PEREMPUAN, SUARA, DAN PANGGUNG YANG DITOLAK
Dialektika Tubuh, Spiritualitas, dan Hak untuk Hadir
Pada sebuah siang di Semarang, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Jawa Tengah, Ema Rachmawati, hadir untuk membuka acara pengajian mewakili Gubernur. Ia datang sebagai simbol negara, sebagai pejabat publik, dan sebagai seorang perempuan yang membawa amanah. Tapi yang diterima hanyalah suaranya. Tubuhnya ditolak. Ia diminta berbicara dari balik tirai.
“Kalau begitu saya tadi pakai mukena saja dari awal. Tapi saya tidak mau. Kalau saya tidak boleh memberi sambutan, saya pulang,” ujar Ema.
Peristiwa ini seolah sepele, tapi mengandung luka kolektif yang dalam: tubuh perempuan dianggap mengganggu ritus keagamaan. Suaranya bisa didengar, asal wujudnya tidak terlihat. Perempuan boleh ada, tapi tak boleh tampak. Ia diizinkan menyampaikan pesan, tapi tidak diperkenankan hadir secara utuh.
Luka semacam ini tidak berdiri sendiri. Suborini, seorang pranatacara Jawa, juga ditolak tampil menyampaikan pasrah pengantin hanya karena ia seorang perempuan. “Saya sudah dibayar, sudah menyiapkan teks, tapi mereka menolak begitu tahu saya perempuan. Akhirnya saya memilih pergi,” tuturnya.
Ini bukan hanya kisah tentang dua perempuan. Ini cermin retak tentang bagaimana tubuh perempuan masih menjadi persoalan dalam ruang spiritual dan publik.
Tubuh Perempuan dan Trauma Sosial-Religius
Dalam psikologi spiritual, tubuh perempuan sering kali dipandang dalam dualitas: sebagai sumber kehidupan dan sebagai sumber dosa. Sejak era pramodern, banyak konstruksi keagamaan membebankan simbol-simbol tabu kepada tubuh perempuan: menstruasi, suara yang “menggoda”, penampilan yang “mengusik”, hingga kehadiran yang dianggap “mencemari” kesucian ruang.
Carl Jung pernah menyebut bahwa perempuan sering dijadikan anima dari imajinasi laki-laki—bukan individu otonom. Dalam banyak budaya, perempuan dilihat sebagai refleksi batin laki-laki: jika ia terlihat lembut, maka itu dianggap ideal. Jika ia kuat dan vokal, maka ia disebut melawan kodrat.
Namun, dalam perspektif tasawuf, terutama dalam ajaran Jalaluddin Rumi, tubuh bukan musuh ruh. Rumi berkata:
> "Tubuh bukan penjara bagi jiwa. Ia adalah kendaraan cahaya, jika engkau membersihkan kaca jendelanya."
Menolak tubuh perempuan dari ruang spiritual karena dianggap "mengganggu" sejatinya adalah pengkhianatan terhadap esensi tasawuf itu sendiri, yang justru menekankan pembersihan batin, bukan pengusiran lahiriah.
Dialektika Hegel dan Kesadaran Perempuan
Georg Wilhelm Friedrich Hegel, dalam filsafat dialektiknya, menyebut bahwa sejarah bergerak lewat konflik antara tesis dan antitesis. Ketika struktur lama yang mapan bertemu dengan pertanyaan, bantahan, atau resistensi, maka lahirlah sintesis: bentuk kesadaran yang lebih matang.
Apa yang dilakukan Ema dan Suborini adalah wujud antitesis terhadap struktur sosial-keagamaan yang patriarkal. Mereka bukan sedang “melawan agama”, tapi sedang menantang tafsir yang telah lama memonopoli agama untuk kepentingan tertentu.
Perempuan bukan sekadar pembawa pesan, tapi juga pembawa perubahan. Dalam momen penolakan itu, mereka menghadirkan kesadaran-diri sebagaimana dipahami Hegel: bahwa seorang manusia hanya menjadi subjek penuh ketika ia sadar akan hak dan keberadaannya.
Hegel menyebut ini sebagai spirit absolut—kesadaran yang tidak lagi bergantung pada pengakuan orang lain, tapi tumbuh dari keutuhan nilai dalam dirinya. Perempuan hari ini, yang berani pulang ketika ditolak, bukan lari. Ia memilih jalan spiritual yang jujur: keutuhan diri lebih penting dari panggung semu.
Perempuan sebagai Subjek Spiritual
Dalam sejarah Islam, kita telah melihat banyak perempuan yang menjadi pelita tanpa podium. Maryam melahirkan Isa dalam sunyi. Khadijah menjadi pelindung Rasul tanpa banyak sorotan. Rabi’ah Al-Adawiyah mengajarkan cinta Ilahi tanpa panggung kekuasaan.
