Suleiman The Magnificent: Simbol Zaman Keemasan Kekaisaran Utsmaniyah
Kenapa Suleiman Disebut Yang Agung?
Nama
Sulaiman atau Suleiman the Magnificent selalu muncul dalam buku sejarah Eropa
dan dunia, bukan sekadar sebagai penakluk, tetapi sebagai simbol zaman keemasan
Kekaisaran Utsmaniyah. Julukan “the Magnificent” tidak diberikan secara
sembarangan; ia lahir dari kombinasi keberhasilan militer, kepemimpinan
politik, pencapaian hukum, dan dukungan budaya yang menandai masa
pemerintahannya. Suleiman berhasil menaklukkan wilayah luas, menata
pemerintahan, membangun hukum, dan memajukan seni serta ilmu pengetahuan
sehingga namanya dihormati dan ditakuti di seluruh Eropa.
Tahun
1520 menandai awal era baru di Kekaisaran Utsmaniyah. Seorang pangeran berusia
26 tahun, Sulaiman bin Selim, naik tahta menggantikan ayahnya yang dikenal
keras dan kejam. Selim, penakluk Mamluk di Mesir, mewariskan kerajaan yang luas
tetapi penuh tantangan. Di tangan Sulaiman, warisan itu tidak hanya
dipertahankan, tetapi diperluas, diatur dengan tertib, dihias dengan kemegahan,
dan membuatnya disegani oleh kawan maupun lawan. Keberhasilannya dalam
menaklukkan wilayah membuat Eropa merasa terancam sekaligus kagum.
Di medan
perang, Sulaiman dikenal bagaikan badai. Pada 1521, Beograd jatuh ke tangan
pasukannya. Benteng yang sebelumnya menjadi perisai Eropa Timur roboh di bawah
meriamnya. Setahun kemudian, Pulau Rhodes, markas Kesatria Hospitaler, ditaklukkan;
para kesatria terkenal itu harus angkat kaki dari Laut Aegea. Di Hungaria,
pasukan Sulaiman menggulung pasukan Raja Lajos II di Pertempuran Mohács.
Pertempuran singkat ini mengubah peta politik Eropa: Hongaria pecah, sebagian
besar jatuh ke tangan Utsmaniyah, sementara sisa-sisanya tunduk pada Habsburg.
Bahkan gerbang Vienna, jantung Eropa Tengah, pernah didesak pasukan Sulaiman
pada 1529. Gereja-gereja membunyikan lonceng tanda bahaya, dan rakyat Eropa
berdoa agar pasukan bulan sabit tidak menembus lebih jauh ke jantung benua.
Keberhasilan
Sulaiman tidak semata-mata karena pasukan besar, tetapi karena ia memimpin
langsung di barisan depan. Ia berkemah bersama Janissari, pasukan elit yang
setia padanya. Janissari direkrut sejak anak-anak, dididik keras, dan setia
hanya pada sultan. Disiplin mereka membuat pasukan ini efektif menghadapi
tentara Eropa yang masih mengandalkan kesatria berkuda. Di medan laut, Sulaiman
memiliki Laksamana Khairuddin Barbarossa, yang awalnya bajak laut, namun di
tangan Sulaiman berubah menjadi panglima angkatan laut tangguh. Armada
Utsmaniyah menguasai Mediterania, mengendalikan jalur dagang, menyergap kapal
musuh, dan mengalirkan kekayaan ke Istanbul.
Meski
Eropa takut, mereka juga kagum pada Sulaiman karena ia bukan sekadar penakluk.
Ia adalah pembangun dan pelindung budaya. Di Istanbul, ia menunjuk arsitek
jenius Mimar Sinan untuk membangun masjid megah, termasuk Masjid Süleymaniye
yang hingga kini masih berdiri dengan kubah menjulang, pilar kokoh, dan halaman
luas. Masjid ini menjadi simbol seni dan arsitektur yang tumbuh di bawah
bayang-bayang pedang. Pasar-pasar ramai dipenuhi pedagang dari Eropa, Arab,
Persia, dan India, menjadikan Istanbul pusat perdagangan dunia.
Di balik
baju zirah, Sulaiman adalah penyair. Beratus bait puisi lahir dari tangannya,
mengangkat tema cinta, keadilan, kematian, dan keabadian. Ia juga menjadi
patron bagi seniman, ulama, dan ilmuwan. Madrasah berkembang pesat, seni ukir,
kaligrafi, dan musik mendapatkan dukungan penuh, menunjukkan sisi lembut di
balik sosok penakluk yang tegas.
Sulaiman
juga terkenal sebagai Kanuni, sang pengatur hukum. Ia menyadari bahwa
kekaisaran luas membutuhkan hukum tertulis yang jelas. Selain syariah, ia
menyusun kanun—hukum sipil yang mengatur pajak, pertanian, kriminalitas, hak
waris, dan birokrasi tanah. Petani tahu berapa pajak yang harus dibayar,
pedagang merasa aman berdagang, dan pejabat takut korupsi karena hukum berlaku
untuk semua, tanpa pandang pangkat. Tegaknya hukum ini membuat Sulaiman harus
mengambil keputusan pahit, termasuk menghukum mati putranya sendiri, Pangeran
Mustafa, demi menjaga stabilitas dan supremasi hukum.
Sejarawan
Barat mencatat prestasi ini dengan kagum, menyebutnya “the Magnificent.” Nama
itu mencerminkan keseimbangan antara pedang dan pena, antara penaklukan dan
pembangunan. Di bawah kepemimpinannya, Kekaisaran Utsmaniyah mencapai puncak
kejayaan: wilayah terluas, ekonomi kuat, laut dikuasai, hukum tertib, dan
budaya berkembang.
Pelajaran
dari Sulaiman relevan hingga kini. Kejayaan tidak lahir hanya dari perang,
tetapi juga dari ilmu, hukum, seni, dan kepemimpinan yang berani berdiri di
medan perang sekaligus menginspirasi di istana. Kepemimpinan yang sukses adalah
perpaduan antara visi strategis, pengelolaan sumber daya manusia, penguatan hukum,
dan dukungan budaya. Sulaiman membuktikan bahwa seorang pemimpin yang bijaksana
dapat menciptakan warisan yang dihormati dan ditakuti selama berabad-abad.
Suleiman
bin Selim bukan sekadar penakluk Eropa atau penguasa Istanbul; ia adalah simbol
kesempurnaan pemerintahan, yang menggabungkan militer, administrasi, hukum, dan
seni dalam satu figur. Dari namanya, dunia belajar bahwa kepemimpinan yang
agung bukan hanya tentang kekuatan, tetapi tentang integritas, visi, dan
kemampuan membangun masyarakat yang sejahtera dan berbudaya. Inilah alasan
mengapa Sulaiman pantas disebut “the Magnificent,” sang Agung, yang namanya
tetap dikenang sebagai ikon zaman keemasan Utsmaniyah.