Pendidikan Tanpa Jiwa: Krisis Kejujuran dan Hilangnya Ruh Guru di Indonesia
Pendidikan Tanpa Jiwa: Krisis Kejujuran dan Hilangnya Ruh Guru di Indonesia
Pendidikan yang Kehilangan Diri
Ada
sesuatu yang ganjil dalam wajah pendidikan Indonesia hari ini. Kita memiliki
ribuan gedung sekolah baru, kurikulum yang terus berganti, dan jargon yang
menggema — mulai dari Merdeka Belajar hingga Transformasi Pendidikan
Nasional. Namun di balik segala kemajuan itu, ada kehampaan yang tak bisa
disembunyikan: pendidikan kita kehilangan jiwanya. Sistem tampak hidup, tetapi
semangat yang menyalakan makna pendidikan perlahan padam. Apa yang tersisa
hanyalah rutinitas belajar-mengajar yang kering tanpa sentuhan nilai
kemanusiaan.
Guru
masih ada, tetapi ruh keguruannya kian menipis. Murid masih belajar, tetapi
makna belajar semakin kabur di tengah hiruk-pikuk kompetisi. Kita hidup di
zaman ketika pendidikan lebih sibuk mencetak nilai ketimbang menumbuhkan
nurani; lebih gemar menilai kemampuan akademik daripada memupuk kejujuran dan
empati. Guru sering dipaksa berpacu dengan administrasi dan indikator kinerja,
sementara ruang batin untuk mendidik semakin menyempit. Akibatnya, hubungan manusiawi
antara guru dan murid perlahan tergantikan oleh relasi formal antara pengajar
dan peserta didik.
Sebagaimana
diingatkan oleh Ki Hajar Dewantara, pendidikan sejati bukanlah sekadar
pengajaran, melainkan “tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak.” Ia adalah
proses menumbuhkan manusia agar mampu memanusiakan dirinya dengan penuh
kesadaran dan tanggung jawab. Pendidikan yang berjiwa harus memerdekakan, bukan
mengekang atau menuntut tanpa arah. Namun kini, tuntunan itu sering tergantikan
oleh tekanan administratif, target kelulusan, dan sistem yang menuntut guru
bekerja sebagai mesin birokrasi. Maka, yang lahir bukan lagi insan pembelajar
sejati, melainkan generasi yang pandai menjawab soal tetapi asing terhadap
makna kehidupan.
Kontributor
Akang
Marta
Indramayutradisi