Ads

Cahaya di Alas Sinang: Legenda Pangeran Cakrabuana di Jawa Barat Bagian 7.

 

Dialog dengan Warga



Setelah pertunjukan wayang malam itu berakhir, keheningan menyelimuti perempatan Bugis Bugiana. Lampu-lampu minyak yang diterangi sebelumnya kini redup, hanya tersisa cahaya remang yang menari-nari di antara pepohonan. Warga pedukuhan Cempaka Mulia duduk di tanah, beberapa masih menatap layar yang kini kosong, merenungi apa yang baru saja mereka saksikan. Bayangan wayang dan suara gamelan malam sebelumnya seolah masih bergema di hati mereka.

Pangeran Cakrabuana berdiri di tengah lapangan, wajahnya berseri-seri, menyinari warga dengan ketenangan yang lembut. Ia menarik napas panjang, menatap mata setiap orang, dan memulai percakapan yang akan menjadi tonggak perubahan di pedukuhan itu.

“Wahai saudara-saudaraku,” ucapnya dengan suara yang tenang, meresap ke dalam hati setiap pendengar, “Allah Maha Esa. Ia menciptakan alam ini dengan penuh kasih, menciptakan pohon, sungai, hutan, dan setiap makhluk hidup dengan tujuan dan hikmah. Barang siapa menempuh jalan kebaikan dan ketulusan, ia akan memperoleh berkah dan perlindungan-Nya.”

Ucapan Pangeran tidak terdengar seperti ceramah formal. Kata-kata itu mengalir seperti aliran sungai di pagi hari, tenang namun kuat, menyentuh hati tanpa memaksa. Warga mulai mengangguk, beberapa menundukkan kepala, merasakan ketenangan yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya.

Seorang tetua pedukuhan, yang dikenal bijaksana namun skeptis terhadap pengaruh luar, akhirnya memberanikan diri untuk bertanya. Suaranya berat dan sedikit gemetar, karena pertanyaan ini mencerminkan ketakutannya terhadap perubahan.

“Apakah kami harus meninggalkan adat kami, Pangeran?” tanyanya. “Kami telah hidup dengan tradisi Kesanghyangan selama bertahun-tahun. Pohon besar kami anggap sakral, sungai adalah rumah roh, dan setiap peristiwa alam selalu dihubungkan dengan tanda dari leluhur. Apakah semua itu harus ditinggalkan demi ajaran baru ini?”

Pangeran tersenyum lembut, menepuk bahu tetua itu dengan penuh hormat. Suaranya tetap tenang, mengalir seperti irama gamelan malam sebelumnya.

“Tidak, adatmu tetap dihormati,” jawabnya. “Tradisi yang kalian pelihara adalah warisan leluhur, mengajarkan kalian untuk menghargai alam dan kehidupan. Namun, selipkan nilai-nilai kebaikan dalam setiap perbuatan. Hargai leluhurmu, tetapi jangan lupakan Allah yang Maha Pencipta. Itulah jalan yang akan membawa harmoni bagi kalian dan keturunan kalian.”

Jawaban itu menimbulkan keheningan sejenak. Warga merenungkan kata-kata Pangeran, merasakan bahwa dakwah yang ia bawa tidak menuntut penghapusan tradisi, tetapi mengajak mereka memahami makna yang lebih dalam dari kehidupan itu sendiri. Mereka mulai menyadari bahwa perubahan bukanlah ancaman, melainkan peluang untuk memperkaya kehidupan mereka.

Seorang ibu yang duduk di belakang, memeluk anaknya, mengangkat tangan dan bertanya dengan suara lembut, “Bagaimana kami mengajarkan anak-anak kami tentang hal ini? Mereka telah terbiasa dengan cerita leluhur, dengan doa-doa lama. Apakah kami harus menggantinya dengan doa-doa baru?”

Pangeran menundukkan kepala, tersenyum, dan menjawab, “Cerita leluhur tetap menjadi pondasi, ibu. Biarkan anak-anak mendengar kisah leluhur mereka, karena itu membentuk identitas mereka. Namun, ajarkan pula tentang Allah, tentang kebaikan, kejujuran, dan kasih sayang kepada sesama. Dua hal itu tidak bertentangan. Mereka saling melengkapi, membimbing anak-anak menjadi pribadi yang bijaksana dan mulia.”

Warga mulai berbisik satu sama lain, berbagi pemikiran, bertukar pandangan, dan menilai sendiri apa yang telah mereka saksikan malam sebelumnya. Beberapa pemuda merasa tersentuh oleh pesan tentang keberanian dan ketulusan, sementara tetua mulai memahami bahwa ajaran baru ini dapat selaras dengan kehidupan mereka yang sudah dipenuhi tradisi.

Pangeran kemudian mengajak mereka untuk berdiskusi lebih lanjut. Ia tidak duduk di atas mimbar atau bangku tinggi, tetapi di tanah bersama warga, sejajar, agar semua merasa nyaman dan setara. Ia membuka ruang dialog, membiarkan warga mengungkapkan keraguan, ketakutan, dan harapan mereka.

Seorang pemuda berani mengangkat tangan. “Pangeran, bagaimana kami tahu bahwa jalan yang engkau tunjukkan benar? Banyak ajaran datang dan pergi. Bagaimana kami membedakan yang membawa berkah dan yang menyesatkan?”

Pangeran menatap mata pemuda itu dengan lembut, menepuk pundaknya, dan berkata, “Wahai pemuda, jalan yang benar adalah jalan yang membawa kebaikan, keberanian, ketulusan, dan damai bagi hati manusia. Jika ajaran membuatmu menjadi pribadi yang lebih baik, menjaga hubunganmu dengan orang lain, dan meningkatkan kesadaranmu akan Allah, maka itulah jalan yang benar. Percayalah, Allah tidak menilai dari ritual semata, tetapi dari hati yang tulus dan tindakan yang baik.”

Seorang wanita tua lainnya, yang diam sejak awal percakapan, akhirnya berbicara. Suaranya lembut tetapi jelas, “Kami terbiasa hidup dalam ketakutan terhadap roh-roh hutan. Bagaimana kami harus menyikapi hal itu sekarang? Apakah semua itu salah?”

Pangeran tersenyum penuh pengertian. “Roh-roh penjaga hutan adalah bagian dari kepercayaan leluhur, dan kalian boleh tetap menghormatinya sebagai simbol rasa hormat terhadap alam. Namun, ingatlah bahwa yang memberi berkah sejati adalah Allah SWT. Hormatilah alam, hargai tradisi, tetapi jangan lupa siapa yang menciptakan segala sesuatu. Dengan cara ini, kalian bisa hidup selaras dengan alam dan tetap memiliki iman yang kuat.”

Percakapan itu berlangsung hingga larut malam. Warga mulai mengajukan pertanyaan tentang kehidupan sehari-hari: tentang bertani, berdagang, menolong tetangga, dan mendidik anak. Pangeran menjawab setiap pertanyaan dengan sabar, memberikan contoh konkret, dan mengaitkannya dengan nilai-nilai Islam yang sederhana namun mendalam. Ia menekankan bahwa iman tidak hanya ada di masjid atau saat doa, tetapi dalam setiap perbuatan, setiap langkah, dan setiap interaksi dengan sesama makhluk.

Seiring malam semakin larut, suasana menjadi hangat dan penuh kekeluargaan. Warga mulai memahami bahwa dakwah Pangeran Cakrabuana bukanlah paksaan, tetapi ajakan untuk melihat dunia dengan hati yang terbuka, mengamalkan kebaikan, dan hidup selaras dengan nilai-nilai luhur.

Pangeran kemudian mengajak warga untuk berdiri bersama dan mengucapkan doa sederhana. Ia memimpin dengan suara lembut, menuntun mereka untuk mengucapkan syahadat dan doa syukur atas kehidupan, keluarga, dan alam sekitar. Anak-anak menirukan dengan penuh semangat, pemuda menundukkan kepala dengan khusyuk, dan tetua tersenyum, merasakan kedamaian yang menyelimuti hati mereka.

Setelah doa, Pangeran menutup percakapan dengan pesan yang menyentuh hati semua warga:
“Ketahuilah, wahai saudara-saudaraku, iman yang tumbuh dari ketulusan hati akan membawa kedamaian dalam diri, kekuatan dalam tindakan, dan berkah dalam kehidupan. Jangan takut menghadapi perubahan, karena perubahan yang datang melalui hati yang terbuka adalah jalan menuju cahaya dan kebijaksanaan. Hormati tradisi, hargai leluhur, tetapi selalu ingat Allah yang Maha Pencipta. Dengan cara ini, kalian akan hidup harmonis, bersama alam, bersama sesama, dan bersama generasi yang akan datang.”

