Ads

Cahaya di Alas Sinang: Legenda Pangeran Cakrabuana di Jawa Barat Bagian 2.

 

Pedukuhan Cempaka Mulia



Pedukuhan Cempaka Mulia adalah perkampungan kecil yang terletak di kaki hutan Sinang yang lebat dan misterius, tempat pepohonan menjulang tinggi seolah menutupi langit, dan kabut pagi menebar aroma tanah basah yang khas. Hutan itu bukan hanya sekadar kumpulan pohon; bagi warga, ia adalah dunia lain, rumah bagi roh leluhur, makhluk halus, dan penunggu yang menjaga keseimbangan alam. Setiap dahan yang bergoyang, setiap daun yang jatuh, bahkan setiap hembusan angin dianggap membawa pesan dari dunia lain.

Warga pedukuhan hidup dalam tradisi Kesanghyangan, sebuah keyakinan yang menempatkan alam dan leluhur sebagai bagian penting dalam kehidupan sehari-hari. Mereka percaya bahwa roh-roh nenek moyang tidak pernah meninggalkan bumi ini, dan bahwa menjaga hubungan baik dengan alam akan membawa kesejahteraan serta menghindarkan mereka dari bencana. Pohon-pohon besar dianggap sakral; sungai diyakini dihuni oleh roh penjaga yang dapat memberi atau menarik berkah; dan setiap peristiwa alam selalu dihubungkan dengan tanda-tanda dari para leluhur.

Pagi di Cempaka Mulia selalu dimulai dengan ritual kecil. Anak-anak, yang masih polos, diajari menghormati alam dengan menyiram pohon, membersihkan halaman, dan membisikkan doa-doa pendek kepada roh yang menjaga desa. Orang dewasa menyiapkan sesaji, sekadar kue, buah, atau bunga, sebagai tanda syukur dan permohonan keselamatan. Setiap tindakan mereka sarat makna, seolah seluruh kehidupan pedukuhan ini adalah tarian yang mengikuti irama alam dan sejarah leluhur.

Meskipun penduduknya ramah kepada sesama manusia, hati mereka tetap tertutup untuk pengaruh baru. Setiap kedatangan orang asing selalu menimbulkan rasa curiga. Mereka percaya bahwa alam lebih kuat daripada manusia, dan bahwa mengikuti tradisi adalah cara terbaik untuk menjaga ketentraman. Mereka takut bahwa ajaran baru bisa mengganggu keseimbangan yang sudah berlangsung berabad-abad.

Namun, kabar tentang kedatangan Pangeran Cakrabuana mulai beredar, dan pedukuhan yang biasanya tenang itu menjadi riuh. Dari mulut ke mulut, terdengar desas-desus tentang seorang pemuda yang datang dari Pajajaran, cucu Prabu Siliwangi, seorang bangsawan bijaksana yang membawa ajaran baru. Kata-kata itu memunculkan rasa penasaran sekaligus waswas di hati warga.

“Siapakah ia yang berani memasuki hutan Sinang tanpa takut pada roh-roh penjaganya?” tanya seorang tetua pedukuhan, seorang lelaki tua dengan rambut memutih dan kulit yang telah terbakar sinar matahari sepanjang hidupnya, sambil menatap pepohonan yang bergoyang ditiup angin.

Seorang pemuda menjawab dengan suara bergetar setengah kagum, “Katanya ia cucu Prabu Siliwangi. Orangnya bijaksana dan tidak membawa senjata. Ia menyebarkan ajaran yang katanya membawa berkah bagi yang mau mendengarnya.”

Tetua itu mengangguk perlahan, meski masih ragu. Ia tahu bahwa pengaruh baru selalu membawa perubahan, dan perubahan tidak selalu diterima dengan mudah. Ia mengingat masa-masa ketika leluhur mereka sendiri menghadapi orang-orang asing yang datang dengan niat baik maupun jahat. Ia tahu, setiap ajaran baru bisa mengubah tatanan hidup pedukuhan, bisa membuka pintu keberkahan, tapi juga bisa membawa konflik bila hati manusia tidak siap.

