Suleiman Yang Agung: Pelajaran Kepemimpinan dan Peradaban untuk Indonesia Modern
Suleiman Yang Agung: Pelajaran Kepemimpinan dan
Peradaban untuk Indonesia Modern
Kini kita telah sampai di penghujung kisah Suleiman Yang Agung,
perjalanan panjang seorang sultan yang tidak hanya dikenal karena penaklukan
dan kemegahan istana, tetapi juga karena kebijaksanaan dan visi yang membentuk
jalannya sejarah. Dari kisah hidupnya, peperangan yang ia pimpin, hingga
keputusan-keputusan politik yang penuh intrik, ada banyak pelajaran yang bisa
diambil. Namun pertanyaannya sekarang adalah: apa arti semua itu bagi
Indonesia hari ini? Apa yang bisa kita pelajari dari seorang pemimpin
yang wafat lebih dari 450 tahun lalu?
Pertama, kisah Sulaiman mengajarkan kita tentang pentingnya hukum
yang adil dan birokrasi yang bersih. Ia menyadari bahwa pedang dan
meriam hanya bisa menjaga kekuasaan untuk sementara. Kekaisaran mungkin bisa
bertahan sekejap melalui penaklukan dan intimidasi, tetapi untuk bertahan lama,
diperlukan aturan yang jelas, pejabat yang jujur, dan hakim yang tidak
bisa disuap. Kanun Suleimani yang disusunnya menunjukkan bahwa hukum
bukan sekadar tulisan di atas kertas, tetapi fondasi bagi stabilitas sebuah
kerajaan yang luas.
Di Indonesia, pelajaran ini terasa sangat relevan. Sebagai negara dengan
jumlah penduduk lebih dari 270 juta orang, keadilan sosial dan pemerintahan
yang bersih bukan sekadar cita-cita, tetapi kebutuhan yang mendesak. Hukum yang
tegak berdiri tanpa pandang bulu, birokrasi yang bebas dari korupsi, dan aparat
yang menegakkan keadilan dengan jujur adalah fondasi bagi Indonesia yang kokoh.
Seperti Sulaiman yang menegakkan hukum demi rakyatnya, pemimpin modern di
Indonesia harus mampu bertindak tegas demi melindungi kepentingan rakyat dan
menegakkan integritas negara.
Kedua, Sulaiman mewariskan toleransi sebagai prinsip penting
pemerintahan. Di bawah panji kekuasaannya, Yahudi, Kristen, dan Muslim
hidup berdampingan secara damai. Pasar Istanbul dipenuhi pedagang dari berbagai
latar belakang, dan kehidupan ekonomi serta sosial berjalan harmonis. Tidak
semua harus seragam karena perbedaan bisa menjadi kekuatan.
Pelajaran ini sangat relevan bagi Indonesia, sebuah negara majemuk
yang terdiri dari ribuan pulau, ratusan suku, dan puluhan agama serta
kepercayaan. Jika bangsa ini ingin bertahan, kita harus merawat kebinekaan.
Sejarah telah menunjukkan bahwa perpecahan lahir dari kebencian, sedangkan
kejayaan lahir dari rasa saling menghargai. Toleransi bukan sekadar slogan,
tetapi praktik nyata yang harus dijalankan oleh setiap warga negara dan
pemimpinnya. Sulaiman menunjukkan bahwa negara yang adil tidak memaksakan
keseragaman, tetapi menguatkan keragaman sebagai fondasi persatuan.
Ketiga, Sulaiman mengajarkan bahwa ilmu pengetahuan dan seni adalah
nafas kekuasaan. Ia bukan hanya seorang penakluk di medan perang,
tetapi juga pelindung budaya, seni, dan ilmu. Ia mendukung arsitek, penyair,
ulama, dan cendekiawan. Ia menulis puisi, mendanai pembangunan madrasah, rumah
sakit, dan pusat riset. Baginya, kekuatan militer harus berjalan seiring dengan
kecerdasan rakyatnya.
Pelajaran ini sangat relevan bagi Indonesia yang kaya sumber daya alam,
namun masih menghadapi tantangan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan
inovasi. Kekayaan alam akan sia-sia jika tidak diimbangi dengan pendidikan,
riset, dan inovasi. Seperti Sulaiman, bangsa ini harus menyadari bahwa kekuatan
sejati bukan hanya pada otot dan persenjataan, tetapi pada kecerdasan, kreativitas,
dan kemampuan berpikir kritis. Pemimpin yang mendukung pendidikan dan
sains sama pentingnya dengan pemimpin yang memimpin tentara di medan perang.
Keempat, Sulaiman menekankan bahwa seorang pemimpin bukan hanya
duduk di singgasana, tetapi menjadi teladan dalam tindakan. Sampai
akhir hayatnya, ia tidak takut turun langsung ke barisan depan. Ia tidak
bersembunyi di balik tembok istana ketika rakyatnya berjuang di garis depan.
Untuk Indonesia, semangat ini patut ditiru. Pemimpin harus hadir, mendengar
rakyat, dan memimpin dari depan, bukan sekadar memerintah dari balik meja.
Keteladanan dan keberanian untuk hadir di tengah rakyat memberi pesan bahwa
kekuasaan bukan untuk dinikmati sendiri, tetapi untuk melindungi dan
memberdayakan rakyat. Sulaiman membuktikan bahwa kepemimpinan sejati muncul
dari keberanian bertanggung jawab atas nasib rakyatnya, bahkan ketika risiko
besar mengancam.
Kelima, Sulaiman memberi contoh bahwa kejayaan selalu datang bersama
pengorbanan. Ia kehilangan anak-anaknya, dikhianati orang-orang
terdekat, dan terjebak intrik istana yang kejam. Namun semua itu tidak
mematikan tekadnya untuk membangun peradaban yang agung.
Pelajaran ini penting bagi bangsa Indonesia. Kemajuan sebuah negara tidak
akan lahir dari keinginan kosong. Diperlukan kerja keras, pengorbanan,
dan komitmen untuk menjaga persatuan. Tantangan akan selalu muncul,
baik dari dalam maupun luar negeri, tetapi bangsa yang mau belajar dari sejarah
dan menegakkan nilai-nilai keadilan, toleransi, dan ilmu pengetahuan akan mampu
bertahan dan berkembang.
Masjid Suleimaniyah yang masih berdiri megah di Istanbul adalah saksi bisu
dari masa kejayaan Sulaiman. Ribuan wisatawan datang setiap hari untuk melihat
warisan sang sultan. Namun, warisan terbesarnya bukanlah kubah besar atau benteng
tinggi. Warisan terbesar Sulaiman adalah ingatan bahwa keadilan,
toleransi, dan ilmu pengetahuan adalah fondasi sejati peradaban.
Bagi Indonesia, pelajaran ini sangat penting. Negara yang ingin maju dan
harmonis harus menegakkan hukum, menjaga kebinekaan, dan membangun ilmu
pengetahuan serta inovasi. Nilai-nilai ini lebih penting daripada kekayaan
materi semata. Seorang pemimpin dan masyarakat yang memegang prinsip ini akan
mampu menyalakan lentera peradaban di tanah air, sama seperti yang dilakukan
Sulaiman di Istanbul pada abad ke-16.
Suleiman juga mengajarkan pentingnya visi jangka panjang.
Ia tidak hanya berfokus pada penaklukan wilayah, tetapi juga pada pembangunan
peradaban yang lestari. Infrastruktur, hukum, pendidikan, dan seni menjadi
perhatian yang setara dengan medan perang. Ia memahami bahwa kekuasaan yang
hebat harus diimbangi dengan pembangunan sosial dan budaya agar sebuah kerajaan
bisa bertahan.
Pelajaran ini penting bagi Indonesia, yang ingin menjadi negara maju di abad
ke-21. Pembangunan fisik seperti jalan, jembatan, dan pelabuhan harus diimbangi
dengan penguatan hukum, pendidikan, dan nilai-nilai sosial. Negara yang hanya
membangun fisik tanpa membangun manusia dan tata nilai akan mudah rapuh.
Sulaiman menunjukkan bahwa peradaban sejati dibangun melalui
keseimbangan antara kekuatan, pengetahuan, dan keadilan.
Lebih jauh lagi, Sulaiman menunjukkan bahwa kepemimpinan tidak bisa
dilepaskan dari tanggung jawab moral. Ia harus membuat keputusan yang
pahit, termasuk menyingkirkan orang-orang yang dicintainya demi stabilitas
kerajaan. Meski tragis, keputusan ini mengajarkan bahwa seorang pemimpin tidak
bisa selalu mengikuti perasaan pribadi; ia harus menimbang kepentingan rakyat
dan masa depan negara.
Bagi Indonesia, prinsip ini penting di tengah dinamika politik modern.
Pemimpin yang bijak harus mampu menempatkan kepentingan bangsa di atas
kepentingan pribadi atau kelompok. Integritas, keberanian, dan visi yang jelas
menjadi kunci untuk menjaga bangsa tetap bersatu, adil, dan sejahtera.
Kisah Sulaiman juga menekankan nilai keteladanan dalam memimpin.
Ia menulis hukum, mendukung seni dan ilmu, memimpin tentara, dan menjaga rakyatnya.
Semua tindakan ini mengajarkan bahwa pemimpin sejati bukan hanya simbol
kekuasaan, tetapi juga agen perubahan yang mampu membimbing rakyat menuju
peradaban yang lebih baik.
Di Indonesia, teladan seperti ini sangat dibutuhkan. Bangsa ini masih menghadapi
tantangan dalam pemerintahan yang bersih, pendidikan yang merata, dan toleransi
antarwarga yang belum sepenuhnya kuat. Belajar dari Sulaiman, pemimpin dan
masyarakat bisa memahami bahwa pembangunan peradaban bukan tugas satu orang,
tetapi tanggung jawab bersama yang membutuhkan keteguhan, kebijaksanaan, dan
kolaborasi.
Selain itu, Sulaiman mengajarkan kepedulian sosial sebagai bagian
dari kekuasaan. Rumah sakit, madrasah, dan bantuan bagi rakyat miskin
bukan hanya strategi politik, tetapi bagian dari etika pemerintahan. Pemimpin
yang peduli pada kesejahteraan rakyat akan mendapatkan legitimasi dan dukungan
yang tulus, sementara kerajaan yang mengabaikan rakyatnya akan rapuh meski kaya
dan kuat secara militer.
Pelajaran ini relevan untuk Indonesia, di mana kesenjangan sosial masih
menjadi isu utama. Kesejahteraan rakyat harus menjadi prioritas dalam setiap
kebijakan. Pembangunan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan harus berjalan
seiring dengan penegakan hukum dan perlindungan hak-hak warga negara.
Akhirnya, kisah Sulaiman mengingatkan kita bahwa kejayaan bukan
hanya tentang medan perang dan kekayaan, tetapi tentang kemampuan
menjaga nilai-nilai fundamental peradaban: keadilan, toleransi, pengetahuan,
dan kepedulian sosial. Semua ini yang membuat namanya tetap harum ratusan tahun
setelah ia wafat, dan semua ini yang bisa kita bawa pulang ke tanah air untuk
membangun Indonesia yang lebih adil, damai, dan maju.
Hari ini, ketika kita menatap Masjid Suleimaniyah atau membaca puisi-puisi
Sulaiman, kita tidak hanya melihat sultan dan penakluk. Kita melihat pemimpin
yang mengerti arti kekuasaan yang sejati, yang membangun fondasi untuk
masa depan, dan yang memahami bahwa keberhasilan sebuah kerajaan atau negara
tergantung pada keseimbangan antara hukum, toleransi, ilmu, dan kepemimpinan
yang bijaksana.
Kisah Sulaiman Yang Agung seharusnya menjadi sumber inspirasi bagi setiap
pemimpin, pejabat, dan warga negara di Indonesia. Bahwa menjadi besar
bukan sekadar menaklukkan atau memerintah, tetapi juga menegakkan
keadilan, menghormati perbedaan, mendukung ilmu pengetahuan, dan bekerja demi
kesejahteraan rakyat. Semua itu membutuhkan keberanian, ketekunan, dan
pengorbanan.
Di mana pun kita berada, di zaman apapun kita hidup, selalu ada ruang untuk
menulis kejayaan. Sejarah Sulaiman mengingatkan bahwa kejayaan bukan
hadiah yang datang sendiri, tetapi sesuatu yang dibangun dengan kerja
keras, visi, dan komitmen terhadap nilai-nilai peradaban. Di Indonesia, yang
kaya akan sumber daya, budaya, dan keragaman, pesan ini sangat penting. Dengan
meneladani Sulaiman, kita bisa menyalakan lentera peradaban yang akan menerangi
masa depan bangsa.
Kesimpulannya, Sulaiman Yang Agung bukan hanya simbol kekuasaan atau
penaklukan, tetapi simbol kepemimpinan yang holistik, keadilan,
toleransi, dan cinta terhadap ilmu pengetahuan. Ia membuktikan bahwa
seorang pemimpin besar harus mampu menggabungkan kekuatan militer dengan
kecerdasan, keberanian dengan kebijaksanaan, dan kekuasaan dengan tanggung
jawab moral.
Inilah pelajaran yang bisa kita bawa pulang ke Indonesia: bahwa negara yang
besar dibangun bukan hanya dengan kekayaan dan kekuasaan, tetapi dengan hukum
yang adil, toleransi yang kuat, pendidikan yang merata, dan kepemimpinan yang
teladan. Dengan memegang prinsip-prinsip ini, Indonesia bisa menjadi
negara yang adil, damai, dan maju, sekaligus meninggalkan jejak peradaban yang
akan dikenang oleh generasi mendatang, sebagaimana nama Suleiman Yang
Agung tetap dikenang hingga hari ini.
Semoga kisah ini bukan sekadar dongeng sejarah, tetapi menjadi bahan
renungan dan inspirasi. Bahwa di mana pun kita berada, dan di zaman apapun kita
hidup, selalu ada kesempatan untuk men
ulis kejayaan. Asalkan kita mau meneladani mereka yang telah menyalakan
lentera peradaban sebelum kita, seperti Suleiman Yang Agung.
Salam hormat dan tetaplah menjadi pembelajar yang mencintai bangsanya.