Latar Belakang & Awal Pemerintahan Suleiman Yang Agung: Dari Istana Trabzon ke Puncak Kejayaan Otoman
Latar Belakang & Awal Pemerintahan Suleiman
Yang Agung: Dari Istana Trabzon ke Puncak Kejayaan Otoman
Bagaimana seorang anak sultan yang lahir di
istana megah bisa tumbuh menjadi salah satu penguasa terbesar dalam sejarah
Islam? Bagaimana kehidupannya sejak kecil membentuk tekad, keberanian,
sekaligus kebijaksanaan yang membuatnya dihormati dan ditakuti di seluruh
dunia? Untuk memahami hal ini, kita harus mundur ke akhir abad ke-15, tepatnya
tahun 1494, di kota Trabzon, Anatolia Timur. Di sanalah Sulaiman lahir. Ayahnya
adalah Sultan Selim Kesatu, seorang raja yang dikenal galak dan tanpa kompromi,
dijuluki Yafus—“Sang Kejam.”
Selim Kesatu adalah penakluk Mesir dan Syam,
sultan yang menggulingkan dinasti Mamluk dan membawa khilafah ke tangan Otoman.
Di bawah ayahnya, Kekaisaran Otoman melejit menjadi pusat kekuatan Islam yang
sangat berpengaruh. Namun, meskipun luas dan kuat, kerajaan ini juga rapuh,
penuh dengan intrik istana dan potensi pemberontakan. Sebagai anak tunggal,
Sulaiman tumbuh dalam lingkungan yang keras. Sejak kecil ia sudah diajarkan
satu hal penting: untuk bertahan di istana, seorang pemimpin harus kuat baik di
medan perang maupun dalam strategi politik.
Sejak usia dini, Sulaiman belajar banyak hal.
Ia mempelajari Al-Qur’an, hukum Islam, sastra Persia, dan puisi Arab. Ia juga
dididik tentang ilmu pemerintahan, strategi militer, dan seni diplomasi. Dengan
para guru terbaik, Sulaiman tidak hanya tumbuh sebagai pangeran, tetapi juga
sebagai calon pemimpin yang matang. Ia menguasai beberapa bahasa—Arab, Persia,
dan sedikit Latin—dan membaca kisah para penakluk besar seperti Alexander
Agung, Cirus Agung, dan pendiri Dinasti Otoman, Osman Gazi.
Selain pendidikan formal, tradisi kerajaan
Otoman mengharuskan calon sultan belajar memimpin daerah. Sulaiman dikirim ke
berbagai provinsi untuk merasakan tanggung jawab pemerintahan langsung. Ia
pernah menjabat sebagai gubernur di Kafa, sebuah kota di Krimea, di mana ia
belajar mengatur pajak, berdamai dengan bangsawan lokal, dan menghadapi
pemberontakan kecil. Pengalaman ini menjadi pelajaran berharga sebelum kelak ia
mengatur wilayah yang membentang di tiga benua.
Sulaiman tumbuh dengan sosok ayah yang keras.
Selim Kesatu memerintah dengan tangan besi, memenggal lawan politik,
memberangus pemberontak, dan menyingkirkan birokrasi korup. Banyak yang takut
padanya, namun bagi Sulaiman, ayahnya adalah contoh betapa mahalnya harga
stabilitas kerajaan. Ia memahami bahwa tanpa disiplin dan ketegasan, Kekaisaran
Otoman berpotensi hancur dari dalam.
Ketika Selim Kesatu meninggal pada tahun 1520,
Sulaiman naik takhta pada usia 26 tahun. Banyak yang meragukannya. Para
penasihat istana khawatir bahwa ia terlalu lembut dan terlalu suka sastra untuk
memimpin kerajaan sebesar Otoman. Namun, keraguan itu segera sirna. Begitu
memegang takhta, Sulaiman menunjukkan wibawa yang luar biasa. Ia menertibkan
pemberontakan di Damaskus, menata ulang pemerintahan di Mesir, dan memperkuat
Janissari, pasukan elit yang menjadi taring Otoman.
Sulaiman juga merangkul penasihat cerdas
seperti Ibrahim Pasha, sahabat masa kecilnya yang kelak menjadi Wazir Agung,
setara dengan perdana menteri modern. Awal pemerintahannya ditandai dengan satu
visi besar: mewarisi kejayaan ayahnya dan membawa Otoman ke puncak kejayaan
yang lebih tinggi. Ia menyadari potensi ancaman di utara—Eropa yang terpecah
antara Habsburg di Austria, Prancis di Barat, dan negara-negara kecil di
Italia. Sulaiman melihat celah strategis yang bisa dimanfaatkan Otoman untuk
menekan Eropa dari Balkan dan Laut Tengah, sekaligus menguasai jalur dagang dan
politik.
Di dalam negeri, Sulaiman menghadapi masalah
birokrasi yang korup. Ia mulai menyusun aturan dan menulis kanun, hukum sipil
yang menutup celah yang tidak diatur syariah. Kanun ini menjamin transparansi
pajak bagi petani, keamanan bagi pedagang, dan hukuman yang tegas bagi pejabat
yang korup. Semua tercatat dengan jelas, membuat birokrasi Otoman mulai tertata
rapi.
Awal pemerintahannya juga ditandai dengan
langkah-langkah simbolik untuk memperkuat legitimasi. Ia membangun masjid,
memperbaiki jalan, memperluas Grand Bazaar di Istanbul, dan merangkul ulama
serta seniman. Dukungan terhadap literatur, puisi, dan seni memperkuat citra
Sulaiman sebagai pemimpin yang berwibawa dan berbudaya.
Meski demikian, tantangan tidak pernah jauh.
Di Balkan, sisa-sisa pasukan Kristen masih bertahan. Benteng Beograd menjadi
duri di perbatasan, dan Sulaiman tahu jika benteng itu tidak direbut, Eropa
akan selalu memiliki jalur menyerang Otoman. Maka pada tahun 1521, hanya
setahun setelah naik takhta, Sulaiman memimpin pasukan sendiri mengepung
Beograd. Ia memotong pasokan makanan musuh dan menghantam dinding benteng
dengan meriam raksasa. Dalam hitungan minggu, Beograd jatuh, membuka jalan bagi
Otoman ke Eropa Timur.
Setahun kemudian, Sulaiman menatap Laut Aegea
dan memimpin ekspedisi ke Pulau Rhodes, markas Kesatria St. John yang terkenal berani.
Kepungan Rhodes menjadi legenda. Selama berbulan-bulan, pasukan Sulaiman
bertempur di benteng batu yang sulit ditembus. Kegigihan Janissari dan
kecerdikan insinyur pengepung membuat benteng runtuh, dan Kesatria Rhodes
menyerah dengan izin pergi. Langkah ini menunjukkan bahwa Sulaiman adalah
penakluk yang juga memahami cara menghormati lawan.
Kemenangan di Beograd dan Rhodes mengokohkan
nama Sulaiman. Para penasihat istana yang semula meragukan kemampuannya kini
tunduk sepenuhnya. Janissari semakin loyal, dan rakyat percaya bahwa di tangan
Sultan muda ini, Otoman akan semakin besar. Sulaiman membuktikan bahwa meski
gemar menulis puisi, ia juga mampu memimpin perang.
Awal pemerintahannya mencetak pola yang kelak
menjadi ciri khas kekuasaan Sulaiman: menaklukkan wilayah strategis, memperkuat
hukum, membangun infrastruktur, dan memelihara seni. Ia tidak hanya bermimpi
memperluas wilayah, tetapi juga membangun peradaban yang kuat, tertib, dan
indah. Di balik semua itu, Sulaiman tetap manusiawi. Ia memiliki sahabat setia,
Ibrahim Pasha, yang kelak menjadi Wazir terkuat. Ia juga memiliki istri
kesayangan, Hurrem Sultan, yang berpengaruh di balik layar istana, dan keluarga
besar yang kemudian menjadi sumber intrik dan tragedi di kemudian hari.
Kehidupan awal pemerintahan Sulaiman memang
penuh kemenangan, tetapi juga menabur benih tragedi. Ia harus menyeimbangkan
hubungan dengan orang-orang terdekatnya, memilih antara keluarga dan hukum,
antara ambisi dan tanggung jawab, serta antara seni dan strategi militer. Namun,
melalui segala tantangan itu, fondasi bagi puncak kejayaan Kekaisaran Otoman
telah terbentuk, menjadikannya Sultan yang pantas disebut “Yang Agung.”