Krisis Legitimasi, Amarah Publik, dan Persimpangan Sejarah (Bagian Kedua/Akhir)
Krisis Legitimasi, Amarah Publik, dan Persimpangan Sejarah
Orang banyak terkejut. Orang banyak kecewa. Mengapa? Karena di tengah gejolak
yang memuncak, ketika rakyat menunggu langkah berani dari Presiden Prabowo,
yang terjadi justru pemandangan klise. Presiden hanya memanggil Panglima TNI
dan Kapolri, lalu berkata: “Tindak tegas pelaku anarkis.”
Apakah itu yang ditunggu rakyat? Apakah itu jawaban atas jeritan massa yang
berhari-hari turun ke jalan? Rakyat memekikkan tuntutan: ganti Kapolri, lakukan
reformasi Polri, bukan jargon ketertiban. Tetapi yang mereka dengar hanyalah
instruksi klise yang tak menyentuh akar persoalan. Rakyat menunggu keberanian
politik, bukan sekadar pengulangan retorika.
Ironi makin tebal ketika kita ingat pernyataan Presiden sendiri soal kasus
AFAN, driver ojol yang tewas mengenaskan dilindas kendaraan taktis polisi.
Presiden bilang kasus itu harus diusut, pelaku harus ditindak, tetapi
kenyataannya berbeda. AFAN kini diperlakukan sebagai pelaku, sementara aparat
dilindungi. Bahkan Kapolri bicara kemungkinan pidana balik. Tidakkah ini
penghinaan bagi akal sehat publik?
Maka wajar bila rakyat marah. Wajar bila mahasiswa meneriakkan “Ganti
Kapolri! Reformasi Polri!” Wajar bila lebih dari dua ratus tuntutan massa
menuntut pencopotan Listyo Sigit. Dan wajar pula bila publik bertanya: mengapa
Presiden Prabowo hanya diam? Mengapa ia justru larut dalam ilusi “asal bapak senang”
yang ditiupkan lingkaran sekitarnya?
Mari kita jujur, Sumber kemarahan rakyat bukan hanya aparat. DPR pun jadi
biang luka bangsa. Apa yang dilakukan parlemen ketika rakyat menderita? Apakah
mereka hadir menyuarakan jeritan rakyat? Tidak.
Yang mereka lakukan justru mengumbar pernyataan ngawur yang menyakiti hati
publik. Ingat Adies Kadir yang bilang kos di Jakarta Rp3 juta per hari? Logika
macam apa itu? Rakyat di Jakarta berjuang keras dengan kos Rp2 juta sebulan,
sementara wakil rakyat melontarkan angka absurd. Itu bukan sekadar salah ucap,
itu penghinaan pada logika publik.
Belum lagi Ahmad Sahroni yang dengan enteng menyebut rakyat “tolol sedunia.”
Belum lagi artis-artis di parlemen yang menjadikan DPR panggung hiburan.
Lelucon tak lucu, parodi tak bermakna, pembelaan tunjangan fantastis. Itu semua
mempertebal jurang antara elit negara dan rakyat. Maka jangan heran bila suara
“Bubarkan DPR!” menggema di jalanan.
Itu bukan hal baru. Soekarno pun pernah membubarkan DPR pada 1960, ketika
parlemen gagal menjadi wakil rakyat sejati. Sejarah berulang, Bung, dan suara
itu kini kembali. Apakah kita akan berpura-pura tuli pada gema sejarah itu?
Atau kita biarkan api ketidakpercayaan menyala lebih besar? Jawabannya akan
menentukan arah bangsa ini.
Sementara itu, kondisi ekonomi makin mencekik. Data BPS Februari mencatat
8,3 juta penganggur terbuka. Inflasi pangan menggila, daya beli merosot, rakyat
semakin terjepit. Tetapi apa yang dilakukan elit? Mereka pamer kekayaan,
hedonisme, dan plesiran dengan dalih kunjungan kerja.
Rumah-rumah pejabat pun jadi sasaran amarah rakyat. Rumah Ahmad Sahroni, Eko
Patrio, Uyakuya, hingga Sri Mulyani dijarah massa. Mengapa? Karena publik tak
lagi percaya pada simbol negara. Legitimasi moral para elit telah runtuh.
Lebih ngeri lagi, alamat rumah para anggota DPR beredar luas di media
sosial. Nomor telepon pejabat bocor ke publik. Hotel-hotel di Singapura dan
Bali bahkan diminta menolak politisi tertentu. Diaspora Indonesia di Australia
mengejar rombongan DPR yang plesiran di Sydney. Amarah rakyat kini lintas
batas, tak bisa dipagari tembok parlemen atau istana.
Namun apa respons presiden? Masih saja terbuai angka survei. Katanya
kepuasan publik 80 persen. Angka indah yang disulap lembaga survei, sementara
di lapangan rakyat berdarah-darah. Bukankah itu bukti bahwa angka hanyalah
fatamorgana? Presiden Prabowo harus hati-hati, sebab angka bisa menipu, tetapi
jeritan rakyat tidak bisa dipalsukan.
Lebih parah, istana kini memberi penghargaan berlebihan pada lingkaran
dekatnya. Baru sepuluh bulan pemerintahan, sudah ada bintang jasa, Satya
Lencana, bahkan gelar kepahlawanan. Semua itu dulu hanya diberikan di akhir
periode. Untuk apa kini? Untuk ajudan-ajudan, untuk orang dekat, untuk mereka
yang tak pernah berjuang di medan tempur.
Apa artinya semua itu? Marwah kepahlawanan diremehkan. Bintang kehormatan
jadi hadiah politik. Negara seolah milik keluarga, bukan milik rakyat. Apakah
rakyat tidak tahu? Tidak, Bung, rakyat sadar, dan rakyat murka.
Hari-hari ini, krisis legitimasi bukan sekadar soal ekonomi. Ia sudah
menyentuh akar politik dan hukum. Rakyat melihat presiden melindungi rezim
lama. Kasus ijazah palsu Jokowi dibiarkan, skandal “Fufu Fafa” tak disentuh,
relawan lama justru diberi jabatan komisaris. Bahkan Grace Natalie yang dulu
mengejek Prabowo kini duduk manis di lingkaran dalam.
Apakah ini bukan pengkhianatan terhadap janji perubahan? Maka rakyat pun
bersuara: adili Jokowi, turunkan Gibran. Publik melihat Prabowo tersandera geng
lama, geng Solo yang menguasai lingkaran istana. Jika ia tak berani
menyingkirkan mereka, maka rakyatlah yang akan menyingkirkan dirinya. Sejarah
selalu tegas dalam soal pengkhianatan.
Lebih berbahaya lagi, polisi kini resmi jadi musuh rakyat. Kapolri bicara
“tindak tegas pelaku anarkis,” tapi bungkam ketika aparat membunuh rakyat.
Bagaimana mungkin rakyat percaya pada polisi yang hanya berani pada orang
kecil, tapi tunduk pada elit? Maka siklus kekerasan berulang: polisi memukul
rakyat, rakyat membalas mengejar polisi. Dan esok, entah siapa lagi yang jadi
korban.
DPR hanya sibuk meminta maaf. Tetapi permintaan maaf tidak cukup. Publik
menuntut pemecatan, sidang etik, hukuman nyata. Jika tidak, gedung-gedung
partai akan jadi sasaran amuk massa. Rakyat sudah lelah dengan drama permintaan
maaf yang hambar.
Saudaraku, sejarah 1998 memberi cermin. TNI waktu itu melakukan reformasi
besar-besaran. Mereka mundur dari politik, menata diri, merebut kembali
kepercayaan publik. Tetapi Polri justru semakin kuat, semakin tak tersentuh.
Kini hasilnya jelas: Polri jadi lembaga yang ditakuti, bukan dihormati.
Maka rakyat menuntut reformasi Polri. Kembalikan polisi di bawah kementerian
sipil. Jangan biarkan mereka jadi negara dalam negara. Karena ketika lembaga
penegak hukum justru jadi mesin ketakutan, negara kehilangan marwah. Dan rakyat
berhak menuntut perubahan.
Bung, situasi kini makin genting. Demonstrasi menyebar ke kota-kota besar.
Korban jatuh, rumah pejabat dijarah, aparat diburu. Daftar nama menteri dan
anggota DPR yang dianggap menyengsarakan rakyat beredar luas. Nama-nama itu
jadi simbol kebencian publik.
Arah kemarahan semakin jelas: menuju istana. Jika ini meledak, bukan hanya
DPR yang runtuh. Legitimasi presiden pun akan habis. Dan siapa yang
diuntungkan? Rezim lama, yang sejak awal menunggu momen untuk kembali berkuasa.
Apakah itu yang diinginkan Presiden? Apakah ia rela hidup dalam ilusi
politik, terbuai sorak sorai pidato, tetapi buta pada fakta bahwa rakyat sudah
muak? Bung, bangsa ini kini berada di persimpangan sejarah. Presiden bisa
tampil sebagai jenderal sejati—tegas, berani, berpihak pada rakyat. Atau ia
bisa hanyut dalam ilusi dan kehilangan segalanya.
Jika ia berani mencopot Kapolri, merombak kabinet, menyingkirkan geng Solo,
dan memutus penyanderaan rezim lama, mungkin legitimasi bisa diselamatkan.
Tetapi jika tidak? Jika ia terus hidup dalam lingkaran ilusi dan menutup
telinga dari jeritan rakyat? Maka kehancuran legitimasi hanyalah soal waktu.
Dan waktu, Bung, selalu berpihak pada rakyat yang bergerak.
Sejarah mengajarkan: tak ada istana yang cukup kuat, tak ada pagar yang
cukup tinggi, tak ada aparat yang cukup sangar untuk menghentikan gelombang
rakyat marah. Rakyat pernah menjatuhkan Soeharto. Rakyat bisa menjatuhkan siapa
saja yang kehilangan legitimasi moral. Pertanyaannya hanya satu: apakah
Presiden Prabowo berani mendengar rakyat, atau memilih menjadi catatan kelam
berikutnya dalam sejarah bangsa?