Ads

Dari Fisika ke Filsafat: Ketika Kebenaran Tidak Berdiri Sendiri

 

Antara Kebenaran, Kegunaan, dan Kepercayaan: Menimbang Sains dan Dukun di Ruang Pengetahuan Nusantara



Dari Fisika ke Filsafat: Ketika Kebenaran Tidak Berdiri Sendiri

Mari kita meninjau kembali perbedaan mendasar antara truth dan right. “Right” adalah benar dalam konteks tertentu, misalnya benar menurut hukum, prosedur, atau metodologi yang berlaku. Sedangkan truth adalah kebenaran yang berdiri sendiri, yang tidak bergantung pada sistem atau aturan apa pun. Namun, manusia tidak pernah hidup sepenuhnya di luar sistem. Oleh karena itu, truth selalu muncul dalam bentuk right tertentu yang dimediasi konteks.

Kebenaran selalu dikotakkan oleh bahasa, budaya, dan paradigma yang kita anut. Di titik inilah filsafat postmodern menantang klaim universal sains. Thomas Kuhn, misalnya, menunjukkan bahwa perkembangan ilmu tidak bersifat linier menuju kebenaran sejati, melainkan berseri-seri melalui “revolusi paradigma”. Setiap paradigma memiliki kerangka, istilah, dan kriteria kebenarannya sendiri. Ketika paradigma bergeser, persepsi tentang apa yang “benar” pun ikut berubah.

Dengan kata lain, tidak ada sains yang benar-benar final. Tidak ada teori yang bersifat abadi atau sempurna. Newton pernah dianggap benar hingga muncul teori relativitas Einstein yang mengubah perspektif tentang gravitasi dan ruang-waktu. Einstein pun mungkin suatu hari akan dikoreksi oleh teori kuantum baru yang lebih komprehensif. Kebenaran ilmiah selalu bersifat sementara, dan justru karena sifatnya ini, sains menunjukkan kerendahan hati terhadap kemungkinan kesalahan.

Sifat provisional ini justru menjadi kekuatan sains. Ia tidak mengklaim memiliki jawaban mutlak, melainkan menyediakan model yang paling efektif untuk menjelaskan fenomena pada saat tertentu. Model-model ini terbuka untuk diuji, dipertanyakan, dan direvisi. Setiap hipotesis adalah undangan untuk eksperimen lebih lanjut. Dengan begitu, sains bergerak sebagai dialog kontinu antara ide dan realitas.

Kesadaran akan sifat sementara kebenaran juga mendorong kita untuk lebih toleran terhadap perspektif lain. Truth absolut mungkin ada, tetapi bagi manusia, ia selalu hadir melalui lensa right yang berbeda. Ini menuntut fleksibilitas intelektual dan kemauan untuk menerima ketidakpastian. Filsafat, sains, dan bahkan praktik tradisional bisa dilihat sebagai cara berbeda untuk memetakan realitas. Yang penting bukan siapa yang benar mutlak, tetapi bagaimana setiap model atau sistem pengetahuan membantu kita bertindak secara efektif dalam dunia nyata.

Kontributor

Akang Marta

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel