Sains: Antara Model dan Kebenaran
Sains,
Kebenaran, dan Otak-Atik Gatuk: Antara Model, Mitologi, dan Makna
Sains: Antara Model dan Kebenaran
Sains modern lahir bukan dari wahyu, melainkan dari kerendahan hati
epistemik. Manusia menyadari kompleksitas dunia terlalu besar untuk dipahami
secara total, sehingga dibuatlah model—representasi sederhana yang mempermudah
navigasi realitas. Model sains seperti peta: berguna, tapi bukan wilayah yang
digambarkannya. Peta Jakarta membantu menemukan arah, tapi bukan Jakarta itu
sendiri. Begitu pula sains: persamaan E = mc² bukan “kebenaran absolut”, tetapi
model yang menjelaskan energi dan massa dengan batas pengukuran tertentu.
Kebenaran, dalam konteks ini, adalah kesepakatan dalam sistem pengetahuan.
Sains menilai kebenaran dengan falsifiabilitas, replikasi, dan prediktabilitas.
Sistem lain—filsafat Timur, teologi, atau perdukunan—memiliki kriteria sahih
masing-masing. Menilai perdukunan dengan ukuran sains akan tampak salah, begitu
juga menilai sains dengan ukuran spiritualitas akan tampak kering dan dingin.
Kesadaran epistemologis menjadi penting: setiap narasi ilmu adalah kosmos
tersendiri, lengkap dengan logika dan kriterianya. Tidak ada satu pun sistem
yang memonopoli kebenaran, karena setiap model berfungsi dalam konteks dan
ranahnya masing-masing.
Sains menekankan empirisme dan keteraturan, tetapi tidak bisa memberi makna
eksistensial yang universal. Agama, filsafat, dan perdukunan menekankan makna,
ritual, dan pengalaman batin, meski tak selalu dapat diuji empiris. Dengan
memahami dualitas ini, manusia dewasa dapat menghargai fungsi masing-masing
tanpa jatuh pada perang epistemik. Model dan makna berjalan paralel: satu untuk
prediksi dan keteraturan, satu untuk pemahaman dan ketenangan batin.
Kontributor
Akang Marta
.jpeg)