Membaca Data Kekerasan oleh Kepolisian, Mendesak Reformasi Aparat Penegak Hukum
Membaca Data Kekerasan oleh Kepolisian, Mendesak Reformasi Aparat Penegak Hukum
Ditulis oleh: Akang Marta
![]() |
Sumber data dari Kontras dan Watchdoc |
Isu mengenai kekerasan oleh aparat kepolisian di Indonesia kembali mencuat
setelah hadirnya data yang dipublikasikan oleh lembaga pemantau seperti
KontraS, salah satunya ditampilkan dalam film dokumenter Mantra Berbenah karya Watchdoc. Data tersebut menunjukkan
jumlah peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh kepolisian dari tahun 2020
hingga pertengahan 2025. Total terdapat 4.118 peristiwa kekerasan dengan
dampak yang amat serius: 768 orang tewas, 6.513 orang luka-luka, dan 11.799
orang mengalami penangkapan sewenang-wenang. Jika dijumlahkan,
korban kekerasan ini mencapai 19.080 orang hanya dalam kurun waktu
lima tahun terakhir.
Angka ini bukan sekadar statistik. Ia adalah
cermin buram wajah demokrasi dan penegakan hukum di Indonesia. Korban yang
tewas adalah nyawa manusia yang hilang, keluarga yang ditinggalkan, dan
mimpi-mimpi yang terkubur. Korban yang luka dan ditangkap sewenang-wenang
adalah mereka yang hak-hak konstitusionalnya dirampas, tanpa perlindungan hukum
yang semestinya. Melalui opini publik ini, kita perlu mengurai makna data
tersebut, mengkritisi persoalan struktural di tubuh kepolisian, dan mendesakkan
reformasi agar lembaga penegak hukum tidak lagi menjadi sumber ketakutan
rakyatnya sendiri.
Kekerasan Aparat sebagai Cermin Krisis Demokrasi
Dalam negara demokrasi, kepolisian sejatinya
adalah institusi yang diberi mandat untuk melindungi masyarakat, menegakkan
hukum, dan menjaga ketertiban. Namun, ketika data menunjukkan ribuan peristiwa
kekerasan dengan belasan ribu korban, fungsi kepolisian justru dipertanyakan.
Rakyat yang seharusnya merasa aman justru hidup dalam ketakutan terhadap aparat
yang seharusnya melindungi mereka.
Fenomena ini memperlihatkan krisis demokrasi
yang serius. Demokrasi tidak hanya diukur dari seberapa rutin pemilu
dijalankan, melainkan juga dari bagaimana negara melindungi hak asasi warganya.
Ketika kepolisian menjadi aktor pelanggaran hak, maka ada yang salah secara
fundamental dalam sistem demokrasi kita. Ini memperlihatkan bahwa prinsip rule of law belum tegak, dan masih
digantikan oleh rule by force.
Angka yang Mengguncang: Dari Statistik ke Realitas
Mari kita cermati lebih dekat data yang
dipublikasikan:
·
2020: 921
peristiwa
·
2021: 621
peristiwa
·
2022: 677
peristiwa
·
2023: 622
peristiwa
·
2024: 645
peristiwa
·
2025 (hingga Juli): 602 peristiwa
Jika dilihat sekilas, tren ini tidak pernah
benar-benar menurun secara signifikan. Meski ada fluktuasi, setiap tahunnya
selalu ada ratusan peristiwa kekerasan dengan pola yang berulang. Dengan kata
lain, kekerasan ini bukan kebetulan, melainkan sudah sistemik.
Yang lebih memprihatinkan, jumlah korban
menunjukkan dampak massif: 768 orang tewas hanya dalam lima
tahun. Artinya, rata-rata lebih dari 150 orang meninggal setiap tahun akibat
kekerasan aparat. Sementara itu, 6.513 orang luka-luka berarti hampir
setiap hari ada korban baru. Ditambah lagi, 11.799 orang ditangkap secara
sewenang-wenang mencerminkan betapa mudahnya hak asasi warga
dilanggar tanpa prosedur hukum yang benar.
Setiap angka ini merepresentasikan tragedi.
Misalnya, korban yang tewas mungkin adalah mahasiswa yang sedang berdemo
menuntut keadilan, warga miskin kota yang dipaksa angkat kaki dari rumahnya,
atau orang biasa yang kebetulan berada di lokasi yang salah saat polisi
bertindak represif. Sayangnya, kasus-kasus semacam ini seringkali berakhir
tanpa pertanggungjawaban yang jelas dari institusi kepolisian.
Akar Masalah: Kultur Kekerasan dalam Kepolisian
Pertanyaan mendasar kemudian adalah: mengapa
kekerasan oleh kepolisian begitu marak? Ada beberapa akar masalah yang bisa
diidentifikasi:
1.
Budaya Impunitas
Kasus-kasus pelanggaran hukum oleh aparat sering berakhir tanpa hukuman yang
setimpal. Oknum polisi yang melakukan kekerasan jarang sekali benar-benar
dijatuhi sanksi pidana yang sesuai. Sebaliknya, banyak yang hanya diberi sanksi
administratif, bahkan ada yang tetap dipromosikan dalam jabatan. Ketidakadilan
ini memperkuat budaya impunitas, di mana aparat merasa kebal hukum.
2.
Militarisasi Kepolisian
Meskipun secara resmi Polri adalah institusi sipil, praktik di lapangan
menunjukkan gaya kerja yang masih sangat militeristik. Demonstrasi mahasiswa,
aksi buruh, hingga protes warga sering dihadapi dengan pendekatan represif,
bukan dialogis. Ini menunjukkan bahwa orientasi kepolisian lebih mengutamakan
penertiban dengan kekuatan fisik ketimbang penghormatan terhadap hak-hak sipil.
3.
Minimnya Akuntabilitas dan Pengawasan
Mekanisme pengawasan terhadap kinerja kepolisian masih sangat lemah. Kompolnas
dan Propam Polri, yang seharusnya menjadi instrumen pengawasan, seringkali
tidak efektif. Di sisi lain, masyarakat juga sulit mendapatkan akses untuk
melaporkan pelanggaran, karena proses hukum cenderung berpihak pada aparat.
Dampak Sosial: Hilangnya Kepercayaan Publik
Salah satu dampak paling berbahaya dari maraknya
kekerasan oleh aparat adalah hilangnya kepercayaan publik terhadap kepolisian.
Masyarakat yang seharusnya menjadikan polisi sebagai tempat berlindung justru
melihat mereka sebagai ancaman. Kondisi ini memunculkan jurang antara rakyat
dan aparat negara.
Hilangnya kepercayaan publik juga berpotensi
menciptakan instabilitas sosial. Demonstrasi yang seharusnya menjadi ruang
demokrasi berubah menjadi arena bentrokan. Kasus kriminal yang seharusnya
dilaporkan ke polisi bisa tidak dilaporkan, karena korban takut tidak mendapat
perlindungan atau malah menjadi korban baru. Pada titik ini, keberadaan polisi
tidak lagi berfungsi sebagai penjamin ketertiban, melainkan sebaliknya, sumber
ketidakamanan.
Mendesak Reformasi Kepolisian
Data yang dipaparkan tidak bisa hanya dianggap
sebagai catatan statistik, tetapi harus menjadi alarm bagi negara untuk
melakukan reformasi kepolisian secara menyeluruh. Ada beberapa langkah mendesak
yang perlu dilakukan:
1.
Penguatan Mekanisme Akuntabilitas
Pengawasan eksternal harus diperkuat, bukan hanya mengandalkan mekanisme
internal Polri. Lembaga independen yang benar-benar berfungsi mengawasi aparat
perlu diberi kewenangan lebih luas. Setiap tindakan kekerasan harus diproses
secara transparan, dengan akses informasi yang terbuka untuk publik.
2.
Demiliterisasi Kepolisian
Orientasi kepolisian harus dikembalikan pada paradigma sipil yang humanis.
Aparat harus dididik untuk mengedepankan pendekatan dialog, mediasi, dan
penghormatan terhadap hak asasi, bukan pendekatan represif yang identik dengan
militer.
3.
Reformasi Kurikulum Pendidikan Polisi
Pendidikan kepolisian harus menekankan nilai-nilai HAM, etika profesi, serta
keterampilan komunikasi. Aparat tidak boleh hanya dilatih dalam penggunaan
senjata atau taktik represif, melainkan juga dilatih untuk membangun hubungan
dengan masyarakat.
4.
Transparansi dan Partisipasi Publik
Data mengenai kekerasan aparat harus dipublikasikan secara berkala dan transparan.
Publik juga harus dilibatkan dalam merumuskan kebijakan keamanan. Dengan
partisipasi masyarakat, diharapkan lahir kepolisian yang benar-benar melayani,
bukan menindas.
Kesadaran Kolektif
Masyarakat
Selain mendorong reformasi struktural,
masyarakat juga harus membangun kesadaran kolektif untuk menolak normalisasi
kekerasan aparat. Terlalu sering kita melihat berita tentang tindakan represif,
tetapi membiarkannya berlalu begitu saja. Padahal, membiarkan berarti turut
melanggengkan.
Masyarakat sipil, media, akademisi, hingga
organisasi masyarakat perlu terus bersuara. Dokumenter seperti Mantra Berbenah adalah salah satu contoh
perlawanan kultural yang penting, karena ia membuka mata publik bahwa ada masalah
serius di tubuh kepolisian. Dari kesadaran inilah tekanan terhadap pemerintah
dan institusi Polri bisa semakin kuat.
Saatnya Berbenah, Demi Demokrasi yang Sehat
Data 19.080 korban kekerasan bukanlah angka biasa.
Itu adalah wajah penderitaan rakyat yang terabaikan. Jika negara benar-benar
berkomitmen terhadap demokrasi dan HAM, maka tidak ada pilihan lain selain
berbenah. Reformasi kepolisian bukan hanya agenda teknis, tetapi sebuah
keharusan moral. Tanpa itu, kita hanya akan terus mengulang tragedi demi
tragedi, sementara rakyat terus menjadi korban.
Tulisan ini mengajak kita semua untuk
tidak berhenti bersuara. Karena ketika aparat yang seharusnya melindungi
berubah menjadi penindas, maka demokrasi sedang berada dalam ancaman. Saatnya
kita bersuara lantang: kepolisian harus berbenah, atau kepercayaan rakyat akan
hilang untuk selamanya.