Ads

Cahaya di Alas Sinang: Legenda Pangeran Cakrabuana di Jawa Barat Bagian 4.

 

Persiapan dan Pembuatan Wayang



Sore itu, langit di atas pedukuhan Cempaka Mulia perlahan memerah, mengaburkan batas antara siang dan malam. Bayangan pepohonan hutan Sinang semakin memanjang, dan udara dipenuhi aroma tanah basah serta bunga cempaka yang mekar di tepi jalan setapak. Di tengah perempatan Bugis Bugiana, Pangeran Cakrabuana memusatkan perhatian pada tugasnya: menyiapkan wayang kulit yang akan menjadi media dakwahnya malam itu.

Dengan tangan cekatan, ia membuka lembaran kulit banteng yang telah dikeringkan sebelumnya. Setiap potongan kulit memancarkan aroma khas yang hangat, seolah menyimpan energi hidup dari hewan yang telah berkorban. Pangeran mengamati setiap helai dengan seksama, memastikan bahwa tidak ada cacat yang dapat mengganggu bentuk akhir tokoh wayang. Mata dan tangannya bekerja serempak, mengukir dan menatah dengan ritme yang nyaris seperti tarian.

Setiap tokoh wayang dibuat dengan karakter unik dan makna yang mendalam. Ada raja bijaksana yang wajahnya menampilkan ketenangan dan ketegasan; pemuda pemberani dengan mata bersinar penuh semangat; putri lembut yang menggambarkan kelembutan hati dan kasih sayang; serta makhluk halus bijak yang menuntun manusia untuk mengenali kebenaran. Pangeran berhati-hati, karena baginya, setiap lekuk, setiap garis, bahkan setiap lubang kecil memiliki simbolisme tersendiri.

“Wayang ini bukan sekadar boneka,” katanya kepada murid-murid yang membantunya menyiapkan peralatan. Suaranya tenang, penuh wibawa, tetapi lembut seperti aliran sungai yang menembus heningnya sore. “Ia adalah cermin kehidupan. Setiap gerakan, setiap dialog akan mengajarkan kebaikan, keberanian, dan ketulusan. Ingat, dakwah yang kita bawa bukan melalui paksaan, tetapi melalui hati yang tersentuh. Wayang akan menjadi jembatan antara nilai kebaikan dan hati manusia.”

Murid-muridnya mengangguk, kagum sekaligus terpesona oleh ketelitian sang Pangeran. Mereka terbiasa melihat orang-orang mengukir, tetapi cara Pangeran bekerja berbeda. Ia menyatukan teknik dengan filosofi, keterampilan dengan pesan moral. Setiap potongan kulit yang diukir bukan sekadar bentuk, tetapi jiwa dari karakter yang akan hidup di layar malam itu.

Sementara itu, beberapa murid menyiapkan layar kulit yang akan menjadi panggung bayangan. Layar itu dibentangkan dengan hati-hati, dipastikan rata dan kuat, agar bayangan wayang tampak hidup dan jelas bagi penonton. Di samping layar, lampu minyak disiapkan, diterangi dengan sumbu yang telah diolesi minyak khusus, menghasilkan cahaya hangat yang menembus kulit, menciptakan bayangan yang menari dengan gerakan natural.

Gamelan kecil juga disiapkan. Suara gong dan kendang akan menjadi pengiring gerakan wayang, membentuk irama yang mengalir dan menyatu dengan dialog. Pangeran memastikan bahwa setiap nada selaras dengan gerakan, sehingga pertunjukan tidak sekadar visual, tetapi pengalaman multisensorial yang menyentuh pendengar, penonton, dan bahkan alam sekitar.

Hutan Sinang yang gelap tampak menundukkan diri. Angin yang sebelumnya berdesir menjadi lembut, seolah memberi ruang bagi cahaya dan bayangan untuk menari. Burung-burung yang mulai beristirahat di ranting pepohonan tampak hening, sementara hewan-hewan kecil menatap dari kejauhan, memberi ruang bagi persiapan yang sakral itu. Alam seolah turut menjadi saksi dari persiapan ini, memberikan berkah dan ketenangan yang menyelimuti perempatan Bugis Bugiana.

Pangeran juga mengajarkan murid-muridnya pentingnya kesabaran dan ketelitian. “Jangan terburu-buru,” katanya sambil menatap seorang murid yang mencoba meniru gerakan tangannya. “Gerakan yang tergesa akan merusak pesan. Dalam dakwah, seperti dalam seni, ketulusan lah yang menembus hati, bukan kecepatan atau kemegahan.”

