Kegunaan, Bukan Kebenaran
Antara Kebenaran, Kegunaan, dan Kepercayaan:
Menimbang Sains dan Dukun di Ruang Pengetahuan Nusantara
Kegunaan, Bukan Kebenaran
Dalam diskusi tentang sains dan kebenaran, salah satu argumen filosofis yang
menonjol adalah bahwa karya-karya sains tidak membuktikan kebenaran absolut
sains, melainkan hanya membuktikan bahwa sains itu berguna. Pernyataan ini
sejalan dengan tradisi pragmatisme yang dikembangkan oleh William James dan
John Dewey, yang menilai nilai suatu ide dari manfaat praktisnya. Kebenaran,
dalam perspektif ini, bukanlah kesesuaian mutlak antara ide dan realitas,
melainkan apa yang bekerja untuk kehidupan manusia sehari-hari. Misalnya, teori
gravitasi memungkinkan peluncuran satelit dengan presisi; selama teori itu
berfungsi, ia dianggap “benar”. Begitu pula, doa atau praktik spiritual yang
membantu seseorang menghadapi tekanan atau kesedihan, dalam kerangka
keberfungsian psikologis, juga dianggap benar.
Dengan demikian, sains dan spiritualitas tidak harus dipertentangkan sebagai
rival. Keduanya adalah sistem fungsional yang bekerja pada ranah berbeda: sains
pada ranah materi, spiritualitas pada ranah makna. Kegunaan menjadi kriteria
utama, bukan klaim absolut tentang realitas. Sains memberikan metode, prediksi,
dan kepastian empiris. Spiritualitas memberikan ketenangan batin, makna hidup,
dan arah etis yang tidak bisa digantikan statistik semata.
Dalam kehidupan modern, kita sering salah paham karena memaksakan satu
kriteria ke ranah yang lain. Misalnya, menilai praktik doa hanya dari sudut
empiris sains akan terasa “salah”. Sebaliknya, menilai sains hanya dari ritual
atau intuisi akan mengurangi validitas metodologisnya. Dengan menyadari bahwa
masing-masing sistem memiliki tujuan dan kriteria sendiri, kita bisa menghargai
pluralitas pengetahuan. Kegunaan, bukan kebenaran absolut, menjadi pusat
epistemik yang relevan bagi kehidupan manusia.
Kontributor
Akang Marta
.png)