Roh Helsinki dan Persoalan Keikhlasan Jakarta pada Aceh
Roh Helsinki dan Persoalan Keikhlasan Jakarta pada Aceh
Oleh: Kang Sumar
Kekhususan yang Dipertanyakan
Revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) kembali menghangat di Senayan. Namun, suasana diskusi antara legislator Aceh dan pemerintah, alih-alih berfokus pada perbaikan teknis, justru diwarnai pertanyaan fundamental: Apakah Jakarta benar-benar ikhlas menjalankan kekhususan Aceh?
Pertanyaan ini bukan retorika. Dua dekade setelah kesepakatan damai Helsinki 2005, yang secara tegas menjadi "roh" epistemologis, aksiologis, dan ontologis UUPA, implementasi kekhususan Aceh masih terasa setengah hati.
Aceh datang bukan sekadar meminta anggaran, melainkan menuntut kewenangan khusus (kekhususan). Dana Otonomi Khusus (Otsus) adalah konsekuensi wajib dari kewenangan khusus itu. Jika Aceh diperintahkan untuk menjalankan kewenangan ekstra, maka negara wajib membiayai kekhususan tersebut. Mengapa? Karena dasar hukumnya jelas: Pasal 18B Undang-Undang Dasar 1945 memberi mandat untuk mengakomodasi kekhususan daerah.
Jebakan Angka dan Tata Kelola Ganda
Pemerintah, melalui Kementerian Keuangan, kerap menekankan data dampak Dana Otsus—seberapa besar kontribusinya terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Aceh. Sayangnya, pendekatan ini justru menjebak diskusi pada urusan teknis 2,5 persen atau 2 persen, alih-alih fokus pada substansi nasionalisme dan kohesivitas bangsa.
Anggota legislatif dari Aceh membandingkan pembangunan dan kekuatan fiskal Aceh dengan Jakarta, bukan dengan Bengkulu atau Jambi. Ini menunjukkan ada poros emosional dan historis yang harus dipahami oleh Jakarta: pengakuan terhadap perjuangan dan masa konflik Aceh. Mengukur impact Dana Otsus semata-mata dengan angka pertumbuhan, tanpa menangkap perasaan masyarakat Aceh (mengutip konsep Imagine Community ala Benedict Anderson), adalah kegagalan dialog.
Lebih parah lagi, UUPA yang memberi kekuasaan kewenangan khusus justru terbentur pada tata kelola ganda yang menghambat:
Evaluasi Kanun yang Tumpang Tindih: Saat Pemerintah Aceh membuat Kanun (Perda Khusus Aceh), evaluasi yang dilakukan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) seringkali menggunakan norma-norma umum nasional, bukan timbangan kekhususan Aceh. Ini mencederai prinsip lex specialis derogat legi generali (hukum khusus mengesampingkan hukum umum) dan membuat kewenangan khusus yang diberikan tidak berjalan optimal.
Pengawasan Anggaran: Walau ada kekhususan, setiap APBA tetap harus dievaluasi Kemendagri. Jika implementasi dana Otsus di Aceh dinilai kurang maksimal atau ada korupsi, yang harus dipertanyakan adalah: Mengapa evaluasi APBA oleh Jakarta tidak berjalan efektif?
Mengejar Ketertinggalan, Bukan Kecemburuan
Para pemangku kepentingan di pusat khawatir kekhususan yang terlalu besar di Aceh akan menimbulkan kecemburuan daerah lain (seperti Papua atau Sulawesi). Kekhawatiran ini sah, tetapi harus diimbangi pemahaman bahwa kekhususan Aceh adalah harga untuk menjamin perdamaian dan menjaga Aceh tetap dalam bingkai NKRI.
Tujuan utama Otsus adalah membantu Aceh mengejar ketertinggalan akibat masa konflik yang panjang (era Daerah Operasi Militer). Ini bukan sekadar kompensasi, melainkan investasi negara untuk mewujudkan stabilitas dan nasionalisme yang utuh.
Menyudahi Berbalas Pantun
Rapat-rapat pembahasan UUPA tidak boleh lagi menjadi ajang "berbalas pantun" antara DPR dan Pemerintah. Perlu ada titik terang yang jelas (positioning) dari pemerintah pusat.
Wakil Menteri Dalam Negeri dan Menko Polhukam setuju: semangat Helsinki dan kesejahteraan rakyat adalah tujuan bersama. Yang dibutuhkan saat ini adalah forum diskusi yang lebih intens dan terfokus (baik formal maupun informal). Tujuannya untuk:
Bedah Masalah Detil: Mengidentifikasi secara konkret hambatan implementasi di lapangan (zakat, kantor pertanahan, perizinan tambang, dll.).
Grand Desain Otsus: Merumuskan "grand desain" penggunaan Dana Otsus, lengkap dengan capaian yang terukur (teknokrasi) selama 10 hingga 20 tahun ke depan, serupa dengan yang sedang dikembangkan untuk Papua.
Revisi UUPA harus menjadi momentum untuk mengoptimalkan kekhususan Aceh dan memperkuat perdamaian. Epistemologisnya sudah clear—dari Helsinki. Kini, tinggal membuktikan aksiologisnya—bahwa negara benar-benar ikhlas dan mampu menata kelola kekhususan itu demi keamanan dan kesejahteraan seluruh bangsa.