Selama beberapa jam, mereka bekerja tanpa henti. Potongan-potongan kulit diukir, ditepuk, dan dibentuk menjadi tokoh-tokoh yang memancarkan aura kehidupan. Cahaya senja berangsur gelap, digantikan bayangan lampu minyak yang lembut. Murid-murid yang awalnya ragu kini mulai memahami, bahwa proses ini bukan sekadar membuat boneka, tetapi membentuk jembatan spiritual yang akan membuka hati manusia kepada kebaikan dan cahaya.

Di sela-sela pekerjaan, Pangeran sesekali menatap hutan di sekeliling. Ia merasakan energi yang berbeda dari pohon-pohon besar, dari sungai yang mengalir di dekatnya, bahkan dari tanah yang lembab. “Setiap elemen alam ini memiliki jiwa,” katanya kepada murid yang mendengarkan dengan seksama. “Jika kita bekerja dengan hati yang murni, alam akan mendukung kita. Cahaya yang akan kita bawa malam ini bukan hanya untuk manusia, tetapi juga untuk seluruh kehidupan di sekitar kita.”

Beberapa murid bertanya tentang makna tokoh-tokoh yang diukir. Pangeran menjelaskan dengan lembut, “Raja bijaksana mengajarkan keadilan tanpa menindas. Pemuda pemberani menunjukkan bahwa keberanian sejati bukan melawan manusia, tetapi melawan hawa nafsu dan ketakutan dalam diri sendiri. Putri lembut mengajarkan kasih sayang dan kesabaran. Makhluk halus bijak mengingatkan kita bahwa ilmu dan kebijaksanaan dapat menuntun manusia jika diterima dengan hati terbuka.”

Ketika malam mulai turun sepenuhnya, persiapan mencapai puncaknya. Wayang-wayang telah siap, layar telah tertata, lampu minyak menyala lembut, dan gamelan telah diuji suaranya. Pangeran menatap hasil kerja mereka dengan senyum tenang. “Segala sesuatu telah siap. Sekarang, tugas kita adalah membiarkan pertunjukan berbicara. Biarkan hati penonton membuka diri, biarkan cahaya dan bayangan menari, dan biarkan ilmu serta kebaikan menyentuh jiwa mereka.”

Murid-murid menyadari bahwa malam itu bukan sekadar pertunjukan. Mereka sedang menyaksikan dan berpartisipasi dalam proses transformasi—baik bagi warga pedukuhan maupun bagi diri mereka sendiri. Mereka belajar bahwa seni dan dakwah adalah satu kesatuan, bahwa pesan moral dapat disampaikan dengan cara yang indah dan lembut, dan bahwa hati manusia terbuka oleh pengalaman, bukan paksaan.

Sementara itu, di pedukuhan, warga mulai berkumpul di perempatan Bugis Bugiana. Ada rasa penasaran yang menggantung di udara, bercampur dengan rasa hormat dan sedikit ketakutan. Beberapa tetua mengingatkan warga untuk bersiap menyambut tamu dengan hati yang bersih. Anak-anak menatap dengan mata berbinar, ingin segera menyaksikan bayangan dan mendengar gamelan yang konon menakjubkan.

Pangeran sendiri menatap warga yang mulai berkumpul, merasakan energi mereka, dan menyesuaikan ritme persiapannya. Ia tahu bahwa saatnya untuk menghubungkan hati dan pikiran manusia melalui seni sudah dekat. Cahaya lampu minyak yang memantul pada kulit yang diukir akan menjadi jembatan pertama antara dirinya, ilmu yang dibawanya, dan warga pedukuhan yang akan menonton malam ini.

Dengan langkah tenang, ia menyiapkan diri untuk menjadi dalang. Setiap gerakan, setiap suara, setiap bayangan akan dirangkai menjadi satu kesatuan yang indah dan penuh makna. Hutan Sinang yang gelap tampak menundukkan diri, angin malam berhenti sesaat, seolah memberi izin bagi pertunjukan yang akan mengubah malam itu menjadi sakral dan bersejarah.

Malam itu, perempatan Bugis Bugiana menjadi saksi persiapan yang penuh kesabaran, ketelitian, dan ketulusan. Wayang-wayang kulit yang diukir dengan penuh cinta akan segera hidup, menyampaikan pesan moral, membuka hati warga, dan menanamkan cahaya kebaikan yang akan terus melekat di pedukuhan Cempaka Mulia. Dan Pangeran Cakrabuana, dengan tangan cekatan, hati yang murni, dan ilmu yang bijaksana, telah menyiapkan media yang bukan hanya menghibur, tetapi juga mendidik dan memberkahi setiap jiwa yang hadir.

Konten Creator

Akang Marta

Indramayutradisi.com

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel