Ketika Sains Dipuja Sebagai Agama Baru
Sains,
Kebenaran, dan Otak-Atik Gatuk: Antara Model, Mitologi, dan Makna
Di era modern ini, sains sering dipuja seolah menjadi agama baru. Manusia
yang dulunya menatap langit untuk mencari tanda, kini menatap layar komputer
untuk mencari data. Sindiran seperti “kok masih percaya primbon, udah ada
psikologi, udah ada fisika, kok masih percaya pawang hujan?” sering terdengar
di ruang publik, menegaskan dominasi rasionalitas modern. Namun, di balik tawa
itu, muncul pertanyaan filosofis: apakah sains benar-benar mencari kebenaran?
Atau ia hanya membangun model, suatu sistem simbol yang berguna untuk
menjelaskan fenomena, tapi bukan “truth” dalam makna metafisis?
Sains berfungsi sebagai sistem pragmatis: model diuji, direvisi, dan
berfungsi sejauh ia bekerja. Model ini berguna, bukan mutlak; ia tidak memberi
makna final, melainkan prediksi yang bisa diuji ulang. Karl Popper menegaskan
bahwa teori ilmiah selalu sementara; benar sejauh belum terbukti salah. Di
sinilah muncul ketegangan abadi: antara truth-as-model, yang berfokus pada
kegunaan, dan truth-as-meaning, yang berfokus pada makna menyeluruh. Percakapan
antara saintis dan dukun, laboratorium dan tempat tirakat, menemukan
relevansinya kembali di titik ini.
Manusia tetap membutuhkan makna, bukan sekadar model. Sains memberi prediksi
dan keteraturan, tetapi ritual, intuisi, dan simbol memberi ketenangan batin.
Keduanya saling melengkapi: satu bekerja pada ranah empiris, satu pada ranah
eksistensial. Mengabaikan salah satunya berarti kehilangan sebagian pengalaman
manusia yang utuh. Kesadaran epistemik yang dewasa menuntut kita melihat sains
bukan sebagai kuil kebenaran, melainkan bengkel kreatif yang terus memperbaiki
modelnya sendiri.
Kontributor
Akang Marta
.png)