Ads

Ironi Kearsipan Negara: Saat KPU dan UGM "Kompak" Gagal Buktikan Akuntabilitas Dokumen

 

Ironi Kearsipan Negara: Saat KPU dan UGM "Kompak" Gagal Buktikan Akuntabilitas Dokumen

Oleh: Kang Marta

Kamis,20 November 2025




Sidang Komisi Informasi Pusat (KIP) yang digelar pada November 2025 seharusnya menjadi ruang penegakan transparansi, bukan panggung komedi kebingungan para pejabat publik. Apa yang terjadi di hadapan Majelis Hakim, di mana dua institusi besar —KPU Surakarta dan Universitas Gadjah Mada (UGM)— menunjukkan pola inkonsistensi yang nyaris serupa dalam menjelaskan ketersediaan dokumen, adalah ironi kearsipan negara yang merusak kepercayaan publik.

Polemik ini bukan sekadar urusan teknis administrasi, melainkan cerminan dari kerentanan serius dalam tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).

"Nomor Ijazah Masuk Musnah": Blunder Fatal KPU

Titik ledak polemik ini adalah pernyataan resmi Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) KPU Surakarta di sidang KIP yang disiarkan langsung. Ketika ditanya mengenai jejak dokumen pencalonan Walikota Surakarta 2005, PPID tersebut menyatakan dengan tegas, "tanggal dan nomor agenda masuk nomor ijazah... musnah" sesuai Jadwal Retensi Arsip (JRA).

Frasa "nomor ijazah masuk musnah" adalah blunder institusional yang sangat fatal.

Dua hari berselang, Ketua KPU Surakarta buru-buru mengoreksi, mengklaim bahwa seluruh berkas pencalonan, termasuk ijazah, masih utuh, dan yang dimusnahkan hanyalah agenda surat—dokumen administratif.

Inkonsistensi ini melahirkan pertanyaan kritis:

  1. Jika hanya agenda surat yang musnah, mengapa PPID secara spesifik menyebut "nomor ijazah"?

  2. Jika berkas utama (ijazah) utuh, mengapa dokumen administratif yang menjadi bukti sah waktu masuknya justru hilang?

Secara hukum administrasi, agenda surat adalah bukti kunci (jejak administratif) yang menguatkan keabsahan dokumen. Musnahnya jejak administratif ini, sembari dokumen utama diklaim lengkap, adalah hal yang sangat janggal dan melanggar Asas Kecermatan (bagian dari Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik/AUPB).

UGM dan Pola Kebingungan yang Serupa

Keanehan tidak berhenti di KPU. UGM, sebagai Badan Hukum Milik Negara (BHMN) dan kampus terbesar dengan sistem kearsipan yang seharusnya superior, juga menunjukkan pola kebingungan serupa. Kesulitan UGM menghadirkan dokumen terkait ijazah, ditambah dengan respons surat menyurat yang tidak profesional (tanpa kop dan tanda tangan resmi), menunjukkan ketidaksiapan yang memalukan.

Seperti yang disoroti oleh pakar hukum pidana, kesamaan pola problematik ini—dokumen tidak ada, keterangan berubah, jawaban tidak tegas—terlalu mirip untuk dianggap sebagai kebetulan semata. Ketika dua lembaga berbeda menunjukkan gejala yang sama, secara akademik valid untuk menduga bahwa mereka tengah menghadapi problem substansi tunggal terkait dokumen yang sensitif.

Menghindari Dugaan Obstruction of Justice

Inkonsistensi keterangan di forum resmi seperti KIP memiliki bobot hukum yang tinggi. Perubahan narasi total dalam hitungan jam/hari oleh KPU Surakarta tampak jelas sebagai upaya damage control setelah menyadari potensi risiko hukum yang ditimbulkan oleh pernyataan awal.

Pernyataan yang menyesatkan atau penyembunyian dokumen kunci yang seharusnya terbuka dapat mengarah pada dugaan tindak pidana Obstruction of Justice (Penghalangan Proses Peradilan), sebagaimana diatur dalam Pasal 21 UU Tipikor dan/atau delik keterangan palsu dalam KUHP.

Ancaman hukuman yang berat, yang bahkan bisa mencapai 12 tahun penjara bagi penghalang proses hukum, adalah alasan utama mengapa pejabat KPU Surakarta begitu cepat menarik kembali kata-kata mereka. Hal ini sekaligus menjadi pengingat bahwa UU No. 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan sangat ketat: pemusnahan arsip di luar prosedur yang sah dapat diancam pidana.

Mendasak Audit Kearsipan Total

Polemik ini bukan lagi sekadar sengketa informasi pemohon vs. Badan Publik. Ini adalah momentum krisis kepercayaan publik yang harus direspons serius.

Pemerintah dan lembaga terkait harus mengambil langkah tegas:

  1. Audit Kearsipan Menyeluruh: Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) harus segera melakukan audit kearsipan independen terhadap KPU Surakarta dan UGM. Hasil audit harus dibuka ke publik, menguji apakah pemusnahan dokumen dilakukan sesuai prosedur yang berlaku.

  2. Penegasan Ulang JRA: KPU RI perlu meninjau kembali PKPU No. 17 Tahun 2023. Dokumen administratif yang menjadi bukti kunci legitimasi politik tidak boleh memiliki Jadwal Retensi Arsip (JRA) yang pendek. Agenda surat masuk adalah arsip vital, bukan kertas koran.

  3. Sanksi Tegas: KPU RI dan Senat UGM harus menjatuhkan sanksi administratif kepada pejabat yang terbukti tidak cermat dan memberikan keterangan yang tidak akurat di forum resmi. Integritas Badan Publik harus ditegakkan.

Publik berhak atas jawaban yang utuh dan konsisten, bukan drama klarifikasi yang saling bertolak belakang. Integritas pejabat publik diuji bukan saat mereka berpidato, tetapi saat mereka diminta membuktikan kebenaran melalui selembar kertas yang tersimpan rapi dalam sistem kearsipan.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel