Suleiman Yang Agung: Negarawan, Ahli Hukum, dan Warisan Peradaban Islam untuk Dunia
Suleiman Yang Agung: Negarawan, Ahli Hukum, dan
Warisan Peradaban Islam untuk Dunia
Setelah menelusuri sisi gelap istana dan intrik kekuasaan yang melingkupi
kehidupan pribadi Sultan Suleiman, kini saatnya melihat sisi lain dari sang
penguasa yang sering terlupakan: Suleiman sebagai negarawan, ahli
hukum, dan simbol kejayaan peradaban Islam. Di balik pedang dan
takhta, tersembunyi visi seorang sultan yang tidak hanya menaklukkan wilayah,
tetapi juga membangun fondasi peradaban yang lestari. Bagaimana Sulaiman
menjadi Kanuni, sang pemberi hukum, dan apa artinya bagi
rakyatnya? Dan lebih penting lagi, bagaimana warisan hukum dan administrasinya
masih menjadi inspirasi ratusan tahun kemudian?
Bagi Suleiman, pedang tidak cukup untuk mempertahankan
sebuah kerajaan. Ia menyadari bahwa kekuasaan tanpa tatanan hukum yang adil
hanya bersifat sementara. Dibutuhkan sistem birokrasi yang rapi, pejabat yang
bisa dipercaya, dan hukum yang jelas agar seluruh kerajaan—dari Anatolia hingga
Balkan, dari Timur Tengah hingga Afrika Utara—berjalan tertib. Wilayah seluas
itu tidak mungkin diatur hanya dengan titah lisan atau kekuatan militer. Setiap
petani, pedagang, dan panglima harus tahu hak, kewajiban, dan batas
kewenangannya. Maka lahirlah Kanun Sulaimani, himpunan hukum
sipil yang rapi dan rinci.
Kanun Sulaimani bukan menggantikan syariah Islam, tetapi melengkapinya.
Hukum ini mengatur segala aspek praktis: pajak, hak kepemilikan tanah,
perdagangan, hingga sanksi bagi pejabat korup. Ia memadukan tradisi Turki,
praktik administratif Persia, dan hukum Islam sehingga menciptakan sistem yang
modern pada zamannya. Hasilnya, Kekaisaran Otoman menjadi salah satu negara
dengan hukum paling teratur di dunia saat itu, dan stabilitasnya bisa bertahan
meski wilayahnya luas dan masyarakatnya beragam.
Selain itu, Suleiman menetapkan pencatatan arsip secara detail.
Semua keputusan, peraturan, dan surat diplomasi dicatat dalam arsip kekaisaran.
Dengan cara ini, birokrasi menjadi profesional. Bahkan di desa terpencil,
rakyat tahu berapa pajak yang harus dibayar dan kemana pajak itu digunakan.
Jabatan hakim Qadi menjadi sangat dihormati. Mereka dipilih
dari kalangan ulama terpelajar, diawasi ketat, dan digaji cukup agar tidak
tergoda suap. Dengan sistem ini, rakyat kecil berani mengadukan pejabat zalim.
Tidak sedikit pejabat tinggi yang dipecat bahkan dieksekusi karena
menyelewengkan uang negara.
Sebagai negarawan, Suleiman piawai dalam diplomasi. Ia menjalin hubungan
dengan Raja Francis I dari Prancis untuk menekan Habsburg di Austria.
Perjanjian ini dikenal sebagai Franco-Ottoman Alliance,
aliansi unik antara Kristen dan Islam yang mengejutkan Eropa pada masa itu.
Diplomasi ini berhasil memecah kekuatan lawan di Eropa Barat, sementara
Suleiman tetap fokus menaklukkan wilayah di Eropa Timur.
Tak hanya itu, ia juga merawat jalur perdagangan internasional. Pedagang
dari Venesia, Genoa, Inggris, bahkan Timur Jauh berdagang di
pelabuhan-pelabuhan Otoman. Barang rempah, kain sutra, dan keramik berpindah,
sementara emas dan perak masuk ke kas negara. Pendapatan ini sebagian digunakan
untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Istanbul, ibukota kekaisaran,
menjelma menjadi kota kosmopolitan, pusat ilmu, seni, dan perdagangan. Di
pelabuhan Galata, pedagang Arab, Persia, Yunani, Armenia, hingga Yahudi berdagang
berdampingan, menunjukkan toleransi yang dijunjung tinggi oleh sultan.
Komunitas Yahudi yang diusir dari Spanyol menemukan rumah baru di wilayah
Otoman. Bagi Suleiman, toleransi adalah modal kekuatan.
Dalam pembangunan, ia memadukan kekuasaan dengan seni dan tanggung jawab
sosial. Masjid Suleimaniye yang megah, dirancang oleh arsitek
legendaris Mimar Sinan, bukan sekadar tempat ibadah. Di sekitarnya berdiri
madrasah, rumah sakit, pemandian umum, dapur umum, dan pasar yang semuanya
gratis bagi rakyat miskin. Ini membuktikan visi Suleiman: kekuasaan harus
berpadu dengan pelayanan sosial, seni, dan ilmu pengetahuan.
Di bidang sastra, Suleiman adalah penyair ulung. Dengan nama pena Muhibbi,
ia menulis ratusan bait puisi bertema cinta, rindu, dan ketuhanan. Beberapa di
antaranya ditulis untuk Hurrem, sang permaisuri dan cinta sejatinya.
Puisi-puisi ini menunjukkan sisi manusiawi seorang sultan yang tampak perkasa
di medan perang, namun lembut dalam perasaan dan refleksi spiritual.
Pengaruh Suleiman juga terasa di luar batas kekaisaran. Penjelajah Eropa,
seperti Ogier Giselin de Busbecq, menulis kesaksian tentang tertibnya
pemerintahan Otoman. Dinasti Safawi di Persia terpaksa menyesuaikan kebijakan
karena tekanan militer dan diplomasi Suleiman. Penguasa lokal di Afrika Utara
tunduk di bawah bendera Otoman demi perlindungan dari Spanyol. Semua ini
menunjukkan pengaruh Suleiman tidak hanya militer, tetapi juga
diplomatik dan administratif.
Dengan semua capaian ini, banyak sejarawan menilai era Suleiman sebagai zaman
keemasan Kekaisaran Otoman. Ia bukan sekadar penakluk, tetapi
negarawan yang menulis hukum, menjaga stabilitas, membangun kota, dan mengayomi
rakyat. Nama “Suleiman Yang Agung” bukan sekadar julukan, tetapi penghargaan
atas prestasi nyata. Hukum-hukumnya bertahan lama, bahkan prinsip-prinsipnya
seperti perlindungan hak minoritas, transparansi pajak, dan independensi hakim
menjadi inspirasi bagi negara Turki modern. Warisan terbesarnya bukan sekadar
masjid megah atau benteng kokoh, tetapi tatanan pemerintahan yang profesional
dan berkeadilan.
Namun, di balik kejayaan ini, Suleiman tetap manusia biasa. Menjelang akhir
hidupnya, ia semakin sering merenung. Perang, pengkhianatan, dan kematian
anak-anaknya membuat ia menyadari bahwa semua kekuasaan hanyalah titipan. Ia
tetap menolak berdiam di istana dan memilih turun langsung ke medan
perang hingga akhirnya wafat di medan jihad pada usia tua. Momen
wafatnya menjadi simbol tekadnya untuk menjaga kekaisaran hingga nafas
terakhir, menunjukkan integritas seorang pemimpin sejati yang mengutamakan
tanggung jawab di atas kenyamanan pribadi.
Warisan Suleiman terlihat jelas dalam hukum, diplomasi, dan peradaban. Kanun
Sulaimani menjadi fondasi hukum yang kuat, menjaga stabilitas internal
dan keadilan bagi seluruh rakyat. Diplomasi dan kebijakan perdagangan yang ia
ciptakan memperkuat posisi Otoman di kancah global, sementara toleransi
terhadap minoritas dan keberagaman agama membuktikan bahwa kekuatan sejati
bukan sekadar kekuasaan militer, tetapi juga kemampuan merangkul perbedaan.
Selain itu, karya monumental arsitektur dan dukungan terhadap seni serta
ilmu pengetahuan menjadikan Istanbul sebagai pusat peradaban. Madrasah, rumah
sakit, perpustakaan, dan masjid-masjid besar bukan hanya simbol religius,
tetapi pusat pendidikan dan pelayanan masyarakat. Kota ini menjadi contoh
bagaimana kekuasaan dapat diimbangi dengan kepedulian sosial, sebuah prinsip
yang masih relevan hingga kini.