Sehari-hari, kehidupan pedukuhan berjalan sederhana. Rumah-rumah dari kayu dan bambu tersusun rapi di antara hamparan sawah yang hijau. Sungai kecil mengalir di tengah desa, menjadi sumber air sekaligus saksi bagi cerita-cerita masa lalu. Di sisi hutan, beberapa warga menebang kayu untuk membangun rumah atau membuat alat pertanian, selalu dengan hormat agar tidak mengganggu roh-roh yang menjaga hutan. Anak-anak berlarian di antara pepohonan dan sawah, belajar menghargai alam sejak dini. Setiap langkah mereka diawasi oleh mata-mata tua yang selalu memperhatikan keseimbangan antara manusia dan alam.

Seiring berlalunya hari, rasa penasaran terhadap Pangeran semakin kuat. Orang-orang mulai menanyakan satu sama lain tentang siapa sebenarnya Pangeran Cakrabuana dan apa tujuan kedatangannya. Ada yang menganggap ia hanya pemuda kaya dari kerajaan lain yang ingin mencari ketenaran, tetapi ada pula yang merasa bahwa aura kehadirannya berbeda. Mereka merasakan ketenangan setiap kali mendengar kabar tentang pemuda itu. Bahkan binatang-binatang di sekitar desa tampak tidak gelisah, seolah mengetahui bahwa kedatangan Pangeran membawa niat baik.

Di tengah perbincangan warga, seorang wanita tua muncul dari rumahnya. Ia dikenal sebagai dukun kecil desa, seorang yang dihormati karena pengetahuannya tentang alam dan roh. Suaranya lembut, tetapi setiap kata-katanya selalu didengar dengan penuh perhatian. “Jangan terlalu cepat menilai,” katanya. “Roh yang baik dan ilmu yang murni akan terlihat dari perbuatan, bukan dari kata-kata. Jika ia datang membawa kebaikan, kita akan mengetahuinya.”

Kata-kata wanita itu menenangkan warga, tetapi rasa penasaran tetap ada. Malam menjelang, dan angin malam membawa aroma bunga cempaka yang mekar di tepi hutan. Cahaya bulan menembus celah pepohonan, menciptakan bayangan yang menari di tanah. Semua itu menambah nuansa magis pedukuhan, seolah alam sendiri sedang bersiap menyambut kedatangan sosok yang konon membawa cahaya.

Hari berikutnya, beberapa pemuda desa memutuskan untuk mengintip jalur hutan yang diyakini akan dilalui Pangeran. Mereka menyelinap di antara pepohonan, hati berdebar antara takut dan penasaran. Mereka melihat tanah yang tampak lebih lembut dan pepohonan seakan menunduk, memberi jalan. Salah satu pemuda berseru pelan, “Rasanya hutan ini berbeda malam ini. Seperti ada yang memandu langkah seseorang.”

Ketua desa, yang sejak awal merasa ragu, memutuskan untuk mengadakan pertemuan kecil. “Kita harus bersiap, tetapi jangan takut,” katanya. “Jika ia membawa kebaikan, kita harus belajar menerimanya. Tetapi jika tidak, kita tetap menjaga desa dan tradisi kita.” Kata-kata ini menenangkan warga, dan rasa takut perlahan berubah menjadi rasa ingin tahu yang tulus.

Hari demi hari, warga Cempaka Mulia mempersiapkan diri. Mereka membersihkan jalan setapak, menyiapkan tempat di perempatan utama, dan menyiapkan sesaji sederhana di beberapa titik sebagai tanda penghormatan bagi tamu yang datang. Anak-anak belajar doa-doa sederhana, dan orang dewasa berdiskusi tentang cara terbaik menyambut Pangeran. Semua persiapan itu dilakukan tanpa rasa panik, melainkan dengan hati yang terbuka, berharap bahwa kehadiran Pangeran Cakrabuana akan membawa berkah bagi seluruh pedukuhan.

Dan begitulah, pedukuhan Cempaka Mulia berdiri di antara hutan Sinang yang lebat dan pegunungan yang sejuk, sebuah komunitas yang menjaga tradisi leluhur dengan penuh disiplin, tetapi juga memiliki rasa penasaran yang perlahan tumbuh terhadap cahaya baru yang akan memasuki kehidupan mereka. Mereka siap menyambut kedatangan seorang pemuda yang konon bukan hanya bangsawan, tetapi juga penyebar kebaikan dan cahaya, seorang pangeran yang langkahnya menapaki bumi dengan penuh hikmah.

Konten Creator

Akang Marta

Indramayutradisi.com

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel