Cahaya di Alas Sinang: Legenda Pangeran Cakrabuana di Jawa Barat Bagian 3.
Perempatan Bugis Bugiana
Di
perempatan jalan yang kelak dikenal sebagai Majasayun, udara senja perlahan
berubah menjadi lembayung yang memerah, menandai datangnya malam yang hangat
namun penuh misteri. Di tengah persimpangan itu, Pangeran Cakrabuana berdiri
dengan tenang, menatap sekeliling. Ia tidak membawa pasukan, bendera kerajaan, atau
hiasan gemerlap seperti seorang bangsawan biasa. Yang ia bawa hanyalah sejumlah
alat sederhana dan bahan-bahan yang akan menghidupkan seni: kulit banteng hasil
buruan di hutan Sinang, alat ukir, layar kulit, dan gamelan kecil yang
dibawanya dari Cirebon.
Langit
senja memancarkan warna oranye-merah yang menyatu dengan kabut tipis yang
menutupi sebagian pedukuhan. Angin malam membawa aroma tanah basah dan bunga
cempaka, menyelimuti setiap sudut persimpangan dengan kesejukan yang
menenangkan. Suara-suara alam—dari gemerisik daun, desir angin, hingga kicauan
burung malam—mengiringi persiapan Pangeran dengan ritme lembut yang seolah
menyatu dengan detak hatinya.
Pangeran
bekerja dengan ketenangan dan ketelitian. Dengan tangan cekatan, ia mengukir
kulit banteng menjadi tokoh-tokoh wayang kulit. Setiap detail diperhatikan:
lekuk wajah, gerak tangan, bentuk senjata, dan ekspresi yang memancarkan
karakter. Ada raja bijaksana, pemuda pemberani, putri lemah lembut, dan makhluk
halus yang bijak. Semua tokoh itu bukan sekadar boneka; mereka adalah cermin
kehidupan, sarana dakwah yang akan menyampaikan ajaran kebaikan kepada warga
pedukuhan.
Beberapa
murid yang menemaninya membantu menyiapkan layar kulit dan lampu minyak untuk
memantulkan bayangan wayang. Cahaya lampu akan menembus kulit yang diukir,
memunculkan bayangan yang menari di layar putih, menghadirkan dunia lain yang
memikat. Pangeran mengajari murid-muridnya, “Setiap gerakan, setiap dialog,
adalah pelajaran. Jangan sekadar menari atau berbicara. Sampaikan nilai
keberanian, kebaikan, dan kesabaran.”
Warga
pedukuhan, yang sejak pagi telah berkumpul di sekitar perempatan, menatap
dengan rasa penasaran bercampur takut. Mereka belum pernah melihat pertunjukan
seperti ini, dan sosok Pangeran yang datang tanpa senjata, hanya membawa kulit,
alat ukir, dan gamelan, menimbulkan rasa ingin tahu yang kuat. Mata mereka
menatap, hati mereka bertanya-tanya: siapakah pemuda yang konon membawa ajaran
baru, namun tidak menuntut, hanya mengundang?
Pangeran
Cakrabuana kemudian melangkah ke tengah lapangan. Ia menarik napas sejenak,
menatap warga dengan senyum lembut, dan suaranya mengalun seperti aliran sungai
yang menembus keheningan senja:
“Barang
siapa yang ingin menonton pertunjukan wayang ini, hendaklah terlebih dahulu
mengucapkan dua kalimat syahadat. Bukan sebagai paksaan, tetapi sebagai kunci
berkah yang akan menyertai setiap langkah kalian,” katanya.
Warga
terdiam. Ada yang ragu, ada yang takut, tetapi janji berkah itu menimbulkan
rasa ingin tahu yang mendalam. Mereka saling menatap, bertanya dalam hati
apakah kata-kata ini akan membawa kebaikan, atau sekadar ritual kosong. Namun,
ketenangan yang terpancar dari sosok Pangeran dan suasana hutan yang seolah
memberi restu membuat hati mereka perlahan terbuka.
Satu per
satu, mereka mengucapkan syahadat, dengan suara yang awalnya bergetar namun
lama-lama mengalun mantap. Hati mereka masih campur aduk antara penasaran,
takut, dan harap. Namun ketika ucapan itu keluar dari mulut mereka, sesuatu
yang tak terlihat menyentuh hati mereka. Rasa damai yang lembut dan hangat
menyelimuti jiwa, seolah ada cahaya lembut menembus hati, membuka pintu yang
selama ini tertutup rapat oleh keraguan dan ketakutan.
Seorang
pemuda yang biasanya pemberani namun skeptis menundukkan kepala, merasakan
aliran ketenangan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. “Apa ini…?” bisiknya
pelan, matanya menatap Pangeran yang tersenyum lembut. “Seolah… hati ini
ringan, damai… tanpa rasa takut.”
Seorang
ibu muda yang membawa anaknya di pangkuannya merasakan getaran serupa. Ia
meneteskan air mata, tetapi bukan karena takut atau sedih, melainkan karena
kelegaan dan kebahagiaan yang meluap dalam hati. “Alangkah indahnya,” katanya
sambil menatap Pangeran. “Kami… merasakan berkah itu.”
Pangeran
Cakrabuana tersenyum, tidak mengucapkan kata-kata panjang. Ia memahami, bahwa
hati manusia tidak dapat dipaksa menerima ajaran melalui kata-kata semata; hati
manusia terbuka melalui pengalaman, perasaan, dan kesadaran. Pertunjukan wayang
ini bukan sekadar hiburan; ini adalah jembatan antara dunia manusia dan dunia
nilai kebaikan, yang akan membimbing warga pedukuhan memahami esensi ajaran
yang ia bawa.
Matahari
perlahan tenggelam, meninggalkan langit yang semakin gelap dengan semburat
merah dan ungu. Cahaya lampu minyak yang menembus wayang mulai menari di layar
putih. Bayangan-bayangan bergerak seirama dengan suara gamelan yang mengalun
lembut. Suasana menjadi sakral, seolah malam itu adalah saksi bagi pertemuan
antara manusia, alam, dan nilai-nilai yang lebih tinggi.
Warga
menatap terpesona. Mereka melihat bukan sekadar boneka, tetapi tokoh yang
hidup: raja bijaksana yang menegakkan keadilan tanpa menindas, pemuda pemberani
yang menghadapi ujian dengan kesabaran, putri lemah lembut yang mengajarkan
cinta dan kasih sayang, dan makhluk halus bijak yang menuntun manusia menuju
kebenaran. Setiap adegan menimbulkan decak kagum dan haru, hati mereka
tersentuh oleh pesan moral yang tersirat di balik gerak wayang.
Seorang
tetua pedukuhan, yang sejak awal meragukan kedatangan Pangeran, menatap dengan
mata berkaca-kaca. Ia merasakan energi damai yang belum pernah ia rasakan
sepanjang hidupnya. “Barangkali… ini yang disebut berkah,” gumamnya. “Bukan
melalui paksaan, tapi melalui hati dan pemahaman.”
Sementara
itu, anak-anak duduk dengan mata terbuka lebar, kagum pada bayangan yang menari
dan suara gamelan yang mengalun. Mereka mendengar dialog tokoh wayang dengan
saksama, menyerap setiap pelajaran tentang kebaikan, keberanian, dan ketulusan.
Bagi mereka, pertunjukan ini bukan sekadar cerita malam, tetapi awal dari
pemahaman tentang dunia yang lebih luas dan penuh makna.
Pangeran
Cakrabuana menjadi dalang yang sabar dan bijaksana. Ia mengatur setiap gerakan,
suara, dan adegan, sehingga pesan moral tersampaikan tanpa terasa menggurui. Ia
menyadari bahwa warga pedukuhan membutuhkan pendekatan lembut: seni, cerita,
dan pengalaman langsung lebih efektif daripada ceramah panjang yang sering kali
menimbulkan kebingungan atau resistensi.
Semalaman,
pertunjukan berlangsung. Angin malam berhembus lembut, membawa aroma cempaka
dan tanah basah, seolah alam sendiri turut menyaksikan dan memberkati momen
itu. Cahaya dari lampu minyak menembus kabut tipis, menciptakan bayangan yang
menari-nari di tanah, di pepohonan, dan di hati setiap orang yang hadir.
Ketika
pertunjukan usai, warga duduk termenung, merenungkan apa yang baru saja mereka
saksikan. Mereka sadar bahwa kedatangan Pangeran Cakrabuana bukan hanya sebuah
pertemuan fisik, tetapi pertemuan hati dan jiwa. Mereka merasakan kedamaian
yang mendalam, dan sebagian bahkan mulai membuka diri untuk memahami ajaran
yang dibawa Pangeran, tanpa rasa takut, tanpa tekanan, hanya dengan kesadaran dan
rasa ingin tahu yang tulus.
Di
perempatan Bugis Bugiana, malam itu menjadi saksi pertama dari perubahan hati.
Persimpangan yang kelak dikenal sebagai Majasayun ini akan selalu dikenang oleh
warga pedukuhan sebagai tempat di mana cahaya ilmu dan kedamaian pertama kali
menyentuh kehidupan mereka. Dan Pangeran Cakrabuana, dengan ketenangan,
kebijaksanaan, dan seni dakwahnya, telah menorehkan jejak yang tak akan
terlupakan sepanjang sejarah pedukuhan Cempaka Mulia.
Konten Creator
Akang Marta
Indramayutradisi.com