Suleiman juga mengajarkan bahwa pemimpin harus memiliki visi jangka
panjang. Ia tidak hanya berfokus pada penaklukan, tetapi juga pada
pembangunan sosial, pendidikan, dan budaya. Sebuah kerajaan yang hebat,
menurutnya, bukan hanya diukur dari wilayah yang luas atau tentara yang
tangguh, tetapi juga dari kesejahteraan rakyat dan kemajuan peradaban.
Pelajaran ini relevan bagi dunia modern, termasuk Indonesia. Negara yang
ingin maju harus menyeimbangkan pembangunan fisik dengan penguatan hukum,
pendidikan, dan nilai sosial. Negara yang hanya mengandalkan kekuatan ekonomi
atau militer tanpa memperhatikan rakyat dan peradaban akan rapuh. Sejarah
Suleiman membuktikan bahwa keseimbangan antara kekuatan, hukum, ilmu
pengetahuan, dan kepemimpinan yang bijaksana adalah fondasi peradaban yang
lestari.
Lebih jauh lagi, Suleiman menunjukkan bahwa kepemimpinan adalah
tanggung jawab moral. Ia harus membuat keputusan sulit, termasuk
menghadapi pengkhianatan dan intrik internal. Keputusan-keputusan ini
mengajarkan bahwa seorang pemimpin tidak bisa selalu mengikuti keinginan
pribadi; ia harus menimbang kepentingan rakyat dan masa depan negara.
Kisah Suleiman menekankan keteladanan dalam memimpin. Ia
menulis hukum, mendukung seni dan ilmu, memimpin tentara, dan menjaga rakyat.
Ini menunjukkan bahwa pemimpin sejati bukan sekadar simbol kekuasaan, tetapi
agen perubahan yang membimbing rakyat menuju peradaban yang lebih baik.
Indonesia dapat belajar dari teladan ini: pembangunan peradaban membutuhkan
keteguhan, kebijaksanaan, dan kolaborasi, bukan sekadar ambisi pribadi atau
kelompok.
Selain itu, kepedulian sosial yang ditunjukkan Suleiman menekankan bahwa kekuasaan
harus berpadu dengan pelayanan rakyat. Rumah sakit, madrasah, dan
bantuan bagi rakyat miskin bukan strategi politik semata, tetapi bagian dari
etika pemerintahan. Pemimpin yang peduli pada kesejahteraan rakyat akan
mendapatkan legitimasi dan dukungan tulus, sedangkan kerajaan yang mengabaikan
rakyat akan rapuh meski kaya dan kuat secara militer.
Akhirnya, kisah Suleiman mengingatkan kita bahwa kejayaan tidak
hanya tentang kekuatan militer atau kekayaan, tetapi tentang kemampuan
menjaga nilai-nilai fundamental peradaban: hukum yang adil, toleransi, ilmu
pengetahuan, dan kepemimpinan yang bertanggung jawab. Semua ini yang membuat
namanya tetap harum ratusan tahun setelah wafat, dan semua ini yang bisa
menjadi inspirasi bagi Indonesia untuk membangun negara yang adil, damai, dan
maju.
Hari ini, ketika kita menatap Masjid Suleimaniyah atau membaca puisi-puisi
Sultan, kita melihat bukan hanya penakluk dan sultan, tetapi pemimpin
yang memahami kekuasaan yang sejati, yang membangun fondasi untuk masa
depan, dan yang tahu bahwa keberhasilan sebuah negara tergantung pada
kesejahteraan dan kemajuan peradaban. Suleiman Yang Agung
menunjukkan bahwa seorang pemimpin besar harus memiliki visi jauh ke depan,
memahami pentingnya hukum, menjaga rakyat, merawat seni dan ilmu, dan
menegakkan toleransi.
Dalam konteks global, pelajaran ini relevan untuk semua bangsa. Pemimpin
yang mengutamakan keadilan dan hukum, menghormati perbedaan, mendukung ilmu
pengetahuan, dan menjaga kesejahteraan rakyat, akan meninggalkan warisan yang
lebih abadi daripada pedang atau benteng. Indonesia, dengan keanekaragaman
budaya dan sumber daya alamnya, bisa mengambil inspirasi dari prinsip-prinsip
ini: menegakkan hukum yang adil, membangun birokrasi yang bersih, menjaga
toleransi, dan mendukung ilmu pengetahuan sebagai nafas peradaban.
