Kosmos Pengetahuan Nusantara
Antara Kebenaran, Kegunaan, dan Kepercayaan:
Menimbang Sains dan Dukun di Ruang Pengetahuan Nusantara
Kosmos Pengetahuan Nusantara
Dalam epistemologi Barat, pengetahuan dipisahkan
dari iman, seni, dan rasa. Pengetahuan dianggap sesuatu yang netral, objektif,
dan terlepas dari nilai-nilai spiritual. Namun dalam kosmologi Nusantara,
pengetahuan selalu menyatu dengan moral dan spiritualitas. Ia bukan hanya soal
fakta, tetapi juga soal bagaimana manusia menempatkan dirinya dalam kosmos.
Pengetahuan di sini menjadi pedoman hidup yang terintegrasi dengan etika dan
harmoni alam.
Primbon, misalnya, bukan sekadar ramalan nasib
yang bersifat prediktif. Ia adalah panduan etika dan tindakan yang
menyelaraskan waktu, ruang, dan keputusan manusia. Primbon mengajarkan
bagaimana hidup selaras dengan ritme alam. Dalam kerangka ini, kebenaran bukan
semata-mata hasil eksperimen, tetapi hasil keselarasan antara batin dan
semesta. Ia menekankan hubungan antara manusia dengan alam dan kosmos yang
lebih luas.
Seperti dikatakan Clifford Geertz dalam The Religion of Java, masyarakat Jawa tidak
memisahkan “ilmu lahir” dan “ilmu batin”. Keduanya saling melengkapi dan
membentuk satu kesatuan pengetahuan. Tujuan utamanya bukan dominasi atas alam,
melainkan menjaga keseimbangan. Pengetahuan lahir dan batin berjalan bersamaan
untuk menuntun manusia hidup harmonis. Hal ini membuktikan bahwa pemisahan ilmu
dan spiritualitas bukanlah satu-satunya cara memahami dunia.
Di titik ini, kita mulai memahami mengapa
orang Indonesia tetap memelihara primbon, astrologi, dan praktik tradisional.
Kehadiran tradisi ini bukan karena menolak sains modern. Melainkan karena sains
belum cukup menjawab kebutuhan akan makna dan keseimbangan hidup. Pengetahuan
tradisional menawarkan pedoman moral dan spiritual yang sains formal tidak bisa
berikan. Dengan demikian, kosmos pengetahuan Nusantara adalah gabungan harmoni
antara fakta, etika, dan spiritualitas.
Kosmos pengetahuan ini mengingatkan kita bahwa
kebenaran bisa bersifat ganda. Ia bisa diukur dengan eksperimen, tetapi juga
bisa dirasakan melalui keselarasan batin. Manusia membutuhkan kedua cara ini
untuk memahami dunia secara utuh. Sains dan tradisi bukan lawan, melainkan dua
mata uang dari pengalaman manusia. Menghargai keduanya berarti mengakui
kompleksitas cara kita menafsirkan realitas.
Kontributor
Akang Marta
