. Tetapi publik masih skeptis: bukankah forum-forum semacam ini sering hanya formalitas? Bukankah dialog sering berubah jadi monolog dari pejabat? Rakyat sudah terlalu sering diundang bicara, tetapi tak pernah benar-benar didengar.

Presiden berusaha mengutip hukum internasional, menyebut kovenan PBB tentang hak sipil dan politik. Kata-kata ini terdengar canggih, seolah ingin menunjukkan Indonesia berada di jalur demokrasi. Tetapi realitas di jalan berbeda: gas air mata, pentungan, dan peluru karet menjadi bahasa yang lebih fasih dari pasal-pasal hukum. Bukankah ini ironi yang menyakitkan? Bukankah hukum internasional hanya jadi hiasan pidato?

Rakyat mendengar pidato itu dengan hati ganda. Di satu sisi, ada harapan bahwa presiden benar-benar serius menata ulang negara. Tetapi di sisi lain, ada rasa getir karena yang diucapkan hanyalah janji lama dengan baju baru. Kata-kata tak lagi cukup, rakyat butuh tindakan nyata. Dan tanpa itu, pidato hanya menjadi orasi kosong.

Presiden menekankan gotong royong, semangat persatuan, dan peringatan terhadap adu domba. Semua itu indah dalam bahasa, tetapi hampa dalam praktik. Bagaimana rakyat bisa bersatu jika elit terus mempertontonkan perpecahan demi kepentingan kursi? Bagaimana gotong royong bisa hidup jika kesenjangan kaya-miskin makin lebar? Kata gotong royong kini terdengar seperti nostalgia yang dipakai untuk menutupi kegagalan masa kini.

Pidato itu jelas dimaksudkan untuk meredakan krisis politik. Tetapi yang terjadi, publik justru semakin kritis. Mengapa presiden hanya berbicara soal menenangkan, bukan mengambil langkah konkret seperti mencopot Kapolri? Mengapa pidato dipenuhi dengan daftar nama elit, tetapi kosong dari kebijakan berani? Apakah presiden takut pada lingkaran kekuasaan di sekitarnya?

Rakyat kini berada di persimpangan. Mereka ingin percaya, tetapi terlalu sering dikecewakan. Mereka ingin tenang, tetapi kenyataan mencekik. Maka setiap pidato yang tidak menyentuh akar masalah hanya akan dianggap sebagai propaganda. Dan propaganda, pada akhirnya, adalah bensin bagi api kemarahan.

Sejarah menunjukkan, pidato bisa jadi alat perubahan atau justru pemicu kehancuran. Bung Karno dengan pidato-pidatonya mampu mengguncang dunia karena ada keberanian politik di balik kata-kata. Tetapi pidato kosong dari penguasa yang takut, hanya mempercepat kejatuhan. Pertanyaannya: pidato Prabowo kali ini masuk kategori yang mana? Harapan atau ilusi?

Presiden menutup pidatonya dengan ucapan terima kasih. Tetapi rakyat bertanya: terima kasih untuk siapa? Untuk elit yang sudah merusak kepercayaan publik? Untuk DPR yang menghina logika rakyat? Atau untuk aparat yang melindas nyawa lalu minta dimaafkan?

Saudara-saudaraku, kita harus berani jujur. Pidato ini gagal menjawab inti keresahan rakyat. Ia hanya menaburkan gula pada luka yang bernanah. Ia hanya mengulang kata-kata manis yang sudah basi di telinga publik. Dan rakyat, kali ini, tidak lagi mudah ditipu oleh retorika.

Bangsa ini butuh pemimpin yang tegas, bukan penghibur dengan kalimat panjang. Bangsa ini butuh tindakan nyata, bukan daftar panjang elit politik. Bangsa ini butuh keberanian, bukan sekadar perintah menindak tegas rakyat kecil. Jika presiden tidak segera bertindak, maka pidato ini akan tercatat sebagai bukti kelemahan, bukan kekuatan. Dan sejarah, sekali lagi, tidak akan pernah ramah pada pemimpin yang abai.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel