Batas Tipis Rahasia dan Publik: Mengapa Ijazah Pejabat Wajib Dibuka Berdasarkan UU KIP
Batas Tipis Rahasia dan Publik: Mengapa Ijazah Pejabat Wajib Dibuka Berdasarkan UU KIP
Setiap kali polemik keaslian atau ketersediaan dokumen pendidikan seorang pejabat publik mencuat, perdebatan selalu kembali pada satu payung hukum: Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP).
UU KIP seharusnya menjadi senjata pamungkas rakyat untuk menembus tembok kerahasiaan institusi negara. Namun, kasus-kasus sengketa dokumen ijazah pejabat publik, yang sering berujung di Komisi Informasi Pusat (KIP), menunjukkan adanya kecenderungan kuat Badan Publik untuk berlindung di balik dalih "informasi yang dikecualikan".
Opini ini akan menegaskan posisi hukum: Ijazah pejabat publik—terutama yang digunakan sebagai syarat pencalonan atau menduduki jabatan publik—bukanlah informasi yang dikecualikan, melainkan informasi terbuka yang wajib diumumkan.
Membongkar Dalih Pengecualian
Badan Publik, seperti KPU atau institusi pendidikan, sering menggunakan dalih data pribadi untuk mengecualikan informasi ijazah. Argumen mereka adalah bahwa ijazah mengandung informasi sensitif yang jika dibuka dapat melanggar privasi individu.
Namun, argumen ini memiliki kelemahan fundamental, terutama jika dihadapkan pada Prinsip Uji Konsekuensi dalam UU KIP (Pasal 17). Uji konsekuensi adalah menimbang kepentingan publik untuk dibuka versus kerugian yang timbul jika ditutup.
Dalam konteks pejabat publik:
Kepentingan Publik Sangat Tinggi: Dokumen ijazah adalah bukti kelayakan administratif seseorang untuk menduduki jabatan yang dibayar oleh uang rakyat (APBN/APBD). Integritas, keabsahan, dan riwayat pendidikan pejabat publik adalah informasi yang sangat relevan untuk menilai akuntabilitasnya.
Kerugian Individu Sangat Rendah: Kerugian yang diderita pejabat jika ijazahnya dibuka nyaris tidak ada. Pejabat publik telah melepaskan sebagian hak privasinya demi kepentingan umum. Dokumen yang benar-benar rahasia (misalnya, nilai tes psikologi atau informasi kesehatan) bisa dihitamkan (redacted), tetapi fakta kelulusan dan jenis gelar adalah domain publik.
Oleh karena itu, berdasarkan UU KIP, dokumen ijazah yang menjadi syarat pencalonan harus dikategorikan sebagai Informasi Wajib Disediakan Secara Berkala, atau minimal Informasi Yang Wajib Diumumkan Segera.
Tiga Kunci Penguatan UU KIP
Kasus sengketa ijazah berulang kali menunjukkan tiga kelemahan sistematis yang perlu diperbaiki:
Penguatan Pemahaman JRA: Kekacauan yang dipertontonkan KPU mengenai Jadwal Retensi Arsip (JRA) menunjukkan lemahnya pemahaman institusi terhadap UU No. 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan. Dokumen persyaratan pencalonan harus dikategorikan sebagai arsip statis atau arsip dengan nilai guna hukum permanen, bukan arsip yang boleh dimusnahkan dalam 3 tahun. ANRI harus segera mengeluarkan pedoman JRA tunggal yang tegas untuk seluruh Badan Publik penyelenggara pemilu.
Sanksi Tegas bagi Pejabat yang Inkonsisten: KIP harus memiliki mekanisme untuk memberikan sanksi administratif atau bahkan rekomendasi sanksi pidana kepada pejabat yang terbukti memberikan keterangan yang berubah-ubah, menyesatkan, atau tidak cermat di hadapan Majelis Hakim. Inkonsistensi adalah bentuk pelecehan terhadap forum kuasi-peradilan dan dapat mengarah pada dugaan Obstruction of Justice.
Proaktif Bukan Reaktif: Badan Publik tidak boleh menunggu gugatan. Sesuai amanat Pasal 9 UU KIP, dokumen kualifikasi pejabat publik (termasuk ijazah yang relevan) harusnya sudah diunggah secara proaktif di laman resmi mereka sejak awal, sebagai bukti transparansi dan akuntabilitas.
Penutup
UU KIP memberikan mandat yang jelas bahwa negara harus transparan. Dalam kasus ijazah, jika pejabat publik tidak dapat membuktikan keabsahan dokumen dasarnya, maka integritasnya diragukan, dan kepercayaan publik terancam.
Melindungi ijazah pejabat publik dengan dalih privasi sama dengan merusak pilar akuntabilitas yang dibangun oleh UU KIP. Pejabat yang baik seharusnya bangga memamerkan kualifikasinya, bukan menyembunyikannya.