Suleiman juga mengajarkan bahwa kepemimpinan sejati tidak berhenti
sampai di akhir hayat, tetapi harus berlanjut melalui warisan yang
ditinggalkan. Dari hukum, arsitektur, diplomasi, hingga seni, semua itu menjadi
pedoman generasi berikutnya. Sebagai bangsa yang masih membangun, kita bisa
meniru prinsip-prinsip ini: setiap kebijakan, program, dan pembangunan harus
meninggalkan jejak positif bagi generasi mendatang.
Warisan Suleiman yang paling penting mungkin bukan wilayah yang luas atau
benteng yang kokoh, tetapi keadilan, toleransi, dan ilmu pengetahuan
sebagai fondasi peradaban. Nilai-nilai ini yang membuat nama Suleiman tetap
hidup di hati rakyat dan sejarah. Nilai-nilai ini juga yang dapat membimbing
Indonesia mencapai kejayaan yang berkelanjutan, tanpa mengulangi kesalahan
sejarah yang sama.
Sejarah Suleiman adalah pengingat bahwa seorang pemimpin besar menggabungkan
kekuatan, kebijaksanaan, dan kepedulian sosial. Ia tahu kapan harus
memimpin dengan tangan besi, kapan harus memimpin dengan hati, dan kapan harus
mewariskan aturan dan prinsip bagi masa depan. Pelajaran inilah yang membuat
Suleiman tidak hanya dikenang sebagai penakluk atau penguasa, tetapi sebagai simbol
peradaban Islam yang memberi inspirasi global.
Dengan menelaah kehidupan dan kebijakan Suleiman, kita belajar bahwa pembangunan
negara dan peradaban tidak bisa dipisahkan dari kepemimpinan yang adil dan
bijaksana. Pemimpin yang mampu menegakkan hukum, memelihara toleransi,
mendukung ilmu pengetahuan, dan melayani rakyat akan menciptakan negara yang
stabil dan masyarakat yang sejahtera. Itulah inti dari warisan Sulaiman, dan
itulah pelajaran yang bisa dibawa ke Indonesia hari ini.
Suleiman Yang Agung meninggalkan pesan abadi: kekuasaan sejati bukan sekadar
memegang pedang atau memerintah dengan takut. Kekuasaan sejati adalah membangun
hukum, merawat rakyat, melestarikan ilmu, dan menjaga peradaban agar tetap
hidup. Nilai-nilai ini melampaui batas waktu dan ruang, menjadikannya
inspirasi bagi semua generasi. Bagi Indonesia, pelajaran dari Sultan ini adalah
pengingat bahwa kejayaan bangsa bergantung pada integritas hukum, toleransi
sosial, dan kepemimpinan yang visioner.
Akhirnya, ketika kita menatap sejarah, kita menyadari bahwa Suleiman
bukan hanya raja penakluk, tetapi negarawan sejati, ahli hukum, dan simbol
peradaban yang mengilhami dunia. Dari hukum Kanuni hingga Masjid
Suleimaniyah, dari diplomasi hingga puisi, semua meninggalkan jejak yang tak
lekang oleh waktu. Ia menunjukkan bahwa seorang pemimpin hebat tidak hanya
menguasai wilayah, tetapi juga membangun fondasi peradaban
yang lestari. Nilai-nilai inilah yang harus kita teladani, untuk menciptakan
bangsa yang adil, toleran, dan maju.
Suleiman Yang Agung mengajarkan kita bahwa kejayaan sejati adalah
kombinasi dari kekuatan, kebijaksanaan, hukum, ilmu, dan kepedulian terhadap
rakyat. Pelajaran ini tidak lekang oleh zaman. Bahkan lebih dari 450
tahun setelah wafatnya, prinsip-prinsipnya tetap relevan, terutama bagi negara
seperti Indonesia yang tengah menapaki jalan pembangunan peradaban. Inilah
warisan yang jauh lebih berharga daripada kerajaan atau pedang: fondasi
peradaban yang adil, bijaksana, dan abadi.