Namun hari ini, perempuan bukan hanya ingin dikenang dalam diam. Ia ingin hadir. Bukan karena haus tampil, tapi karena cinta juga butuh bahasa. Kesadaran juga butuh suara
Tasawuf tidak pernah mengajarkan penindasan. Justru sebaliknya: ia mendorong pelepasan dari ego, dari dominasi, dan dari ilusi superioritas. Ketika perempuan yang jernih hatinya dan bersih niatnya ditolak hanya karena tubuhnya, maka bukan perempuan yang salah—tapi cara pandang kita terhadap spiritualitas yang cacat.
Sayyidah Nafisah mengajar para ulama besar. Aisyah meriwayatkan ribuan hadits. Perempuan bukan makhluk bisu dalam sejarah Islam. Mereka punya otoritas, punya suara, punya cahaya.
---
Psikologi Luka: Antara Trauma dan Transendensi
Secara psikologis, penolakan terhadap perempuan dalam ruang publik spiritual dapat menciptakan luka identitas: perempuan tumbuh dengan pesan bawah sadar bahwa ia “tidak cukup suci” untuk hadir di ruang-ruang utama. Pesan ini, jika tidak diproses, menanamkan inferioritas yang diwariskan lintas generasi.
Teori learned helplessness dari Martin Seligman menunjukkan bahwa manusia yang terus-menerus ditolak haknya akan cenderung menyerah dan menerima ketidakadilan sebagai norma. Tapi hari ini, kita melihat arah sebaliknya: perempuan seperti Ema dan Suborini memilih tidak menerima.
Mereka memilih pergi, bukan sebagai bentuk pengunduran diri, tapi sebagai protes elegan dari nurani yang tak sudi dikompromikan. Inilah bentuk tertinggi dari keutuhan spiritual: menolak ruang yang menyakiti, dan memilih ruang batin yang lebih terang.
Paradoks Keagamaan: Ketika Ruang Suci Menjadi Ruang Eksklusif
Agama semestinya menjadi jalan keselamatan. Namun ketika tafsir dikuasai satu jenis kelamin, agama berubah menjadi alat eksklusi. Yang dikhawatirkan bukan lagi syirik, tapi suara perempuan. Yang dilarang bukan kemunafikan, tapi tubuh yang menua dan melahirkan.
Inilah wajah kekuasaan spiritual yang kehilangan ruh: panggung suci dijaga oleh ketakutan, bukan oleh cinta. Maka tidak heran jika perempuan ditolak dari panggung keagamaan, karena kekuasaan selalu resah terhadap suara yang membawa kebenaran alternatif.
Padahal jika kita jujur pada pesan agama, Tuhan tidak menilai tubuh. Tuhan menilai hati.
Kesadaran Feminin dalam Spiritualitas Baru
Dalam spiritualitas kontemporer, kita mengenal konsep divine feminine: sisi spiritual perempuan yang penuh kelembutan, intuisi, keberanian, dan daya cipta. Energi ini bukan hanya milik perempuan, tapi diwakili olehnya dalam keseharian.
Menolak perempuan dari ruang bicara berarti mematikan satu sisi penting dari energi ilahiah dalam kehidupan beragama. Jika suara perempuan dibungkam, maka yang tinggal hanyalah gema kosong dari dogma lama yang tidak lagi relevan dengan semangat zaman.
Perempuan hari ini tidak lagi memohon izin untuk bicara. Ia hadir dengan hakikat. Ia tidak mencari panggung. Tapi jika ada panggung yang menolaknya, ia tahu kapan harus meninggalkannya demi ruang batin yang lebih luhur.
Suara yang Pergi, Cahaya yang Tinggal
Aku menulis ini bukan untuk membela perempuan karena jenis kelaminnya. Tapi karena aku percaya bahwa keadilan spiritual tidak bisa tumbuh di atas diskriminasi.
Suara perempuan yang ditolak bukan hilang. Ia mengendap dalam tanah, tumbuh menjadi pohon perlawanan yang suatu hari akan meneduhkan mereka yang kelelahan mencari makna dalam panggung-panggung palsu.
Ketika perempuan pergi dari panggung, bukan berarti ia kalah. Bisa jadi ia sedang menjaga cahaya dari redup oleh sorotan yang salah.
Dan jika engkau masih menimbang kebenaran berdasarkan tubuh yang menyampaikannya, mungkin yang perlu engkau ubah bukan perempuan itu—tapi lensa rohanimu sendiri yang terlalu sempit untuk melihat luasnya cinta Tuhan.
Penulis : Annisa Gozan