Cahaya di Alas Sinang: Legenda Pangeran Cakrabuana di Jawa Barat Bagian 10.
Perjalanan Pangeran Berlanjut
Setelah
menyebarkan hikmah dan kebaikan di pedukuhan Cempaka Mulia, Pangeran Cakrabuana
tidak tinggal lama. Meskipun ia mencintai pedukuhan itu dan telah menanam benih
iman di hati warga, tugasnya sebagai penyebar dakwah menuntutnya untuk terus
melangkah, menempuh jalan yang lebih luas, dan membawa cahaya kepada mereka
yang masih gelap hatinya. Namun, meskipun jasadnya meninggalkan pedukuhan,
jejaknya tetap hidup di hati setiap warga. Kisah kedatangannya, pertunjukan
wayang kulit, dan ajaran lembutnya menjadi bagian dari ingatan kolektif
pedukuhan—membentuk fondasi spiritual yang kokoh bagi generasi mendatang.
Pagi itu,
ketika embun masih menempel di daun, Cakrabuana menatap pedukuhan yang perlahan
tampak sibuk dengan aktivitasnya. Anak-anak membaca Al-Qur’an di halaman rumah,
pemuda membersihkan jalan setapak, dan para tetua menyiapkan sarapan sambil
berdiskusi tentang nilai-nilai keadilan dan kesabaran. Pangeran tersenyum,
hatinya penuh rasa damai. Ia tahu bahwa langkahnya meninggalkan bekas yang
abadi, bekal yang akan diteruskan oleh mereka yang tulus.
Sebelum
berangkat, Pangeran mengumpulkan beberapa pemuda dan murid-muridnya di tepi
hutan Sinang. “Ingatlah,” katanya dengan suara lembut tetapi penuh keyakinan,
“iman dan kebaikan harus terlihat dalam tindakan. Jangan hanya menuturkan
kata-kata, tetapi tunjukkan melalui perbuatan. Ingat bahwa Allah Maha Melihat,
dan setiap amal kecil pun akan mendapat balasan yang setimpal.”
Seorang
pemuda bernama Raka, yang sejak malam pertama pertunjukan wayang di Cempaka
Mulia telah mengalami keajaiban hutan, menatap Pangeran dengan mata berbinar.
“Pangeran,” tanyanya, “apakah kami bisa selalu merasakan bimbinganmu meski
engkau telah pergi?”
Cakrabuana
tersenyum, menepuk bahu Raka. “Jejakku akan selalu hidup dalam hati kalian.
Setiap kali kalian menghadapi kesulitan, ingatlah kisah wayang, nilai kebaikan,
dan ajaran yang telah kalian pelajari. Percayalah, Allah akan selalu memberi
jalan bagi orang yang tulus dan sabar.”
Perjalanan
Pangeran dimulai dengan langkah ringan di jalan setapak yang menembus hutan
Sinang. Pohon-pohon yang dulu dianggap angker kini tampak seperti teman yang
menyapa. Daun-daun berderai lembut, burung-burung berkicau merdu, dan cahaya
mentari pagi menembus celah pepohonan, menciptakan pemandangan yang seolah
mengiringi langkahnya. Hutan Sinang tetap menjadi saksi bisu dari perjalanan
Pangeran, menyimpan rahasia keajaiban yang pernah dialami warga pedukuhan
Cempaka Mulia.
Setiap
desa yang dilalui Pangeran memiliki tantangan sendiri. Beberapa pedukuhan masih
menganut tradisi lama, penuh keraguan terhadap ajaran baru. Namun, Pangeran
tidak pernah menggunakan kekerasan. Ia berjalan dengan lembut, berbicara dengan
hikmah, dan memperkenalkan nilai-nilai kebaikan melalui cerita, seni, dan
contoh nyata. Ia menyampaikan bahwa kebaikan tidak membutuhkan paksaan, bahwa
iman bukan sekadar kata-kata, tetapi perbuatan yang lahir dari hati tulus.
Di salah
satu pedukuhan, Pangeran bertemu dengan seorang wanita tua yang menolak
mendengar ajaran baru. Ia tetap setia pada adat leluhur dan memandang Islam
dengan curiga. Pangeran tidak marah atau memaksa. Ia duduk di samping wanita
itu, menatap matanya dengan lembut, dan mulai menceritakan kisah tentang
seorang pemuda yang berani menolong orang lain tanpa pamrih, menghadapi ujian
dan godaan dengan kesabaran, dan selalu menempatkan kebaikan sebagai panduan
hidup.
Wanita
tua itu awalnya skeptis, tetapi seiring cerita mengalir, hatinya mulai terbuka.
Ia merasakan kehangatan dan kedamaian yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Air mata mengalir perlahan di pipinya, dan ia mengangguk, menerima ajaran yang
diajarkan dengan lembut. “Aku mengerti sekarang,” katanya lirih, “bahwa adat
dan iman dapat berjalan beriringan, selama hati tetap tulus dan niat murni.”
Dalam
perjalanan itu, Pangeran juga menyaksikan keajaiban alam. Sungai yang mengalir
tenang menyejukkan hati, pepohonan yang rindang memberikan naungan, dan
binatang-binatang hutan tampak menghormati kehadirannya. Konon, roh-roh alam
selalu mengiringi langkah Pangeran, membuka jalan bagi mereka yang tulus
menyebarkan kebaikan. Cahaya lembut sering terlihat menembus celah daun, seakan
memberi sinyal perlindungan dan restu dari alam itu sendiri.
Malam
hari, Pangeran sering beristirahat di tepi sungai atau di bawah pohon besar,
merenungkan perjalanan dan hikmah yang ia sampaikan. Bintang-bintang di langit
tampak lebih terang, seolah menyinari jalannya dan memberi dorongan bahwa
setiap langkahnya adalah bagian dari rencana Ilahi. Ia menulis catatan tentang
setiap desa yang ia kunjungi, setiap jiwa yang terbuka terhadap ajarannya, dan
setiap perubahan yang ia saksikan dalam masyarakat. Catatan itu kelak menjadi
panduan bagi murid-muridnya untuk melanjutkan dakwah dengan hati tulus dan
tindakan nyata.
Sementara
itu, di pedukuhan yang ditinggalkannya, warga tetap merasakan kehadiran
Pangeran. Setiap kali ada kesulitan, mereka mengingat pertunjukan wayang,
cahaya di hutan Sinang, dan ajaran tentang kesabaran, ketulusan, dan kebaikan.
Raka, yang kini menjadi pemuda bijaksana, memimpin anak-anak dan pemuda untuk
meneruskan tradisi belajar, berdoa, dan menolong sesama. Setiap tindakan kecil
di pedukuhan menjadi bukti hidup bahwa jejak Pangeran tetap abadi.
Perjalanan
Pangeran membawa dampak luas. Pedukuhan yang semula tertutup dan waswas kini
terbuka untuk belajar, berdiskusi, dan mengamalkan nilai-nilai kebaikan. Setiap
desa yang disinggahi mengalami transformasi serupa: anak-anak belajar membaca
Al-Qur’an, pemuda mengasah keberanian dan ketulusan, dan tetua menanamkan nilai
keadilan dan kesabaran. Pangeran tidak hanya meninggalkan jejak fisik, tetapi
juga spiritual, yang terus hidup dalam hati manusia dan alam.
Di suatu
malam, ketika Pangeran beristirahat di kaki bukit, ia melihat cahaya keemasan
menembus hutan. Suara lembut terdengar di antara pepohonan, seperti bisikan
yang menuntun setiap pengembara dan dai untuk menyebarkan kebaikan tanpa
kekerasan. Pangeran tersenyum, menyadari bahwa alam dan manusia saling terikat,
dan bahwa kebaikan yang tulus selalu menemukan jalannya. Ia menulis dalam
catatan terakhir malam itu:
"Hati
yang tulus adalah cahaya yang menuntun jalan. Setiap jiwa yang mencari kebaikan
akan menemukan berkah, dan setiap perbuatan yang lahir dari ketulusan akan
mengubah dunia, sekecil apa pun langkahnya."
Waktu
terus berjalan, dan legenda tentang Pangeran Cakrabuana menyebar ke
pedukuhan-pedukuhan di seantero Jawa Barat. Cerita tentang dakwah damai,
pertunjukan wayang kulit, dan keajaiban hutan Sinang menjadi pedoman bagi
banyak orang. Mereka belajar bahwa penyebaran ilmu dan kebaikan tidak
memerlukan kekerasan, bahwa seni dapat menjadi sarana pengajaran, dan bahwa
alam serta manusia harus hidup selaras.
Pedukuhan
Cempaka Mulia tetap menjadi pusat inspirasi. Warga yang dulu ragu kini menjadi
teladan bagi desa-desa sekitar. Ritual tahunan pertunjukan wayang kulit masih
dilaksanakan, namun kini lebih dari sekadar hiburan—ia menjadi pendidikan
moral, pengingat akan keberkahan, dan simbol hubungan harmonis antara manusia,
alam, dan Sang Pencipta.
Perjalanan
Pangeran Cakrabuana memang berlanjut, menembus desa dan pedukuhan lainnya,
tetapi pengaruhnya tidak pernah hilang. Setiap langkah yang ia ambil
meninggalkan jejak kebaikan, setiap cerita yang ia sampaikan mengubah hati, dan
setiap pertolongan yang ia berikan menjadi inspirasi bagi mereka yang mengikuti
jejaknya. Bagi penduduk Cempaka Mulia, Pangeran tetap hidup dalam doa, cerita,
dan tindakan sehari-hari—sebuah cahaya abadi yang menuntun mereka menuju hidup
yang penuh berkah, iman, dan ketulusan.
Hutan
Sinang pun tetap menjadi saksi bisu perjalanan itu. Pepohonan yang rindang
terus berbisik lembut, menuntun para pengembara dan dai untuk menyebarkan
kebaikan tanpa kekerasan, membuka jalan bagi siapa pun yang tulus mencari ilmu
dan hikmah. Dan di setiap desa yang dilewati Pangeran, rakyat belajar bahwa
iman, kebaikan, dan kesabaran adalah cahaya yang akan selalu menuntun jalan,
selamanya.
Konten Creator
Akang Marta
Indramayutradisi.com