Warga pedukuhan Cempaka Mulia merasakan sesuatu yang baru: rasa aman, kedamaian, dan harapan. Mereka mulai memahami bahwa ajaran Pangeran Cakrabuana bukan untuk menggantikan, tetapi untuk menyempurnakan, memberi makna lebih dalam, dan menuntun mereka menuju kehidupan yang lebih baik.

Dialog malam itu menjadi titik balik bagi pedukuhan. Setiap kata yang diucapkan, setiap jawaban yang diberikan, menembus hati mereka lebih dalam daripada pertunjukan wayang sebelumnya. Warga menyadari bahwa nilai kebaikan, kesabaran, dan ketulusan bisa hidup berdampingan dengan tradisi mereka, dan bahwa iman dapat diterima tanpa harus menghapus akar budaya.

Anak-anak berlari pulang dengan wajah berbinar, menirukan kata-kata Pangeran, sementara pemuda dan tetua berdiskusi ringan di jalan setapak. Suasana pedukuhan dipenuhi dengan energi baru, rasa ingin tahu, dan semangat belajar. Mereka mulai menyadari bahwa dakwah yang baik adalah dakwah yang lembut, bijaksana, dan mampu menyentuh hati.

Pangeran Cakrabuana menyaksikan semua itu dengan hati puas. Ia tahu bahwa pekerjaan dakwahnya tidak selesai dalam satu malam, tetapi benih yang ditanam telah menemukan tanah yang subur. Persimpangan Bugis Bugiana, yang menjadi saksi pertunjukan wayang, kini juga menjadi saksi awal perubahan hati warga—perubahan yang lahir dari dialog, dari ketulusan, dan dari cinta yang dibawa oleh seorang pemuda dari Pajajaran.

Malam itu, pedukuhan Cempaka Mulia tidur dengan hati yang lebih ringan. Angin malam membawa aroma cempaka dan tanah basah, seolah alam sendiri ikut merestui perjalanan iman yang baru dimulai. Dan di tengah hening itu, Pangeran Cakrabuana tetap duduk sejenak, menatap bintang-bintang, meresapi kedamaian yang telah lahir di pedukuhan kecil itu, yakin bahwa cahaya yang ia tanam akan terus bersinar untuk generasi yang akan datang.

Dialog malam itu bukan sekadar percakapan biasa. Ia menjadi legenda, kenangan yang akan diceritakan turun-temurun: tentang seorang pangeran bijaksana yang mengajarkan iman melalui seni, ketulusan, dan kata-kata yang menyentuh hati. Ia mengajarkan bahwa perubahan tidak harus menakutkan, bahwa ajaran baru dapat selaras dengan tradisi, dan bahwa iman yang diterima dengan hati terbuka akan membawa berkah abadi bagi siapa saja yang menyambutnya.

Sejak malam itu, pedukuhan Cempaka Mulia perlahan berubah. Nilai-nilai kejujuran, kesabaran, kebaikan, dan keberanian mulai hidup di setiap rumah. Anak-anak belajar doa dan nilai moral melalui cerita, pemuda mencontoh perilaku baik dalam kehidupan sehari-hari, dan tetua menjadi penopang moral yang bijaksana. Tradisi lama tetap dihormati, tetapi kini berpadu dengan pemahaman baru tentang iman, menciptakan kehidupan yang harmonis, damai, dan penuh berkah.

Dialog dengan warga malam itu menjadi fondasi bagi pertumbuhan pedukuhan Cempaka Mulia. Ia menunjukkan bahwa dakwah sejati adalah dakwah yang mampu menyentuh hati, membimbing manusia untuk menjadi lebih baik, dan membuka pintu cahaya yang selama ini tersembunyi dalam kehidupan sehari-hari. Pangeran Cakrabuana telah menanam benih iman, dan benih itu kini tumbuh subur, berakar kuat di hati setiap warga, menyinari pedukuhan kecil ini dengan cahaya kebaikan dan ketulusan yang abadi.

Konten Creator

Akang Marta

Indramayutradisi.com

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel